Tim Kontrol Studi untuk Penyebab Gangguan Ginjal Akut Dibentuk
Kementerian Kesehatan telah membentuk tim kontrol studi untuk menyelidiki secara epidemiologi penyebab pasti dari gangguan ginjal akut yang terjadi pada lebih dari 300 anak di Indonesia.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Dugaan kuat dari penyebab kasus gagal ginjal akut progresif atipikal yang terjadi pada lebih dari 300 anak di Indonesia merujuk pada konsumsi obat yang tercemar. Meski begitu, penyebab pasti dari kasus gangguan ginjal tersebut tetap diselidiki melalui tim kontrol studi yang dibentuk Kementerian Kesehatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam kunjungannya ke Redaksi Kompas di Jakarta, Jumat (4/11/2022) menuturkan, tim kontrol studi bertugas untuk melakukan penyelidikan secara epidemiologi terkait penyebab pasti dari kasus gangguan ginjal akut pada anak. Dugaan kuat pada kasus tersebut akibat dari keracunan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dari obat sirup. Namun, ada kasus lain yang ditemukan tanpa riwayat minum obat sirup atau ada kasus yang minum obat yang sama namun tidak mengalami gangguan ginjal akut.
“Perlu dilakukan penyelidikan atau penelitian secara sistematik untuk menemukan penyebab pasti. Kita harapkan dalam dua sampai empat minggu ke depan ini sudah bisa selesai,” katanya.
Akan tetapi, Budi menyampaikan, risiko terbesar saat ini dari kasus gangguan ginjal akut pada anak ini dinilai tetap disebabkan oleh konsumsi obat-obatan yang tercemar EG dan DEG. “Apakah 100 persen karena obat? Mungkin tidak. Namun kemungkinan itu sangat kecil. Karena, buktinya, ketika kita stop (konsumsi obat), itu (kasus) langsung turun drastis,” ucap dia.
Selain itu, bukti lainnya didasarkan dari hasil pemeriksaan sampel darah dan urine dari anak yang menjadi pasien gagal ginjal akut. Pada lebih dari 70 persen pasien ditemukan adanya senyawa kimia berbahaya EG dan DEG.
Dari sejumlah obat yang dikonsumsi oleh pasien juga ditemukan adanya bahan kimia yang dinilai berbahaya tersebut. Bukti lainnya didasarkan dari hasil biopsi ginjal pada pasien yang ditemukan adanya dampak toksisitas dari obat-obatan yang tercemar EG dan DEG.
“Terakhir dapat dilihat bahwa ketika pasien ini diberikan obat yang khusus disebabkan oleh toksikologi yang bukan dari parasit, itu menunjukkan perbaikan dan sembuh. Bukti-bukti itu yang membuat yakin bahwa faktor risiko yang paling besar dari obat-obatan,” ujar Budi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laman resminya pun telah mengeluarkan peringatan akan obat-obatan sirop yang terkontaminasi terkait laporan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia. Terdapat delapan obat yang teridentifikasi di Indonesia yang masuk dalam daftar obat terkontaminasi, yakni Termorex syrup hanya batch AUG22A06, Flurin DMP Syrup, Unibebi Cough Syrup, Unibebi Demam Paracetamol Drops, Unibebi Demam Paracetamol Syrup, Paracetamol Drops, Paracetamol Syrup mint, dan Sirup Vipcol.
Apakah 100 persen karena obat? Mungkin tidak. Namun kemungkinan itu sangat kecil. Karena, buktinya, ketika kita stop (konsumsi obat), itu (kasus) langsung turun drastis. (Budi G Sadikin)
Budi menuturkan, saat ini Kementerian Kesehatan masih membatasi obat sirop yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Daftar obat yang dinilai aman yakni obat yang hanya menggunakan pelarut berbasis air dan obat untuk pasien tertentu seperti epilepsi yang hanya bisa diberikan dengan resep dokter.
Merujuk pada data Kementerian Kesehatan per 3 November 2022, jumlah kasus gagal ginjal akut di Indonesia sebanyak 323 orang. Itu terdiri dari 99 kasus sembuh, 34 kasus yang masih dirawat, dan 190 kematian.
Dengan tingginya kasus gagal ginjal akut pada anak ini, Budi mengakui, dirinya turut bertanggung jawab. Dalam penanganan kasus ini pun pihaknya tidak bisa secepat negara maju. Meski begitu, Kementerian Kesehatan tetap berupaya untuk menangani kasus ini secara maksimal. Pada awal kasus ditemukan di Indonesia, para ahli pun kesulitan untuk menemukan penyebab dari kasus ini.
Oleh sebab itu, meskipun penyebab pasti dari gangguan ginjal akut progresif atipikal belum ditemukan, Kementerian Kesehatan memutuskan secara konservatif untuk menghentikan sementara penggunaan obat dalam bentuk sirup atau cair. Keputusan ini didasarkan oleh laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada kasus serupa yang terjadi di Gambia, Afrika.
Selain itu, merujuk pada studi sebelumnya, Kementerian Kesehatan berupaya untuk mengadakan obat penawar atau antidotum berupa Fomepizole yang dapat diberikan pada pasien gagal ginjal akut. “Hampir 90 persen dari obat ini merupakan donasi. Dan ternyata dari obat ini menunjukkan adanya perbaikan dari kondisi pasien," tutur Budi.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril, dalam siaran pers, mengatakan, Fomepizole merupakan bagian dari terapi pada anak dengan gangguan ginjal akut yang sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Penggunaan obat ini pun telah berdampak positif bagi pasien. Setidaknya, 95 persen pasien anak yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan adanya perkembangan baik setelah mendapatkan terapi.
Ia pun menepis penggunaan obat ini merupakan bentuk komersialisasi obat. “Tidak ada komersialisasi obat, tujuannya semata mata untuk keselamatan anak indonesia,” katanya.
Syahril menyampaikan, sebanyak 246 vial Fomepizole sudah didatangkan ke Indonesia dengan 146 vial di antaranya sudah didistribusikan ke 17 rumah sakit yang merawat anak dengan gangguan ginjal akut. Sementara 100 vial lainnya akan disimpan untuk menjadi stok cadangan pusat.