Substansi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove tengah dimatangkan. Rancangan peraturan pemerintah mencakup perencanaan hingga peran serta masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Hutan mangrove atau bakau yang cukup lebat menjadi pembatas alam antara perkampungan suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, dengan daratan, pertengahan Juli 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Restorasi Gambut dan Mangrove mempersiapkan dan mematangkan sejumlah substansi yang akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Penyusunan rencana peraturan pemerintah ini bertujuan untuk mengatasi persoalan sekaligus meningkatkan tata kelola mangrove yang masih tumpang tindih.
Deputi Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangroce (BRGM) Satyawan Pudyatmoko menyampaikan, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (RPP PPEM) disusun untuk memadukan pengelolaan mangrove antar-pemangku kepentingan. Hal ini pada akhirnya akan memperkuat peran Indonesia dalam pengelolaan mangrove di mata dunia.
”Dengan adanya aturan ini, pengelolaan mangrove nantinya akan disesuaikan dan harus dipatuhi oleh setiap penanggung jawab di setiap kawasan tersebut. Jadi, sebenarnya hal ini saja yang diatur dan untuk teknisnya diserahkan ke mereka,” ujarnya seusai diskusi dengan sejumlah pihak terkait penyusunan RPP PPEM di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Kami tidak mengintervensi apa yang dilakukan oleh aktor-aktor tersebut, tetapi memberikan kesadaran atau indikator agar ada keberlanjutan.
Menurut Satyawan, salah satu persoalan pengelolaan mangrove hampir serupa dengan gambut, yakni melibatkan tanggung jawab dari banyak pihak. Jika RPP PPEM sudah disahkan, pemanfaatan kawasan mangrove perlu menaati tata ruang yang akan diatur.
Selain kementerian/lembaga di bidang lingkungan atau kelautan, tercatat upaya pengelolaan dan rehabilitasi mangrove juga melibatkan kementerian/lembaga di bidang teknik dan kewilayahan. Beberapa yang terlibat adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR); Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT); serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Satyawan Pudyatmoko
Urgensi penyusunan RPP PPEM diperlukan sebagai dasar hukum perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara terpadu lintas sektor, wilayah, dan pemangku kepentingan. Kehadiran RPP PPEM juga akan membuat pengelolaan mangrove lebih komprehensif karena mengatur aspek mulai dari perencanaan hingga sanksi administratif.
Terdapat tujuh ruang lingkup yang diatur dalam RPP PPEM. Ruang lingkup tersebut mencakup aspek perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, sanksi administrasi, dan peran serta masyarakat.
Khusus dalam aspek pengendalian juga terdapat upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan mangrove. Agar sesuai dengan ketentuan, tiga upaya tersebut didukung dengan kriteria baku kerusakan dan skema penerapan di kawasan lindung ataupun budidaya.
Terkait dengan ruang lingkup pengawasan dan sanksi administrasi, kewenangan tersebut diserahkan kepada menteri, gubernur, dan bupati/wali kota atau melalui pendelegasian wewenang. Kewenangan yang sama juga berlaku untuk aspek sanksi administrasi, tetapi implementasinya akan disesuaikan kembali dengan regulasi pemerintah.
”RPP ini mengatur ketentuan-ketentuan pokok yang harus dipatuhi oleh semua pihak tanpa memandang apakah fungsi kawasan tersebut lindung atau budidaya. Aturan dalam RPP ini berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya wilayah prioritas BRGM,” tuturnya.
Satyawan menyebut, BRGM berencana mengadakan tiga hingga empat pertemuan kembali dengan pihak-pihak terkait untuk semakin mematangkan substansi RPP PPEM. Mengingat urgensinya yang cukup tinggi, ditargetkan RPP PPEM bisa disahkan pada akhir tahun ini.
Tanggung jawab
Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Evaluasi Kebijakan Kerja Sama Luar Negeri Arief Yuwono mengatakan, implementasi RPP PPEM akan memberikan tanggung jawab terhadap setiap aktor pengelolaan mangrove. Tanggung jawab tersebut adalah menambah substansi atau indikator agar pengelolaan mangrove bisa memiliki fungsi keberlanjutan dari aspek lingkungan, sosial, ataupun ekonomi.
”Bila fungsi keberlanjutan ini diterapkan, maka tidak akan ada deforestasi atau hilang ekosistem mangrove. Jadi, kami tidak mengintervensi apa yang dilakukan oleh aktor-aktor tersebut, tetapi memberikan kesadaran atau indikator agar ada keberlanjutan,” ucapnya.
Arief menekankan bahwa mangrove merupakan ekosistem esensial yang kecenderungannya bukan berfungsi sebagai kawasan budidaya, melainkan kawasan lindung. Oleh karena itu, kawasan mangrove ini sudah sepatutnya dikembalikan ke fungsi lindung. Sementara kawasan mangrove yang berada di area penggunaan lain bisa dipertahankan dengan syarat-syarat yang mengedepankan fungsi lindung.
”Pengelolaan mangrove di area penggunaan lain ini juga mencakup area yang masuk peruntukan permukiman. Kami ingin mengubah cara berpikir dalam pengelolaan mangrove agar tidak hanya secara sektoral, tetapi juga lintas sektoral,” katanya.