Telusuri Bahan Baku Obat Diduga Penyebab Gangguan Ginjal Akut
Asal bahan baku obat mengandung etilen glikol dan dietilen glikol mesti ditelusuri. Sejauh ini, keduanya diduga menyebabkan gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelusuran asal bahan baku obat yang mengandung cemaran etilen glikol dan dietilen glikol mendesak dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menekan kemungkinan timbulnya kasus baru gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak di masa depan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito, dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (27/10/2022), mengatakan, ada dua industri farmasi yang diproses hukum oleh Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri). Obat yang diproduksi kedua industri itu mengandung konsentrasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang sangat tinggi. EG dan DEG sejatinya tidak boleh digunakan untuk produksi obat sirop.
”Bisa jadi EG dan DEG (digunakan) sebagai bahan pelarut (obat sirop). Menurut kecurigaan kami, ada unsur kesengajaan sehingga ini masuk ke ranah pidana. Tapi, itu (perlu) ditelusuri lebih jauh lagi,” kata Penny di Jakarta. Ia enggan menyebut nama dua perusahaan yang sedang diperiksa polisi.
EG dan DEG ditemukan sebagai cemaran pada senyawa polietilen glikol, propilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Keempat senyawa ini digunakan sebagai pelarut tambahan pada obat cair atau sirop. Namun, keempatnya bukan bahan berbahaya atau dilarang dalam pembuatan obat. Adapun konsumsi EG dan DEG hanya aman jika tidak melebihi ambang batas, yakni 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.
Konsumsi EG dan DEG di atas ambang batas dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Adapun EG dan DEG diduga menyebabkan gangguan ginjal akut progresif atipikal yang menimpa ratusan anak di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.
Asal bahan baku obat yang digunakan perusahaan yang sedang diperiksa polisi juga akan ditelusuri, begitu pula standar bahan baku obatnya. Bahan baku yang diperbolehkan untuk pembuatan obat harus memenuhi standar farmasi (pharmaceutical grade).
Bahan kimia yang memenuhi standar farmasi telah dimurnikan dan umumnya lebih mahal dibandingkan dengan bahan kimia standar lain, misalnya standar industri. Perbedaan harga ini dikhawatirkan menjadi celah bagi penggunaan bahan baku obat ilegal.
Mengutip laman Kementerian Kesehatan, 90 persen bahan baku obat merupakan hasil impor. Namun, tidak semua bahan baku obat impor itu diawasi BPOM. Penny mengatakan, zat pelarut obat sirop, seperti propilen glikol dan polietilen glikol, masuk kategori barang non-larangan dan pembatasan yang diawasi Kementerian Perdagangan.
”Pemasukan bahan baku pharmaceutical grade ada di bawah BPOM. Bahan ini masuk kategori barang larangan dan pembatasan sehingga kalau diimpor butuh SKI (surat keterangan impor) dari BPOM. Kami akan verifikasi dulu,” ucap Penny.
BPOM menambahkan, 65 obat cair dalam daftar obat yang tidak mengandung empat zat pelarut, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Obat-obat ini dinyatakan aman dikonsumsi. Beberapa di antaranya adalah Flagyl, Molexdryl, Obat Batuk Hitam, dan Zincpro. Izin edar obat masing-masing dimiliki oleh Aventis Pharma, Molex Ayus, Nusantara Beta Farma, dan Combiphar. Sejauh ini BPOM telah merilis 198 jenis obat yang aman dikonsumsi.
Jumlah kasus naik
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, per 26 Oktober 2022 ada 269 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak di 27 provinsi. Sebanyak 73 di antaranya dirawat, 39 orang sembuh, dan 157 orang meninggal dunia.
”Pada 24 Oktober 2022 ada 241 kasus sehingga ada kenaikan 18 kasus. Dari 18 kasus ini, yang betul-betul baru hanya tiga kasus. Sebanyak 15 kasus lainnya adalah kasus yang baru dilaporkan, tapi terjadi pada akhir September (2022) hingga awal atau pertengahan Oktober (2022),” kata Syahril.
Pemerintah berencana mendatangkan obat penawar atau antidotum jenis Fomepizol bagi pasien. Sebanyak 30 antidotum didatangkan dari Singapura secara bertahap. Sebanyak 20 vial antidotum tiba di Indonesia pada 10 dan 18 Oktober 2022, lantas digunakan untuk mengobati pasien di RSUP Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 10 vial lainnya direncanakan tiba hari ini, Kamis (27/10/2022).
Sebanyak 16 vial obat dari Australia tiba pada 22 Oktober 2022 dan didistribusikan ke rumah sakit di Padang, Surabaya, Medan, dan Aceh. Syahril menambahkan, 200 vial Fomepizol akan didatangkan dari Jepang dan direncanakan tiba minggu depan.
Wakil Ketua Internal Komnas HAM Munafrizal Manan berharap agar kejadian ini jadi momentum untuk memastikan hal serupa tidak terjadi di masa depan. Artinya, sistem pengawasan obat dan makanan mesti dibuat secara komprehensif dan maksimal.