Para korban gangguan ginjal akut yang diduga akibat cemaran pada obat sirop akan didampingi untuk memperoleh keadilan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Deretan obat sirop yang menjadi barang bukti temuan penindakan industri farmasi yang memproduksi obat tidak memenuhi standar diperlihatkan saat rilis di Kawasan PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, Senin (31/10/2022). Badan Pengawasan Obat dan Makanan merilis hasil temuan produksi obat yang tidak memenuhi syarat oleh industri farmasi PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical. Salah satu pelanggarannya menggunakan bahan etilen glikol di atas ambang batas aman.
JAKARTA, KOMPAS — Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia menyatakan kesediaan untuk mendampingi korban dan keluarga korban gangguan ginjal akut progresif atipikal untuk menempuh jalur hukum. Langkah ini dinilai perlu dilakukan untuk memperoleh keadilan bagi para korban.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyebutkan, pihaknya akan mengadvokasi para korban untuk menggugat pertanggungjawaban. Jalur hukum yang akan ditempuh adalah pidana dan perdata.
”Gugatan pertanggungjawaban akan ditujukan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku lembaga negara dan industri farmasi yang memproduksi obat,” ujarnya di Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Kelalaian secara disengaja atupun tidak dan menyebabkan hilangnya nyawa seseorang ataupun luka dan sakit diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 359 dan 360. Ancamannya paling lama pidana penjara 5 tahun atau kurungan 1 tahun.
”Untuk hukum perdata, ada pada pemulihan hak korban, seperti biaya fasilitas kesehatan, pengobatan, dan lainnya. Bagi korban yang meninggal tentu ada potensi ekonomi yang dapat terganggu dan dapat dihitung secara matematis,” ujarnya.
Infografik Gangguan Ginjal Akut
Sementara Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan, pihaknya mendorong korban dan keluarga korban untuk menempuh jalur hukum atas tragedi gangguan ginjal akut progresif atipikal.
Gugatan
Menurut Tulus, konsumen yang dirugikan dalam penggunaan suatu produk dapat mengajukan gugatan secara individu ataupun kelompok. Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
”Gugatan ini bisa ditujukan kepada industri farmasi yang terbukti meracuni konsumen. Selain itu, baik korban maupun keluarga korban juga dapat menggugat BPOM yang telah gagal dalam menjalankan tugas pengawasan,” ujarnya.
Untuk hukum perdata, ada pada pemulihan hak korban, seperti biaya fasilitas kesehatan, pengobatan, dan lainnya. Bagi korban yang meninggal, tentu ada potensi ekonomi yang dapat terganggu dan dihitung secara matematis.
Menurut pengajar Magister Hukum Kesehatan dan Hukum Kerumahsakitan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Rimawati, semua pihak bertanggung jawab atas kasus gangguan ginjal akut. Jika merujuk pada aspek hukum perdata, industri farmasi yang terbukti bersalah dapat dimintai pertanggungjawaban.
”Pengadilan yang akan membuktikan apakah industri farmasi terkait kelalaiannya mengakibatkan kerugian pada konsumen. Jadi, pasien atau pihak keluarga bisa mengajukan gugatan. Namun, hal terpenting adalah dasar gugatannya,” ucap Rimawati.
Menurut dia, permasalahan ini disebabkan oleh sektor hulu yang berimbas pada hilir. Hilir dapat dipahami sebagai masyarakat, tenaga kesehatan, rumah sakit, klinik, dan apotek.
Proses pembuktian perlu menunggu hasil dari investigasi. Terlepas dari industri farmasi yang melakukan kesalahan, Rimawati menilai, ada juga proses pengawasan yang dilakukan oleh BPOM.
Infografik Perkembangan Kasus Gangguan Ginjal Akut Anak di Indonesia
”Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah ada niat jahat produsen obat yang mencampurkan bahan pelarut tercemar melebihi ambang batas. Jika ada niat jahat dari produsen obat, dapat dilanjutkan proses pidana,” ujarnya.
Terkait gugatan atau tuntutan tersebut, Kepala Biro Humas Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pihaknya saat ini masih berfokus untuk menekan angka kematian gangguan ginjal akut dan munculnya kasus baru.
Kompas juga telah menghubungi Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril dan Kepala BPOM Penny Lukito. Namun, keduanya hingga pukul 19.30 WIB, Selasa (8/11/2022), belum memberi informasi.
Dilansir dari laman resmi BPOM pada 7 November 2022, tiga industri farmasi, yakni PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma, telah dijatuhi sanksi administratif dengan mencabut sertifikat cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan izin edar sirup obat yang diproduksi.
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas BPOM memindahkan barang bukti berupa obat sirop yang tidak memenuhi syarat di Kawasan PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten, Senin (31/10/2022). BPOM merilis hasil temuan produksi obat yang tidak memenuhi syarat oleh industri farmasi PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical. Salah satu pelanggarannya menggunakan bahan etilen glikol di atas ambang batas aman.
Selain itu, BPOM telah memerintahkan kepada ketiga industri farmasi tersebut untuk menghentikan produksi obat sirop, menarik obat sirop yang telah beredar, dan memusnahkan semua obat sirop. Hal itu juga harus dilaporkan kepada BPOM terkait pelaksanaannya.