Inovasi Bahan Bakar Nabati Mendukung Transisi Energi
Bahan bakar nabati atau biofuel berpotensi menjadi alternatif bahan bakar minyak, tetapi harga jualnya lebih mahal dibandingkan dengan BBM. Untuk itu, butuh inovasi produksi biofuel yang lebih efektif.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki potensi biomassa yang sangat besar. Diperkirakan, setiap tahunnya, Indonesia menghasilkan 155,4 juta ton biomassa atau setara dengan 49,8 gigajoule. Pemanfaatannya dapat dilakukan dengan inovasi teknik produksi biomassa menjadi bahan bakar nabati, baik cair maupun padat, dengan memperhatikan faktor biaya dan kebutuhan infrastruktur produksi.
Profesor Riset Bidang Konversi Biomassa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rizal Alamsyah mengatakan, Indonesia merupakan penghasil biomassa terbesar di kawasan ASEAN. Sebagai negara dengan lahan yang luas, Indonesia berpotensi memproduksi biomassa sebanyak 155,4 juta ton per tahun. Biomassa yang dihasilkan tersebut berasal dari beberapa sumber, seperti limbah pertanian, tanaman perkebunan, pengolahan kayu, dan kotoran hewan.
”Limbah biomassa pertanian dan perkebunan merupakan bahan baku penting karena limbah ini bisa dijadikan pengganti bahan bakar fosil. Akan tetapi, pemanfaatannya masih sangat terbatas, bahkan sebagian biomassa diekspor dalam bentuk raw material sehingga tidak memiliki nilai tambah ekonomi,” ujarnya dalam acara orasi pengukuhan profesor riset BRIN di Jakarta, Rabu (26/10/2022).
Ia menjelaskan, biomassa sebagai bahan baku energi memiliki beberapa kelebihan, seperti dapat diperbarui dan dapat tersedia secara berkelanjutan. Ini sesuai dengan upaya pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mengatur tentang penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) serta upaya mengurangi penggunaan sumber energi fosil. Dalam peraturan tersebut, diatur target EBT sebesar 23 persen pada 2025. Namun, hingga tahun 2020 kontribusi EBT baru mencapai 11,31 persen.
Limbah biomassa pertanian dan perkebunan merupakan bahan baku penting karena limbah ini bisa dijadikan pengganti bahan bakar fosil. Akan tetapi, pemanfaatannya masih sangat terbatas.
Peraturan itu telah diadaptasi pada beberapa kebijakan yang mendorong penggunaan biomassa atau residu tanaman pertanian dan perkebunan sebagai bahan bakar nabati untuk produksi listrik dan uap di industri. Akan tetapi, secara umum, pengembangannya menjadi bahan bakar nabati masih belum maksimal karena beberapa kendala. Salah satunya, harga jual bahan bakar nabati yang lebih mahal dibandingkan dengan harga bahan bakar fosil. Penyebabnya, selain karena biaya produksi yang relatif besar, juga dibutuhkan pembangunan infrastruktur untuk menopang proses produksi dan distribusi, seperti jalan, pelabuhan laut, teknologi, dan sumber daya manusia.
Menurut Rizal, masalahnya, teknik produksi bahan bakar nabati komersial di Indonesia masih dilakukan dengan cara konvensional, yaitu dengan pengekstrakan atau pembakaran langsung. Ia mencontohkan, proses produksi biodiesel dari minyak nabati yang menggunakan reaktor blade agigator dengan memiliki laju reaksi atau efektivitas transesterifikasi yang relatif lambat sehingga berimplikasi pada kebutuhan jumlah energi dalam proses relatif besar. Untuk mengatasi hal itu, dibutuhkan proses yang lebih efisien dengan memperhatikan pemakaian energi, dan laju serta waktu reaksi.
Rizal menawarkan beberapa inovasi untuk mencapai hal itu. Inovasi-inovasi tersebut ialah pembuatan reaktor static mixer, pembuatan reaktor pencucian kering tanpa menggunakan air, pengolahan pelet biomassa dengan bentuk padat yang dilengkapi dengan alat gasifikasi untuk mendapatkan gas sintetis, serta reaktor separasi medium chain tryglyceride. Inovasi-inovasi tersebut dibuat dengan memperbaiki rekayasa proses dan produksi biofuel ataupun biodiesel dengan pengembangan teknik dan peralatan yang lebih mutakhir. Ia juga mempertimbangkan konversi biomassa agar lebih efektif dan aplikatif dengan berfokus pada bentuk konversi jenis lain.
Inovasi ramah lingkungan
Adapun Profesor Riset Bidang Manajemen Teknologi BRIN Anugerah Widiyanto mengenalkan inovasi metode life cycle assesment (LCA) biomassa untuk agroindustri yang berkelanjutan. Teknik ini merupakan teknik untuk mengukur tingkat penerapan eko-efisiensi suatu sistem produksi di industri pertanian dan perkebunan. LCA dilakukan dengan menganalisis dan memperhitungkan dampak produksi pada lingkungan, baik positif maupun negatif, sehingga dapat menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Lingkup analisis dan perhitungannya, mulai dari persiapan bahan mentah, proses produksi, proses distribusi dan penjualan, proses penggunaan, hingga pembuangan produk yang didasari pada ISO 14040, sebuah standar manajemen lingkungan dan penilaian daur hidup.
Inovasi lain disampaikan oleh Profesor Riset Bidang Teknik Material BRIN Jarot Raharjo. Ia memperkenalkan pengembangan keramik maju berbasis mineral logam tanah jaring (LTJ) untuk digunakan dalam fuel cell dan baterai yang lebih ramah lingkungan serta memiliki beberapa kelebihan lainnya. Menurut Jarot, pengembangan LTJ berpotensi untuk mendorong upaya pemenuhan energi baru dan terbarukan dan teknologi energi bersih.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Dharma mengatakan, inovasi biomassa harus diiringi oleh komitmen pemerintah terhadap transisi energi dan pengupayaan zero nett emision atau emisi nol bersih. Perlu ada kebijakan dari pemerintah yang jelas untuk mendorong inovasi biomassa, baik dari sisi pembiayaan maupun persiapan infrakstruktur. ”Pemerintah perlu lebih serius untuk mencapai target bauran energi terbarukan. Semua inovasi energi baru mestinya dibantu pemerintah melalui regulasi yang jelas dan terarah menuju transisi energi,” ujarnya.