Hutan Lindung yang Dikelola Masyarakat Adat Terbukti Lebih Sehat
Hutan yang dikelola masyarakat adat terbukti paling sehat, berfungsi tertinggi, paling beragam, paling memiliki ketahanan ekologi, dan keragaman hayati.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua abad terakhir kawasan hutan di dunia menyusut drastis dan berkontribusi pada penyusutan keragaman hayati dan pemanasan global. Studi di Asia, Afrika, dan Amerika membuktikan hutan lindung yang dikelola masyarakat adat paling sehat, berfungsi tertinggi, paling beragam, dan memiliki ketahanan ekologi.
Bukti tentang hasil konservasi di kawasan hutan adat ini dilaporkan di jurnal Current Biology, Rabu (26/10/2022). ”Saya melihat tanah adat untuk melihat bagaimana hasil konservasi di tanah ini, daripada hanya berfokus pada kawasan lindung, yang sering dikelola negara sehingga kebijakan konservasi dapat dirancang untuk menjadi lebih efektif dan adil,” kata penulis utama, Jocelyne Sze, ahli ekologi di University of Sheffield.
Saat mengevaluasi kesehatan hutan, tim melihat empat kategori lahan: tanah non-lindung, tanah adat, kawasan lindung yang tumpang tindih dengan tanah adat, dan hutan lindung yang tidak ditemukan di tanah adat.
”Kami menggunakan metrik yang disebut integritas hutan untuk mengukur kualitas hutan yang berkaitan dengan strukturnya, komposisinya, dan fungsinya—ini mengacu pada seberapa tangguh dan sehat hutan itu,” kata Sze.
”Penelitian kami sebelumnya menemukan bahwa di seluruh daerah tropis, laju deforestasi dan degradasi lebih rendah di tanah adat dibandingkan dengan kawasan yang tidak dilindungi. Namun, laju deforestasi dan degradasi adalah ukuran yang cukup sederhana sehingga kami ingin melihat integritas hutan.”
Sze dan tim menemukan bahwa di semua wilayah yang mereka analisis, di mana lahan lindung dan lahan adat tumpang tindih, memiliki integritas hutan yang lebih tinggi daripada kategori lainnya. Benua Amerika memiliki daratan paling banyak yang termasuk dalam kategori ini dan Afrika memiliki yang terendah.
”Sebenarnya sangat menarik bahwa itu tidak semuanya positif. Kami menemukan bahwa di Asia dan Amerika, di dalam ruang yang hanya merupakan tanah adat yang berada di luar kawasan lindung, integritasnya sebenarnya lebih buruk daripada kawasan nonlindung,” kata Sze.
Tidak diakui
Sementara Sze tak khusus mempelajari mengapa hutan di tanah adat yang tidak dilindungi jadi lebih buruk, dia memiliki beberapa teori. ”Di banyak wilayah di Asia, tanah adat dan hak masyarakat adat tak diakui,” ujarnya.
”Jadi, sementara suatu wilayah dikategorikan sebagai adat tradisional, masyarakat adat mungkin tak punya kendali atas tanah itu,” katanya. Selain itu, karena banyak mineral, minyak, dan deposit gas sering ditemukan di tanah adat, maka tanah itu sering dieksploitasi.
Sze berharap dia dan rekan-rekannya dapat memahami bagaimana hak dan pengelolaan tanah adat sesuai kebijakan konservasi. ”Riset saya sangat terinspirasi apa yang ingin dicapai gerakan iklim dekolonial, dalam upaya membuat komunitas adat dan komunitas lokal memiliki otonomi lebih atas ruang-ruang ini,” katanya.
Keberagaman hayati
Studi terpisah oleh peneliti dari University of British Columbia (UBC) dan tim yang dilaporkan di jurnal Environmental Science & Policy (2019) menunjukkan, lahan yang dikelola masyarakat adat mungkin memainkan peran penting dalam membantu keragaman spesies bertahan hidup.
Riset saya sangat terinspirasi apa yang ingin dicapai gerakan iklim dekolonial, dalam upaya membuat komunitas adat dan komunitas lokal memiliki otonomi lebih atas ruang-ruang ini.
Para peneliti menganalisis data lahan dan spesies dari Australia, Brasil, dan Kanada dan menemukan bahwa jumlah total burung, mamalia, amfibi, dan reptil adalah yang tertinggi di lahan yang dikelola atau dikelola bersama oleh komunitas adat.
Kawasan lindung, seperti taman dan suaka margasatwa, memiliki tingkat keanekaragaman hayati tertinggi kedua, diikuti oleh kawasan yang dipilih secara acak yang tidak dilindungi.
Penelitian yang berfokus pada 15.621 wilayah geografis di Kanada, Brasil, dan Australia ini juga menemukan bahwa luas wilayah dan letak geografisnya tidak memengaruhi keanekaragaman spesies.
”Hal ini menunjukkan praktik pengelolaan lahan dari banyak komunitas adat yang menjaga jumlah spesies tetap tinggi,” kata penulis utama, Richard Schuster, Liber Ero Postdoctoral Fellow di Carleton University, yang melakukan penelitian saat berada di UBC. Ke depan, berkolaborasi dengan pengelola lahan pribumi kemungkinan akan sangat penting dalam memastikan bahwa spesies bertahan dan berkembang.
Program konservasi tradisional mengandalkan penetapan kawasan tertentu sebagai taman dan cagar alam dan hasil ini menyoroti pentingnya memperluas konservasi di luar batas-batasnya, kata penulis senior studi tersebut, profesor kehutanan UBC, Peter Arcese.
”Kawasan lindung adalah landasan konservasi keanekaragaman hayati secara global, tetapi tingkat perlindungan saat ini tidak akan cukup untuk menghentikan krisis kepunahan planet,” kata Arcese, Forest Renewal BC, Ketua Biologi Konservasi di UBC.
”Kita harus mengelola sebagian besar wilayah dunia dengan cara yang melindungi spesies dan mengarah pada hasil positif bagi manusia dan spesies yang mereka andalkan selama ribuan tahun,” ujarnya.
Para peneliti mencatat bahwa di masa lalu, ketika kawasan lindung didirikan, masyarakat adat terkadang dikeluarkan dari penggunaan lahan yang sebelumnya mereka andalkan untuk makanan dan material. Ini berbahaya bagi banyak masyarakat adat dan tidak serta-merta mencapai tujuan awal konservasi.
”Tanah yang dikelola masyarakat adat mewakili gudang keanekaragaman hayati yang penting di tiga negara terbesar di bumi dan masyarakat adat saat ini mengelola atau memiliki kepemilikan sekitar seperempat dari luas daratan planet ini,” kata rekan penulis Nick Reo, associate professor studi lingkungan dan studi penduduk asli Amerika di Dartmouth College dan warga negara Sault Ste Marie, suku Ontario dari Indian Chippewa.
Mengingat hal ini, berkolaborasi dengan pemerintah, komunitas, dan organisasi Adat dapat membantu melestarikan keanekaragaman hayati serta mendukung hak-hak masyarakat adat atas tanah, penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, dan kesejahteraan.