Kasus gagal ginjal akut progresif atipikal di Indonesia bertambah menjadi 245 kasus per 23 Oktober 2022.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak diharapkan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa. Hal ini tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ancaman penyakit, tetapi juga mendorong pemerintah untuk menyelidiki dan menangani kasus ini hingga tuntas.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan, walau bukan termasuk penyakit menular, gangguan gagal ginjal diminta agar ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Selain karena jumlah kasus cukup banyak, tingkat kematian pun tinggi.
Per 23 Oktober 2022, Kementerian Kesehatan mencatat 245 kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang tersebar di 26 provinsi. Sebanyak 141 pasien di antaranya meninggal. Artinya, tingkat kematian atau fatality rate mencapai 58 persen.
”Walau bukan penyakit menular, tetap ada potensi bahwa obat sirop dikonsumsi dari Sabang sampai Merauke. Dengan ditetapkan sebagai KLB, publik diharapkan sadar dan waspada. Ini juga agar ada tindakan cepat dari pemerintah atau pihak berwenang sehingga perluasannya (penyakit) bisa dibatasi,” kata Ede saat dihubungi dari Jakarta, Senin (24/10/2022).
Penyakit ini diperkirakan berhubungan dengan temuan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirop. Keduanya ditemukan sebagai cemaran empat zat pelarut tambahan pada obat cair atau sirop, yaitu polietilen glikol, propilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Keempat zat itu bukan bahan berbahaya atau dilarang dalam pembuatan obat.
Dengan ditetapkan sebagai KLB, publik diharapkan sadar dan waspada. Ini juga agar ada tindakan cepat dari pemerintah atau pihak berwenang sehingga perluasannya (penyakit) bisa dibatasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Minggu (23/10/2022) sore menyatakan ada tiga obat mengandung EG dan DEG. Temuan ini berdasarkan pengujian terhadap 33 dari 102 obat sirop yang digunakan pasien gangguan ginjal akut. Pengujian terhadap 69 obat lain masih berlangsung.
Adapun konsumsi EG dan DEG melebih ambang batas aman dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Walakin, hubungan cemaran EG dan DEG dengan gangguan ginjal akut masih perlu diteliti lebih jauh.
Ede menambahkan, data gangguan ginjal akut pada anak mungkin belum mencakup semua kejadian. Sebab, data itu merujuk ke jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit. Diperkirakan ada anak-anak lain yang mengalami penyakit atau gejala serupa, tetapi tidak dibawa ke rumah sakit.
Terkait hal itu, ia merekomendasikan agar pemerintah segera menemukan kasus tak terdata agar pasien dapat segera ditangani, serta menghindari keparahan dan kematian. Adapun pemerintah menyatakan menyiapkan antidotum atau obat penawar bagi sejumlah pasien gagal ginjal. Penawar dengan jumlah lebih banyak akan didatangkan dari luar negeri.
Pemerintah juga didorong untuk menyelidiki penyebab kasus ini hingga tuntas, baik dari proses registrasi obat, produksi, maupun pemasaran. Asal bahan baku obat juga agar ditelusuri. Adapun BPOM menyatakan akan memperbaiki memperkuat sistem pengawasan, baik sebelum obat beredar hingga setelahnya. BPOM juga akan mendalami asal bahan baku obat.
Sebelumnya, Gambia melaporkan kasus serupa seperti di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sirop batuk buatan India berkaitan dengan kematian 70 anak di Gambia. Obat itu disebut mengandung EG dan DEG dengan jumlah ”yang tidak dapat diterima”.
”Harapannya ada sistem yang bisa mendeteksi lebih awal. Sistem surveilans dengan teknologi informasi yang bagus mesti ditingkatkan untuk mencatat penyakit,” kata Ede.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, penyebab gangguan ginjal akut masih diselidiki. Surveilans juga dilakukan antara lain dengan menyusur rumah para pasien untuk melihat riwayat penyakit mereka serta obat yang dikonsumsi.
Ada empat penyebab gagal ginjal, yaitu dehidrasi berat, pendarahan, infeksi, serta keracunan makanan, minuman, atau obat. ”Kemenkes bersama IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), epidemiolog, dan (sektor) farmasi meneliti bersama. Pendarahan, dehidrasi, dan infeksi sudah kami teliti dan singkirkan (dari kemungkinan penyebab gagal ginjal akut). Penelitian mengerucut ke intoksikasi karena campuran obat sebagai pelarut di sirop,” katanya melalui siaran radiokesehatan.kemkes.go.id.
Pemberian resep obat sirop pun dihentikan sementara. Anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Keri Lestari, melalui keterangan tertulis mengatakan, ada banyak kemungkinan penyebab gangguan ginjal akut. Ia mengira penyebabnya adalah interaksi antarobat, interaksi makanan dengan obat, atau makanan.