Perkuat Pengawasan Obat Sebelum dan Sesudah Beredar
BPOM akan memperkuat pengawasan obat sebelum dan sesudah beredar di masyarakat. Hal ini menindaklanjuti temuan sejumlah obat sirop yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan menyatakan bakal memperkuat sistem pengawasan obat sebelum dan sesudah beredar di pasar. Adapun industri farmasi diminta meningkatkan pengendalian mutu produknya. Hal ini terkait dengan temuan etilen glikol dan dietilen glikol pada sejumlah obat sirop.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, dalam konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta, Minggu (23/10/2022), mengatakan, pengawasan obat sebelum (pre-market) dan sesudah beredar (post-market) sebetulnya sudah dilakukan. Pengawasan pre-market mencakup, di antaranya, registrasi produk. Pengawasan post-market, antara lain, pengujian dan analisis acak terhadap produk di pasar.
Menurut pengujian yang dilakukan BPOM terhadap 102 obat, ada tiga obat yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman. Ketiganya adalah Unibebi Cough Sirop, Unibebi Demam Sirop, dan Unibebi Demam Drops. Ketiganya produksi Universal Pharmaceutical Industries.
”Hal ini akan digunakan untuk memperkuat atau mengubah sistem pengawasan pre dan post-market yang ada. Ke depan kami akan memperbaiki dan memperkuat pengawasan dengan beberapa ketentuan yang mengharuskan industri farmasi melakukan analisis sendiri, serta memastikan quality control (pengendalian mutu) ditingkatkan,” kata Penny di Jakarta.
Infografik Kasus Gangguan Ginjal Akut pada Anak di Indonesia
Menurut persyaratan dan peraturan registrasi produk obat BPOM, semua produk obat sirop untuk anak maupun dewasa tidak boleh menggunakan EG dan DEG. Keduanya ditemukan sebagai cemaran pada senyawa polietilen glikol, propilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop. Namun, keempat zat itu bukan bahan berbahaya atau dilarang dalam pembuatan obat.
Ambang batas aman konsumsi EG dan DEG 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari. Konsumsi EG dan DEG di atas ambang batas aman dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
Ke depan kami akan memperbaiki dan memperkuat pengawasan dengan beberapa ketentuan yang mengharuskan industri farmasi melakukan analisis sendiri serta memastikan quality control (pengendalian mutu) ditingkatkan.
Penny menambahkan, BPOM akan mendalami penyebab EG dan DEG melebihi ambang batas pada sejumlah obat. Adapun obat-obat tersebut akan ditarik dari pasar. Penarikan dilakukan oleh produsen dengan pengawalan BPOM.
Usut tuntas
Saat dihubungi terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mendesak untuk mengusut kasus ini dari hulu hingga hilir. Hal ini mencakup pengusutan dari pasokan bahan baku obat, proses produksi, hingga pemasaran.
”Kasus masif ini membuktikan mekanisme pengawasan pada aspek pre-market control dan post-market control yang dilakukan BPOM tidak efektif,“ kata Tulus secara tertulis. Pengawasan oleh produsen dalam proses produksinya juga. Sebab, proses pembuatan obat semestinya mengacu pada Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Cemaran membuktikan bahwa quality control di internal produsen obat tidak dilakukan.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pun meminta isu ini diusut tuntas. Sebab, cemaran EG dan DEG pada obat diduga berhubungan dengan kasus gagal ginjal akut progresif atipikal pada 241 anak di Indonesia per 21 Oktober 2022. Dari jumlah itu, 133 anak meninggal.
Kejadian ini mengancam upaya pembangunan sumber daya manusia dan mencederai perlindungan terhadap anak. Ia menambahkan, pengusutan penting untuk memastikan ada tidaknya tindak pidana. ”Oleh sebab itu, perlu pelacakan mulai dari asal muasal bahan baku, masuknya ke Indonesia, hingga proses produksi obat-obat yang mengandung kedua zat berbahaya tersebut,” kata Muhadjir.
Di sisi lain, Guru Besar Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung Rahmana Emran Kartasasmita mengatakan, konsumsi EG dan DEG yang melebihi ambang batas aman belum terbukti berhubungan dengan gagal ginjal akut pada anak. Hal ini masih perlu diteliti lebih jauh.
Menurut dia, konsumsi EG dan DEG yang melebihi batas aman dapat menyebabkan penurunan kesehatan yang mengarah ke gangguan ginjal. Namun, hal ini tidak berarti individu akan langsung mengalami intoksikasi atau keracunan.
”Jika paparan EG dan DEG tidak melewati ambang batas, secara kaidah risk assessment (penilaian risiko) seharusnya aman. Kalaupun melewati ambang batas, kita tidak serta-merta keracunan, tetapi kita berada di (kategori) at risk (berisiko terhadap gangguan kesehatan),” katanya.