Obat yang Tercemar
Kasus gangguan ginjal akut yang diduga terkait dengan obat yang terkontaminasi yang terjadi di Indonesia bukan pertama kali di dunia. Untuk itu, pengawasan terhadap mutu produk farmasi harus lebih diperketat.
Kejadian gangguan ginjal akut yang terjadi pada lebih 200 anak di Indonesia yang diduga kuat karena cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada obat sirup atau cair bukan pertama kali di dunia. Namun, ini seharusnya menjadi catatan akan pentingnya upaya peningkatan pengendalian mutu untuk menjamin keamanan produk farmasi.
Merujuk pada jurnal yang dipublikasi secara daring pada 9 November 2010 oleh peneliti dari Divisi Akademik Kesehatan Anak Universitas Nottingham-RS Anak Derbyshire Inggris, penggunaan dietilen glikol sebagai pelarut produk farmasi yang menyebabkan korban terjadi pada 1937 di Amerika Serikat. Kasus serupa juga terjadi di Afrika Selatan, Spanyol, Nigeria, Bangladesh, dan China pada waktu yang berbeda.
Selain itu, dicatatkan pula kontaminasi dietilen glikol (DEG) pada produk gliserin terjadi pada 1986 di India. Negara lain yang juga mencatat adanya kontaminasi DEG pada produk farmasi antara lain, Argentina, Haiti, India, Australia, Panama, dan Nigeria. Dari seluruh kasus tersebut, anak yang paling terdampak, baik akibat kesakitan maupun kematian yang terkait dengan kondisi gagal ginjal akut.
Sebelum adanya kejadian di Indonesia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun melaporkan adanya kasus gagal ginjal akut pada sejumlah anak di Gambia, Afrika pada awal Oktober 2022. WHO menduga kuat bahwa gagal ginjal akut yang terjadi akibat cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dari obat batuk sediaan sirop yang dikonsumsi oleh pasien.
Baca juga: Menguat, Dugaan Obat Cair dan Sirop Picu Gangguan Ginjal Akut
Cemaran
Guru Besar bidang Farmakologi dan Farmasi Klinis Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati yang dihubungi di Jakarta, Selasa (25/10/2022), mengatakan, etinel glikol dan dietilen glikol dilarang untuk secara sengaja dimasukkan ke dalam obat atau makanan. Itu karena zat tersebut memiliki sifat racun yang tinggi.
Namun, terkadang zat itu bisa menjadi cemaran dari bahan lain yang digunakan sebagai pelarut. ”Jika masih di bawah ambang batas, itu seharusnya tidak akan berbahaya,” katanya.
Senyawa EG dan DEG bisa ditemukan sebagai cemaran dari senyawa propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop. Sesuai aturan dalam Farmakope Indonesia dan US Pharmacopeia, keberadaan kedua senyawa tersebut dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirup memiliki nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol, serta 0,25 persen pada polietilen glikol. Batas nilai toleransi tersebut dinyatakan tidak menimbulkan efek yang merugikan.
Selain itu, ditetapkan pula ambang batas aman atau tolerable daily intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari. Meski demikian, untuk mengukur cemaran harian pada seseorang cukup sulit dilakukan, khususnya untuk mencari penyebab dari cemaran tersebut. Cemaran EG dan DEG bisa juga disebabkan dari paparan lain selain dari cemaran konsumsi obat.
Gagal ginjal
Meski demikian, Zullies mengatakan, jika cemaran ED dan DEG yang masuk ke dalam tubuh melebihi ambang batas, dapat timbul toksisitas atau keracunan. Bahkan, apabila diuraikan dengan senyawa lain, bisa terjadi toksisitas yang lebih tinggi sehingga bisa berpengaruh pada fungsi ginjal.
Baca juga: Gagal Ginjal Akut Mengarah pada Kejadian Luar Biasa
Senyawa ED dan DEG yang berada dalam tubuh dapat menghasilkan metabolit berupa asam oksalat. Ketika berinteraksi dengan kalsium kemudian akan menjadi kalsium oksalat yang mengendap di berbagai jaringan tubuh, terutama ginjal, sehingga akhirnya menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut. Kalsium oksalat tersebut berbentuk kristal-kristal yang tajam yang juga dapat merusak organ ginjal. Oleh sebab itu, paparan yang terlalu besar menjadi amat berbahaya.
Hal itu pula yang diduga menjadi penyebab dari kejadian gangguan ginjal akut progresif atipikal yang terjadi pada lebih dari 200 anak di Indonesia. Penyelidikan sementara masih dilakukan untuk memastikan penyebab gangguan ginjal tersebut. Namun, dugaan kuat merujuk pada konsumsi obat yang tercemar EG dan DEG.
Sesuai dengan informasi keempat dari hasil pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap sirop obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG pada 20 Oktober 2022 disebutkan ada lima produk dari tiga perusahaan yang menunjukkan adanya kandungan cemaran EG melebihi ambang batas aman.
Lima produk itu meliputi Termorex Sirup (obat demam) produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A, Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu) produksi PT Yarindo Farmatama DTL0332708637A1. Tiga produk lainnya diproduksi Universal Pharmaceutical Industries yakni Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu) DTL7226303037A1, Unibebi Demam Sirup (obat demam) DBL8726301237A1, dan Unibebi Demam Drops (obat demam) dengan nomor izin edar DBL1926303336A1.
Namun, pada informasi kelima pada 23 Oktober 2022, Kepala BPOM Penny K Lukito menuturkan, setelah pengujian dikembangkan lagi dengan sampel dan bets (batch) lain dengan lokasi peredaran dan waktu produksi berbeda, produk Termorex Sirup pada batch tertentu dinyatakan aman. Penarikan dilakukan pada batch tertentu, yakni nomor batch AUG22A06 (dalam tulisan sebelumnya tak disebutkan nomor batch).
Sementara dalam lampiran disebutkan, produk Termorex Sirup rasa Jeruk nomor batch SEP22A04 dinyatakan aman.“Jadi penarikan hanya untuk batch tertentu. Artinya yang lainnya aman, hanya yang batch itu saja karena didapatkan di batch-batch lainnya tidak melebihi ambang batas. Sebagai pemahaman, aman atau tidaknya (produk) juga bisa berbeda dari batch yang berbeda,” kata Penny.
Pada 21 Oktober 2022, PT Konimex mengeluarkan surat pernyataan resmi terkait hasil pengujian BPOM itu. Dalam surat yang ditandatangani Chief Executive Officer PT Konimex Rachmadi Joesoef, PT Konimex menyatakan semua obat sirop yang diproduksi tak memakai bahan baku EG dan DEG. Meski demikian, sesuai surat keputusan BPOM, PT Konimex mempersiapkan penghentian produksi, distribusi, dan penarikan kembali produk Termorex Sirup 60ml nomor batch AUG22A06.
Selanjutnya BPOM pada 27 Oktober 2022 merilis keterang resmi terkait temuan produk farmasi yang tercemar EG dan DEG. Setidaknya ada 198 produk obat yang tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, ataupun gliserin/gliserol sehingga dinyatakan aman untuk digunakan asalkan sesuai dengan aturan pakai.
Kementerian Kesehatan per 26 Oktober 2022 mencatat setidaknya terdapat 269 kasus gangguan ginjal akut yang dilaporkan di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu terdapat 157 kematian atau 58,3 persen dari total kasus yang dilaporkan.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Bali, Jumat (28/10/2022), menuturkan, penurunan kasus yang dilaporkan mulai menurun sejak adanya penghentian sementara konsumsi obat cair atau sirop di masyarakat. Dalam beberapa hari terakhir bahkan sudah tidak ada kasus baru gangguan ginjal akut yang masuk ke RS Cipto Mangunkusumo.
Meski demikian, tingginya jumlah kasus serta luasnya sebaran kasus yang dilaporkan patut menjadi pertimbangan dalam proses penyelidikan terkait penyebab gangguan ginjal akut pada anak. Apakah sebagian besar obat yang beredar memang tercemar? Itu karena mustahil jika semua anak di wilayah yang berbeda tersebut mengonsumsi satu atau dua produk obat yang sama.
Selain itu, investigasi secara mendalam juga perlu mempertimbangkan asupan makanan lain serta potensi cemaran lingkungan dari senyawa etilen glikol. Cara penyimpanan dari obat serta takaran obat yang dikonsumsi juga perlu menjadi pertimbangan yang dapat menyebabkan terjadinya cemaran.
Baca juga: Perkuat Pengawasan Obat Sebelum dan Sesudah Beredar
Menurut Zullies, cemaran EG dan DEG pada produk obat yang melebihi ambang batas bisa disebabkan oleh dua hal, yakni akibat bahan baku yang tercemar sejak awal serta kesengajaan dari perusahaan farmasi. ”Namun, jika sengaja dilakukan oleh perusahaan farmasi itu sudah masuk dalam tindak kriminal,” katanya.
Pada kejadian di China tahun 2008 ketika hasil investigasi membuktikan adanya perusahaan farmasi yang menggunakan DEG sebagai pelarut, setidaknya ada lima orang dari perusahaan yang dipidana. Selain itu, wakil direktur dari badan pengawas obat dan makanan di negara tersebut dipecat akibat kelalaiannya.
Sementara terkait bahan baku yang tercemar, hal ini bisa terjadi apabila perusahaan farmasi melakukan perubahan bahan baku. Penggunaan bahan baku yang tidak memenuhi standar mutu itu bisa menjadi penyebab dari adanya cemaran. Namun, selama ini, sesuai dengan aturan, tidak ada kewajiban, baik pada BPOM maupun industri farmasi, untuk melakukan pengujian ataupun pengawasan terhadap cemaran dari bahan baku obat.
Oleh sebab itu, Zullies mengatakan, temuan kasus gangguan ginjal akut pada anak yang sudah beberapa kali terjadi di sejumlah negara patut menjadi pertimbangan untuk bisa memperketat pengawasan pada produk obat yang dipasarkan di masyarakat. Hal tersebut tentu untuk memastikan keamanan dan keselamatan dari masyarakat.
Dalam siaran pers, Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, berdasarkan hasil pengujian telah ditemukan adanya konsentrasi EG dan DEG yang sangat tinggi pada sampel bahan baku propilen glikol yang digunakan dalam produk tertentu. Atas dasar itu, dugaan sementara menyatakan ada penggunaan bahan baku tambahan yang tidak sesuai dengan standar.
”Saat ini sedang dilakukan investigasi terkait pengadaan propilen glikol oleh industri yang berasal dari importir umum, termasuk dugaan adanya pasokan propilen glikol yang tidak sesuai standar. Penindakan pun telah dilakukan Bareskrim Polri pada dua industri farmasi yang tidak memenuhi syarat,” tuturnya.
Namun, jika memang sengaja dilakukan oleh perusahaan farmasi, itu sudah masuk dalam tindak kriminal. (Zullies Ikawati)
Jurnal berjudul ”Epidemic of Pediatric Deaths From Acute Renal Failure Caused by Diethylene Glycol Poisoning” yang diterbitkan di JAMA pada 1998 pun sebenarnya sudah menekankan pentingnya penguatan pengawasan mutu untuk mencegah kontaminasi dari produk farmasi. Kejadian gagal ginjal akut bisa terjadi berulang, bahkan di negara dengan tingkat pengawasan mutu yang baik.
Regulasi serta prosedur pengawasan yang lebih ketat perlu dibentuk dan diterapkan secara konsisten oleh semua perusahaan farmasi di seluruh dunia dengan pengawasan dari badan otoritas terkait. Hal ini penting untuk menjamin keamanan dari produk farmasi. Jangan sampai obat yang seharusnya menyembuhkan justru menjadi sumber penyakit bahkan berakibat fatal pada penggunanya.