Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan diduga melakukan malaadministrasi sehingga kasus gangguan ginjal akut pada anak terjadi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas melayani warga yang membeli obat di apotek Wisnu, Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Minggu (23/10/2022). Apotek tersebut untuk sementara menghentikan penjualan produk obat sirop setelah mendapat sosialisasi dari Puskesmas Ciledug terkait merebaknya penyakit gangguan ginjal akut progresif atipikal yang diderita anak-anak.
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menduga terdapat malaadministrasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM sehingga terjadi kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada ratusan anak. Ombudsman berencana memanggil dua lembaga pemerintah tersebut. Kedua lembaga itu juga diberi kesempatan untuk menindaklnjuti dugaan potensi malaadministrasi ini.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menilai, BPOM dan Kemenkes tidak mampu menghimpun data gangguan ginjal akut yang akurat. Ini berdampak terhadap kelalaian pencegahan penyakit, lambatnya penentuan penyebab penyakit, hingga penanganan. Data yang tidak akurat juga menghambat sosialisasi dan hak masyarakat atas informasi. Selain itu, dugaan malaadministrasi Kemenkes muncul karena pencegahan dan penanganan kasus tidak sesuai standar pelayanan publik.
Di sisi lain, BPOM diduga melakukan malaadministrasi karena pengawasan produk obat tidak maksimal, baik sebelum obat beredar maupun setelahnya. Selain itu, verifikasi dan validasi produk sebelum izin edar terbit tidak maksimal. Pemberian izin juga dirasa tidak optimal karena tidak diikuti evaluasi berkala terhadap konsistensi kandungan mutu produk.
”Ini sesuatu yang sangat krusial. Kami minta pemerintah untuk benar-benar bekerja dengan cara-cara luar biasa. Tunjukkan akuntabilitas, tunjukkan pertanggungjawaban kita untuk menyelesaikan masalah yang ada,” ucap Robert.
Ombudsman juga meminta pemerintah melalui Kemenkes menetapkan kasus gangguan ginjal akut ini sebagai kejadian luar biasa (KLB). Kasus ini dianggap memenuhi, nyaris semua, kriteria KLB, kecuali ketentuan soal penyakit menular. Penetapan KLB berarti standar pelayanan publik akan terpenuhi, satgas dapat dibentuk, serta koordinasi dengan pemerintah daerah dan BPJS Kesehatan dapat dilakukan dengan baik.
”Dengan demikian, berbagai langkah terkoordinasi dari pusat hingga daerah. Pemangku kepentingan dan penanganannya tidak berjalan sendiri-sendiri dan (tidak) membuat masyarakat bingung,” ucap Robert.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Seorang ibu membeli obat di apotek Wisnu, Ciledug, Kota Tangerang, Banten, Minggu (23/10/2022). Kemenkes mengeluarkan surat edaran Nomor: SR.01.05/III/3461/2022 pada Rabu (19/10/2022) tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi, dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal.
Jumlah kasus
Kasus gangguan ginjal akut pada anak di 26 provinsi naik menjadi 255 kasus per 24 Oktober 2022. Dari angka itu, terdapat 143 kematian atau setara 56 persen. Ratusan obat penawar akan segera didatangkan dari luar negeri untuk mengobati pasien.
Sebelumnya, per 23 Oktober 2022, pemerintah mencatat 245 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di 26 provinsi. Jumlah kematian sebanyak 141 kasus. Artinya, data terbaru menunjukkan tambahan 10 kasus gangguan ginjal akut dan 2 kematian.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, data tambahan itu bukan kasus baru. Kasus ini terjadi pada September-Oktober 2022, tetapi baru tercatat. Menurut dia, tidak ada pasien baru sejak 22 Oktober 2022.
Ombudsman juga meminta pemerintah melalui Kemenkes menetapkan kasus gangguan ginjal akut ini sebagai kejadian luar biasa (KLB). Kasus ini dianggap memenuhi, nyaris semua, kriteria KLB, kecuali ketentuan soal penyakit menular.
”Kasus gagal ginjal ini terjadi setiap tahun, namun jumlahnya sangat kecil, yaitu 1-2 kasus setiap bulan. Kasus gangguan ginjal baru jadi perhatian pemerintah setelah terjadi lonjakan pada akhir Agustus (2022) dengan jumlah kasus lebih dari 35, sama halnya kasus hepatitis akut yang tiba-tiba melonjak,” kata Syahril secara daring, Selasa (25/10/2022).
Pemerintah berencana mendatangkan lebih banyak antidotum atau obat penawar. Pemerintah akan mendatangkan sekitar 200 vial antidotum dari Jepang dan Amerika Serikat. Obat ini bakal segera didistribusikan ke seluruh rumah sakit rujukan pemerintah di seluruh Indonesia dan diberikan gratis bagi pasien.
Sebelumnya, ada 26 vial antidotum fomepizol dari Singapura dan 16 vial dari Australia yang didatangkan. Fomepizol direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang efektivitasnya mencapai 90 persen.
Pasien membaik
Fomepizol diberi ke pasien di sejumlah rumah sakit rujukan pemerintah, salah satunya RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Setelah diberi fomepizol, sebanyak 10 dari 11 pasien di RSCM mengalami perbaikan klinis. Syahril mengatakan, tidak ada kematian atau perburukan kondisi setelah pasien diberi fomepizol. Pasien dilaporkan sudah bisa buang air kecil.
”Dari hasil (pemeriksaan) laboratorium, kadar etilen glikol pada 10 anak tersebut sudah tidak terdeteksi berbahaya,” ucap Syahril.
Sejauh ini, penyebab gangguan ginjal akut pada anak diperkirakan karena cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada zat pelarut obat sirop. Jika dikonsumsi melebihi ambang batas aman, yakni 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari, konsumen bisa mengalami gangguan kesehatan yang mengarah ke gagal ginjal.