Panti Asuhan, Tumpuan Anak-anak Miskin
Panti asuhan selama ini dipandang masyarakat hanya menampung anak-anak yatim piatu. Kenyataannya, panti asuhan justru menjadi tempat yang dituju anak-anak dari keluarga miskin, sebagai jalan mendapatkan pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS — Panti asuhan tidak hanya menjadi rumah dan tempat berlindung bagi anak-anak yang tidak memiliki atau kehilangan orangtuanya, tetapi juga menjadi tumpuan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan keluarga yang bermasalah. Selain mendapat pengasuhan alternatif di panti asuhan, mereka juga mengenyam pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Mayoritas anak-anak di panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) masih memiliki orangtua atau keluarga. Hanya sebagian kecil yang tidak memiliki orangtua (yatim piatu, yatim, atau piatu). Mereka sengaja dibawa orangtuanya ke panti asuhan agar mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Umumnya mereka datang dari keluarga miskin dari perdesaan dan daerah-daerah pelosok di Tanah Air. Sebagian sudah putus sekolah.
Berdasarkan data Profil Anak Indonesia tahun 2021, sebanyak 4,76 persen dari anak Indonesia tinggal bersama keluarga lain dan sebagian berada di panti asuhan, yang diperkirakan jumlahnya sekitar 5.000 panti asuhan. Mereka tinggal di panti asuhan yang dikelola yayasan, keluarga, atau perorangan.
Ketika menyelesaikan pendidikan, terutama di tingkat sekolah menengah atas (SMA), sebagian besar anak-anak panti asuhan kembali pada orangtua dan hidup mandiri di tengah masyarakat. Namun, ada juga yang tetap tinggal di panti asuhan menjadi pengurus atau membantu pengelola panti.
Sebagai contoh, Panti Asuhan Putra Nusa Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, yang berdiri sejak tahun 1958. Sebagian besar anak-anak di panti asuhan itu adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu secara ekonomi yang berasal dari luar Jakarta. Mereka mengetahui keberadaan panti asuhan tersebut dari tetangga, rekomendasi alumni dari panti, atau mencari lewat internet.
”Pekerjaan orangtua anak-anak ini macam-macam, ada yang sopir, pembantu rumah tangga, atau pengasuh anak. Kemarin ada orangtua salah satu anak yang bekerja sebagai pengasuh anak, gajinya hanya sekitar satu juta rupiah, tidak mencukupi untuk biaya sekolah satu anak. Padahal, anaknya tidak hanya satu orang,” ujar Upik, pengelola Panti Asuhan Putra Nusa, Rabu (26/10/2022) pekan lalu.
Di Lampung, Panti Asuhan Pelita Harapan Bangsa saat ini menampung 50 anak dari keluarga miskin. Sebagian masih memiliki orangtua lengkap. Ada juga yang dititipkan karena menjadi korban perceraian kedua orangtuanya, atau orangtuanya masih hidup tetapi tidak diketahui keberadaannya.
Saat ini ada 125 LKSA di Bandar Lampung. Namun, baru sekitar 50 LKSA yang mengurus perizinan. ”Selama ini sosialisasi dan pengawasan pada LKSA yang belum mempunyai legalitas jarang dilakukan. Selain itu, tidak ada imbal balik dari pemerintah untuk LKSA yang telah memenuhi syarat dan legalitas,” kata Amir, Ketua Yayasan Panti Asuhan Pelita Harapan Bangsa, yang juga Ketua Forum Daerah LKSA Lampung, Jumat (28/10/2022).
Baca juga : Polisi Diminta Segera Usut Kekerasan Seksual di Panti Asuhan
Di Makassar, saat ini Panti Asuhan Miftahul Khair yang berdiri sejak tahun 1971 menampung sekitar 40 anak, umumnya berasal dari Manggarai Barat. Sebagian besar masih memiliki orangtua lengkap. Awalnya mereka hanya menerima anak-anak yang benar-benar tak memiliki orangtua, yang berasal dari Sulawesi Selatan atau Sulawesi Barat.
Namun, setelah itu, dinas sosial menyatakan bahwa tidak harus yatim piatu, anak-anak telantar dan miskin juga bisa ditampung di panti tersebut. ”Bahkan, kami juga menampung anak-anak korban kekerasan atau dari keluarga broken home,” ujar A Halmiyah, pengelola panti asuhan tersebut.
Semua anak yang ditampung di panti ini disekolahkan dengan biaya dari dana bantuan operasional sekolah (BOS). Untuk biaya operasional, selama ini panti asuhan mengandalkan bantuan donatur, baik secara pribadi maupun dari berbagai yayasan. Namun, semenjak pandemi Covid-19, beberapa panti kesulitan dana menyusul berkurangnya donatur. Mereka harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan panti asuhan.
Di Palembang, Sumatera Selatan, aliran donasi dari para donatur Panti Asuhan Cahaya Ummi di Jalan Seduduk Putih, Kecamatan Ilir Timur II, sejak pandemi mendera kian seret. Pengelola panti asuhan harus mencari cara agar mampu menghidupi ke-20 anak asuhnya. Agar anak asuh dapat melanjutkan hidup, ia membuka usaha jual beli celengan hingga mengefisienkan pengeluaran. ”Terkadang untuk mencukupi kebutuhan, kami makan nasi dengan garam,” ujar Nirwana, pemilik Panti Asuhan Cahaya Ummi.
Seperti panti asuhan lain, masa paceklik ini juga dirasakan sejak pandemi mulai melanda. Bantuan dari pemerintah tidak lagi datang. Padahal, sebelum pandemi, pemerintah selalu memberikan bantuan tahunan. ”Biasanya kami mendapatkan dana Rp 13 juta-Rp 18 juta per tahun dari pemerintah," kata Nirwana.
Setiap pemda harus memastikan ada berapa banyak LKSA di lokasinya. Ini penting sekali buat masa depan anak dan untuk memastikan LKSA-LKSA yang tidak sesuai regulasi agar tidak diberi izin memberi layanan anak.
Peneliti senior Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia, Ni Luh Putu Maitra Agastya, mengatakan, pengasuhan di LKSA dapat memengaruhi pertumbuhan anak. Sejumlah studi mencatat bahwa perkembangan fisik dan psikologis anak berusia 0-5 tahun yang diasuh di LKSA lebih rendah dibandingkan anak yang diasuh keluarga.
”Menurut penelitian kami di 2015 terhadap 600 anak, hampir 30 persen di antaranya menyatakan kesepian. Mereka juga kangen keluarga dan merasa ada di lingkungan asing,” kata Agastya, Minggu (30/10/2022).
Sebagian anak pun merasa malu karena diasuh di LKSA diasosiasikan dengan kemiskinan dan keluarga yang tidak lengkap. Hal ini membuat anak tidak percaya diri. Kesepian ditambah rasa rendah diri dikhawatirkan menghambat anak yang sudah dewasa untuk kembali ke masyarakat. ”Di sisi lain, tidak semua panti asuhan menjalankan standar pengasuhan yang baik sehingga sangat rentan terjadi kekerasan dari pengasuh dan sesama anak asuh,” sambung Agastya.
Belum kantongi izin
Banyak panti asuhan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari dana hingga jumlah pengasuh yang terbatas. Bahkan, sejumlah panti asuhan berdiri tanpa mengantongi izin dan standar nasional pengasuhan anak sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan.
Menurut data Kementerian Sosial (Kemensos), ada sekitar 6.200 LKSA di Indonesia pada 2021. Sekitar 1.000 di antaranya belum mengantongi izin dari dinas sosial dan 154 lainnya sedang melengkapi syarat perizinan. Selain itu, belum semua LKSA berhasil didata oleh pemerintah.
Menurut Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos Kanya Eka Santi, ada kemungkinan sejumlah LKSA di masyarakat luput didata. Hal itu bisa terjadi karena ketidaktahuan pengelola LKSA untuk mendaftarkan diri. Salah satu kendalanya adalah kondisi geografis Indonesia.
”Seharusnya memang terdata. Setiap pemda harus memastikan ada berapa banyak LKSA di lokasinya. Ini penting sekali buat masa depan anak dan untuk memastikan LKSA-LKSA yang tidak sesuai regulasi agar tidak diberi izin memberi layanan anak,” kata Kanya.
Selain pendataan, LKSA juga perlu diakreditasi agar kualitas pelayanannya mencapai standar minimal. Badan Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial (BALKS) mencatat ada 12.331 lembaga kesejahteraan sosial yang terakreditasi pada 2021. Sebanyak 2.172 di antaranya adalah LKSA.
Kanya mengatakan, sedapat mungkin anak diasuh oleh keluarga inti atau keluarga besar. Jika tidak ada keluarga yang bisa mengasuh, anak dapat diasuh oleh keluarga pengganti (foster care), wali, atau diangkat anak oleh pihak lain. ”LKSA itu adalah sumber daya pengasuhan terakhir. LKSA seharusnya juga memastikan anak tidak terpisah dari keluarganya,” ujarnya.
Baca juga : Bruder Angelo, Terdakwa Pelaku Kekerasan Seksual di Panti Asuhan Depok, Ajukan Kasasi
Wakil Ketua BALKS Naswardi mengatakan, masih ada LKSA yang tidak terakreditasi karena belum mencapai kualitas standar minimal pemerintah. Ada sembilan aspek standar yang mesti dipenuhi LKSA, antara lain program, manajemen organisasi, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta hasil pelayanan.
”Tujuan akreditasi adalah untuk mengukur kualitas pemenuhan standar pelayanan minimal serta mencegah terjadinya malapraktik di lembaga kesejahteraan sosial,” kata Naswardi.
Adapun pengawasan dan pembinaan LKSA merupakan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Jika melakukan pelanggaran, LKSA terkait akan dikenai sanksi, seperti pencabutan sertifikat akreditasi.
Kanya mencontohkan, pada tahun ini pemerintah mendapati LKSA di Medan dan Manado melanggar aturan. Dinas sosial setempat diminta untuk membubarkan LKSA itu. Anak-anak yang tinggal di panti-panti tersebut dipindahkan ke unit pelaksana teknis Kemensos di setiap daerah atau dipertemukan kembali dengan keluarganya.
Dari pantauan Kompas, selama ini juga terjadi sejumlah pelanggaran di panti asuhan. Pada September 2022, misalnya, Pemerintah Kabupaten Ketapang mencabut izin dan menutup LKSA Yayasan Al-Akbar karena kasus dugaan kekerasan seksual pada anak asuh oleh pengurus panti tersebut. Di Kulon Progo, DI Yogyakarta, beberapa anak di sebuah panti asuhan diduga mengalami kekerasan seksual yang dilakukan MT (46), pengurus panti asuhan sejak tahun 2020 hingga 2022. Pada tahun 2014, pemerintah juga menutup Panti Asuhan Samuel di Gading Serpong, Tangerang, karena dugaan sejumlah kasus penelantaran anak-anak yang tinggal di sana.
Dorong pengawasan
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menegaskan, pengawasan terhadap LKSA penting untuk menghindari praktik buruk pengasuhan anak di LKSA. Hingga kini belum ada data yang mencatat kasus buruk pengasuhan anak di LKSA. Umumnya kasus tersebut baru tercatat setelah masa asuh anak di LKSA selesai atau jika masyarakat melapor.
”Kita juga perlu memastikan pengelola lembaga punya kredibilitas serta sumber daya manusia yang kuat untuk menjalankan pengasuhan. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengawasi lembaga yang terdaftar maupun yang sudah ada tapi belum terdaftar,” kata Jasra.
Pengawasan terhadap panti asuhan sangat penting agar bisa memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak dilakukan di setiap panti asuhan. Tanpa pengawasan, anak-anak di panti asuhan rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, dan eksploitasi ekonomi serta luput dari pendataan administrasi kependudukan. Bahkan, anak-anak itu rentan menjadi korban perdagangan orang.
Baca juga : Jangan Abaikan Hak Anak-anak yang Tidak Punya NIK
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengungkapkan, dari hasil pantauan Kementerian PPPA saat evaluasi kabupaten/kota layak anak, di lapangan masih ditemukan terjadinya kekerasan anak di panti asuhan, khususnya dalam proses pendisiplinan anak yang masih berbasis pada hukuman.
Kekerasan seksual di panti asuhan juga harus menjadi perhatian karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menempatkan panti asuhan sebagai salah satu sasaran pencegahan TPKS. ”Hal ini penting karena masih ditemukan pelaku kekerasan terhadap anak asuh adalah pegawai, pengurus, atau petugas panti,” ujar Nahar.
Dari data yang tercatat pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) hingga Juli 2022 tergambar bahwa kasus kekerasan ada di lembaga-lembaga pendidikan, sekolah, rumah tangga, dan tempat lain, seperti panti asuhan. (REN/ESA/COK/VIO/SKA/RAM/XTI/EGI/Z02/Z03/Z14/SON)