Mengingat saat seseorang membeli obat pertimbangan utamanya adalah kebutuhan akan sembuh dari sebuah penyakit, jual beli obat tidak hanya berbicara tentang uang dan keuntungan, tetapi kesehatan dan juga nyawa manusia.
Oleh
KARINA DWI NUGRAHATI PUTRI
·5 menit baca
Ditemukannya kandungan cemaran (ethylene glycol/EG, diethylene glycol/DEG, dan ethylene glycol butyl ether/EGBE) pada obat batuk sirop yang melebihi ambang batas aman dan berpotensi mengakibatkan gangguan ginjal akut progressive atypical menimbulkan keresahan di masyarakat.
Menurut Guru Besar Farmasi UGM Prof Zullies Ikawati, produsen obat, yang dalam konteks ini adalah perusahaan farmasi, harus memastikan bahwa bahan bakunya minim atau bebas cemaran senyawa kimia EG dan DEG melalui metode analisis yang akurat dan sensitif, sebelum diformulasi. Hal itu untuk memastikan bahwa obat tersebut tidak menyebabkan efek toksik terhadap ginjal (Kompas, 19/10/2022).
Salus populi (est) suprema lex, pelindungan masyarakat adalah hukum tertinggi. Pelindungan hak kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) dan merupakan kewajiban pemerintah sebagai pemenuhan konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Pelindungan hak kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) dan merupakan kewajiban pemerintah sebagai pemenuhan konsep negara kesejahteraan ( welfare state).
Sanksi bagi perusahaan farmasi
Sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945, pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), diatur secara spesifik kewajiban pemerintah untuk menjamin sediaan obat yang aman.
UU Kesehatan berusaha untuk melindungi masyarakat dari perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian. Namun, UU a quo hanya mengatur sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar bagi produsen obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan.
Jumlah denda yang ditentukan oleh UU Kesehatan pun tidak seberapa jika dibandingkan dengan kerugian masyarakat akibat kejadian ini.
Terlebih, jika mengingat ketentuan tentang jaminan pemenuhan hak kesehatan sebagai bagian dari HAM serta kewajiban pemerintah dalam pengawasan obat. Tidak hanya perusahaan farmasi, tetapi pemerintah pun dapat ikut bertanggung jawab jika terbukti kematian anak yang terjadi diakibatkan oleh obat batuk sirop yang diproduksi di Indonesia.
Pemerintah melalui BPOM menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk menjatuhkan sanksi administratif.
Sanksi itu berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat cara pembuatan obat yang baik (CPOB), pencabutan sertifikat CPOB, penghentian sementara kegiatan iklan, serta pembekuan izin edar dan/atau pencabutan izin edar bagi perusahaan farmasi yang mengedarkan obat-obatan berbahaya itu.
Rasa keadilan bagi korban
Respons tersebut perlu diapresiasi, tetapi apakah telah cukup memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban? Perlu dipahami, sanksi pidana yang berupa denda dalam UU Kesehatan, dan sebagaimana layaknya pengaturan dalam hukum publik, denda dibayarkan kepada negara, bukan kepada keluarga korban.
Sementara pengaturan ganti rugi hanya ditujukan pada seseorang yang menimbulkan kerugian dalam pelayanan kesehatan, bukan pada penyedia obat atau perusahaan farmasi.
Perusahaan farmasi yang umumnya berbentuk perseroan terbatas (PT) merupakan entitas hukum penyandang hak dan kewajiban layaknya manusia meski tak sama sepenuhnya.
PT sebagai badan dapat bertanggung jawab jika melakukan kejahatan korporasi (corporate crime), yaitu segala tindakan yang dilakukan korporasi yang dijatuhi hukuman oleh negara, baik menurut hukum administratif, perdata, maupun pidana (Clinard and Yeager, 1980).
Dugaan efek samping atau kandungan berbahaya pada obat telah jamak terjadi, tetapi umumnya kasus keamanan obat semacam ini jarang yang kemudian dimasukkan pada perbuatan pidana dan hanya masuk pada product liability yang diselesaikan dengan gugatan perdata melalui jalan kompensasi.
Dalam konteks Indonesia, UU Kesehatan tak memberikan langkah gugatan ganti kerugian bagi korban sediaan obat.
Tragedi Thalidomide yang merupakan obat pereda mual bagi wanita hamil yang justru membuat kecacatan ribuan janin; kasus anak perusahaan Johnson & Johnson, McNeil Laboratories, terkait Flexin yang menyebabkan kematian dan kerusakan hati; serta kasus obat Clioquinol di Jepang merupakan tiga kasus yang menarik untuk dicermati.
Dalam kasus-kasus tersebut, produsen penyedia obat dijatuhi kewajiban ganti rugi dengan jumlah penggugat yang masif dan gugatan class action yang bernilai fantastis.
Bahkan, dalam kasus Clioquinol, Pemerintah Jepang sebagai pengawas penyedia obat dijatuhi hukuman ikut membayar sepertiga dari total jumlah ganti rugi yang diajukan penggugat (Braithwaite,1984).
Dari kasus-kasus tersebut, konsekuensi serius untuk perusahaan justru datang tidak dari sanksi pidana, tetapi justru dari gugatan perdata dengan jumlah korban yang masif sehingga nilai kerugiannya pun akan sangat besar.
Dalam konteks Indonesia, UU Kesehatan tak memberikan langkah gugatan ganti kerugian bagi korban sediaan obat. Dengan demikian, ketentuan ganti rugi harus dikembalikan menurut Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen.
Industri farmasi adalah industri yang menuntut knowledge and laboratorium testing based. Mengingat saat seseorang membeli obat pertimbangan utamanya adalah kebutuhan akan sembuh dari sebuah penyakit, jual beli obat tidak hanya berbicara tentang uang dan keuntungan, tetapi kesehatan dan juga nyawa manusia.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya produsen obat memiliki standar yang lebih tinggi dari industri lain.
Jika uji akurat dan sensitif yang diperlukan untuk memastikan tidak melayangnya nyawa manusia karena kandungan toksik yang mungkin terdapat pada cemaran, maka jangan sampai hanya karena kompetisi pada harga obat dan kecepatan penetrasi pasar membuat konsumen menanggung akibat fatal dari persaingan tersebut.
Tanggung jawab pemerintah
Potensi dominasi antisosial dalam industri farmasi harus dapat dimitigasi, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun langkah pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban menjamin terpenuhinya hak sehat masyarakat.
Kompensasi merupakan langkah yang bisa diambil oleh keluarga korban jika terbukti obat batuk sirop yang memiliki izin edar dari pemerintah merupakan penyebab kematian putra-putri mereka.
Namun, bukankah lebih baik pengawasan peredaran obat dan uji standar sediaan ditingkatkan ke depannya supaya hal-hal semacam ini tidak terulang lagi? Hal ini mengingat seberapa besar pun kompensasi yang dibayarkan, nyawa yang hilang tidak akan kembali.
Karina Dwi NugrahatiPutri Dosen FH UGM dan PhD Student University of Sydney, Australia