Pemerintah Diminta Ganti Rugi Korban Gangguan Ginjal Akut Anak
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mendesak pemerintah agar mengganti rugi korban yang menderita gangguan ginjal akut. Pemerintah juga diminta mengusut tuntas sirkulasi obat sirop yang tercemar dari hulu ke hilir.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Perlindungan Konsumen Nasional mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab atas kematian dan kerugian yang dialami korban gangguan ginjal akut. Mereka juga mendesak pemerintah agar melakukan audit obat sirop secara menyeluruh mulai dari proses praproduksi hingga pasca-pemasaran.
Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim mengatakan, pemerintah harus membiayai pengobatan korban anak yang sedang dirawat dan mengganti kerugian pada keluarga yang anaknya telah meninggal. Menurut dia, pemerintah harus membantu korban dan orangtua korban dengan bantuan material berupa obat serta uang untuk menutupi biaya perawatan.
”Selain pemerintah, kami juga akan mendesak pihak pengusaha dan produsen obat sirop dan obat cair untuk bertanggung jawab, apabila di kemudian hari ditemukan ada unsur kelalaian atau unsur pidana (sengaja) dalam produksi dan distribusi obat-obat sirop yang tercemar ini," ujarnya dalam konferensi pers yang diadakan BPKN di Jakarta, Jumat (4/11/2022).
Rizal mengungkapkan, desakan ini akan disampaikan langsung kepada presiden agar dikoordinasikan dengan kementerian dan lembaga terkait. Ia berharap seluruh lembaga, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berfokus dalam penanganan pasien anak yang terpapar gangguan ginjal akut dan menyelidiki lebih dalam terkait dugaan obat sirop yang terkontaminasi.
Selain pemerintah, kami juga akan mendesak pihak pengusaha dan produsen obat sirop dan obat cair untuk bertanggung jawab apabila di kemudian hari ditemukan ada unsur kelalaian atau unsur pidana (sengaja) dalam produksi dan distribusi obat-obat sirop yang tercemar ini.
BPKN juga akan mendesak pemerintah untuk melakukan audit keseluruhan proses distribusi obat sirop yang tercemar, mulai dari registrasi hingga terbitnya izin edar. Ia menuturkan, pemerintah perlu melakukan audit produksi obat, mulai dari praproduksi termasuk penggunaan bahan baku, sampai pada pascaproduksi. Selain itu, dalam proses pengajuan izin obat, semestinya BPOM melakukan uji produk melalui laboratorium sebelum memberikan izin.
Pemerintah perlu mengevaluasi kinerja dari BPOM dalam melakukan fungsi pengawasan dan melaksanakan kebijakannya.
Wakil Ketua BPKN Muhammad Mufti Mubarok menyampaikan, pihaknya telah membentuk posko pengaduan bagi orangtua korban dalam rangka memberi perlindungan dan bantuan advokasi. Ia menjelaskan, posko ini akan tersedia dalam layanan langsung di kantor BPKN.
Ia juga akan berkoordinasi dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) agar membuka posko pengaduan serupa. ”Orangtua korban juga dapat mengadukan ke media sosial kami yang tersedia di seluruh platform. Kami akan memberikan advokasi secara lebih lanjut,” tambah Muhammad.
Ia menyebutkan, BPKN akan membentuk tim pencari fakta guna menyelidiki dugaan obat sirop yang terkontaminasi cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Tim pencari fakta ini akan terdiri dari anggota kepolisian, kejaksaan, jurnalis, akademisi, Kementerian Kesehatan, dan LPKSM. Tujuan dari tim pencari fakta ini adalah menggali data agar disandingkan dengan data yang beredar terkait kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Tidak efektif
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan, sekarang kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal diduga kuat disebabkan oleh cemaran EG dan DEG pada beberapa sirop obat yang beredar. Untuk itu, pemerintah diminta menyelidiki tuntas kasus tersebut dari hulu hingga hilir. Dalam hal ini, pemerintah mesti memeriksa produk sirop obat, mulai dari pasokan bahan baku obat, proses produksi, hingga pemasarannya.
Jumlah kasus yang meningkat dengan pesat di beberapa bulan belakangan membuktikan bahwa mekanisme pengawasan pada aspek pre market control atau pengawasan sebelum penjualan produk dan post market control atau pengawasan setelah penjualan produk yang dilakukan BPOM tidak efektif. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kinerja dari BPOM dalam melakukan fungsi pengawasan dan melaksanakan kebijakannya.
Selain itu, pemerintah juga perlu menambah pengawasan pada produsen obat dalam proses pembuatan obatnya. Hal yang perlu dipastikan adalah kepatuhan produsen dalam pembuatan obat yang mengacu pada pedoman cara pembuatan obat yang baik (CPOB) yang dikeluarkan BPOM pada tahun 2006. ”Terjadinya cemaran itu juga membuktikan bahwa quality control di internal manajemen produsen obat tidak dilakukan,” ujarnya.
Tulus mengatakan, investigasi oleh tim independen harus segera dilakukan agar persoalannya menjadi tuntas. Hal ini untuk memastikan pihak mana yang harus bertanggung jawab, baik dari sisi perdata, pidana, maupun administrasi. Untuk itu, pihak regulator seperti BPOM dan Kemenkes, dan pemerintah pusat harus bertanggung jawab memastikan hal itu.
Secara terpisah, Kepala BPOM Penny K Lukito menyatakan, ”Tragedi (kasus gangguan ginjal akut pada anak) ini membuat kita harus segera memperbaiki sistem jaminan kesehatan mutu dan memberi efek jera pada pelanggar agar tidak terulang. Kejahatan obat itu ada dan dia (pelanggar) akan memanfaatkan berbagai peluang dan gap (celah) yang ada.”
Aturan terkait masuknya bahan baku untuk industri farmasi saat ini belum mensyaratkan surat keterangan dari BPOM. Tak adanya payung hukum ini membuat BPOM tidak dapat mengawasi masuknya bahan baku sejak awal. ”Sehingga tidak bisa dibedakan antara pengadaan bahan baku atau bahan pelarut PEG dan EG (polietilen glikol dan etilen glikol) dengan pharmaceutical grade dan industrial grade. Ini dimanfaatkan mereka (industri yang melanggar),” tuturnya.
Penny mengatakan, transformasi sistem pengawasan produk farmasi tak hanya menjadi masukan untuk Indonesia, tetapi juga negara lain. Cemaran produk farmasi yang menyebabkan korban jiwa tidak hanya ditemukan di Tanah Air, tetapi juga negara lain, seperti Haiti, Panama, dan Gambia (Kompas.id, 1 November 2022).