Perbaikan Sistem Pengawasan Jaminan Mutu Obat Mendesak
Badan Pengawas Obat dan Makanan mengumumkan tiga produsen obat sediaan cair atau sirop tidak terstandar. Bahan baku yang dipakai mengandung etilen glikol melebihi batas aman. Perbaikan pengawasan obat makin mendesak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
SERANG, KOMPAS — Transformasi secara menyeluruh perlu dilakukan pada sistem pengawasan jaminan mutu produk farmasi di Indonesia. Adanya celah pada aturan pengawasan obat yang berlaku saat ini membuat sistem pengawasan menjadi tidak maksimal. Perubahan ini kian mendesak agar kasus gangguan ginjal akut pada anak tidak terulang kembali.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Penny K Lukito dalam konferensi pers terkait hasil penindakan industri farmasi yang memproduksi sirop obat yang tidak memenuhi standar di Serang, Banten, Senin (31/10/2022). Setidaknya ada tiga industri farmasi yang disebutkan BPOM memproduksi sirop obat yang tidak terstandar, yakni PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma Pharmaceutical Industries.
”Tragedi (kasus gangguan ginjal akut pada anak) ini membuat kita harus segera memperbaiki segara sistem jaminan keamanan mutu dan memberikan efek jera pada pelanggar agar tidak terulang lagi. Kejahatan obat itu ada dan dia (pelanggar) akan memanfaatkan berbagai peluang dan gap (celah) yang ada,⁄ kata Penny.
Menurut dia, selama ini penindakan yang diberikan terhadap pelanggar jaminan keamanan dan mutu produk farmasi belum memberikan efek jera. Sanksi dan hukuman yang diberikan umumnya hanya sekitar tiga bulan dan masa percobaan. Untuk itu, hukuman yang diberikan harus lebih tegas.
Penny juga menuturkan, aturan terkait masuknya bahan baku untuk industri farmasi saat ini belum mensyaratkan adanya surat keterangan dari BPOM. Tidak adanya payung hukum ini membuat BPOM tidak dapat mengawasi masuknya bahan baku sejak awal.
”Sehingga tidak bisa dibedakan antara pengadaan bahan baku atau bahan pelarut PEG dan EG (polietilen glikol dan etilen glikol) yang dengan pharmaceutical grade dan yang industrial grade. Dan itu dimanfaatkan oleh mereka (industri yang melanggar),” tuturnya.
Penny mengatakan, transformasi dalam sistem pengawasan produk farmasi tidak hanya menjadi masukan untuk Indonesia, tetapi juga negara lain. Cemaran produk farmasi yang menyebabkan korban jiwa tidak hanya ditemukan di Tanah Air, tetapi juga negara lain, seperti Haiti, Panama, dan Gambia.
Tragedi (kasus gangguan ginjal akut pada anak) ini membuat kita harus segera memperbaiki segara sistem jaminan keamanan mutu dan memberikan efek jera pada pelanggar agar tidak terulang lagi. (Penny K Lukito)
Cemaran obat
Kementerian Kesehatan sebelumnya menyampaikan, kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang dialami oleh lebih dari 200 anak di Indonesia diduga kuat akibat konsumsi obat sediaan sirop atau cair yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi batas aman. Senyawa EG dan DEG dilarang dimasukkan dalam obat atau makanan. Akan tetapi, senyawa tersebut dapat ditemukan sebagai cemaran pada senyawa propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop.
Sesuai aturan Farmakope Indonesia dan US Pharmacopeia, dua senyawa itu berbentuk kontaminan pada bahan tambahan sirop dengan nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol serta 0,25 persen pada polietilen glikol. Cemaran itu dinilai tak menimbulkan efek merugikan jika masih di bawah nilai toleransi yang ditentukan.
Namun, Penny mengatakan, kandungan etilen glikol (EG) yang ditemukan pada produk yang diproduksi oleh PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Afi Farma Pharmaceutical Industries jauh lebih tinggi dari batas aman yang ditentukan. Pada produk Flurin Dmp Sirup 60ml yang diproduksi oleh PT Yarindo Farmatama bahkan menggunakan bahan baku propilen glikol yang mengandung etinol glikol sebesar 48,29 persen.
”Jadi kadar EG yang sangat tinggi ini berarti bukan lagi pencemaran, tapi dari sumber bahan baku yang digunakan memang mengandung bahan EG dan DEG yang sangat tinggi. Ini artinya bukan pencemaran, tapi keracunan yang bersumber dari bahan baku,” tuturnya.
Penny memaparkan setidaknya ada empat pelanggaran yang dilakukan oleh PT Yarindo Farmatama. Itu meliputi menggunakan bahan baku yang tidak memenuhi syarat dengan cemaran EG di atas batas aman, tidak melakukan kualifikasi pemasok bahan baku obat dan tidak melakukan pengujian bahan baku obat untuk parameter cemaran EG dan DEG, tidak menggunakan metode analisis untuk pengujian bahan baku yang sesuai dengan Pharmacopeia terkini, serta memproduksi produk Flurin Dmp Sirup yang menggunakan bahan baku dengan kandungan etinol glikol lebih dari batas aman yang ditentukan.
Pelanggaran serupa juga ditemukan pada sejumlah produk yang diproduksi oleh PT Universal Pharmaceutical Industries dan PT Afi Farma Pharmaceutical Industries. Adapun produk dari PT Universal Pharmaceutical yang mengandung EG melebihi batas aman adalah Unibebi Cough Sirop, Unibebi Demam Sirop, dan Unibebi Demam Drops. Sementara pada PT Afi Farma Pharmaceutical Industries ditemukan ada tujuh produk yang mengandung EG melebihi batas aman, antara lain paracetamol drop dan paracetamol sirop rasa peppermint.
Bahan baku
Penny menuturkan, penyelidikan dan penelusuran lebih lanjut tengah dilakukan pada bahan baku yang digunakan pada industri tersebut. PT Yarindo Farmatama membeli bahan baku dari distributor CV Budiarta, sementara PT Universal Pharmaceutical membeli ke PT Mega Setia.
”Kita akan mencari keterkaitannya dari kedua hal tersebut ke satu sumber dan juga melihat aspek legalitas apakah ada unsur pemalsuan. Sumber bahan baku propilen glikol yang ditemukan ini produksi Dow Chemical Thailand,” katanya.
Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Pipit Rismanto menyampaikan, penyelidikan dan penelusuran masih dilakukan untuk mengetahui secara pasti adanya kesengajaan ataupun kelalaian yang menyebabkan kesakitan dan kematian pada pasien gangguan ginjal akut. Sampel obat telah dikumpulkan, beserta urine dan darah dari pasien tersebut.
Selain itu, penyelidikan juga dilakukan pada bahan baku obat yang digunakan. ”Bahan baku yang digunakan itu dari mana saja, apakah diimpor atau diproduksi dalam negeri. Itu akan kita kembangkan sampai sana, bahkan mungkin apakah itu sudah ada izin edar atau belum,” ujarnya.