Sinergi Pendanaan Antarkementerian Masih Menjadi Kendala
Rehabilitasi mangrove masih menemui sejumlah tantangan, seperti sinergi pendanaan antarkementerian/lembaga. Hal ini terjadi karena rehabilitasi mangrove memiliki dimensi yang sangat luas.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rehabilitasi mangrove di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan, seperti aspek pendanaan yang belum tersinergi dengan baik. Di sisi lain, sektor swasta juga didorong untuk bisa masuk ke dalam skema rehabilitasi mangrove ini.
Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rofi Alhanif yang mewakili Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan menyampaikan, rehabilitasi mangrove pada 2021-2024 ditargetkan mencapai 600.000 hektar. Sepanjang 2020-2021, Indonesia telah merestorasi 60.000 hektar mangrove.
”Strategi rehabilitasi mangrove ini tidak hanya menanam di lokasi yang rusak, tetapi juga mencakup peningkatan kualitas ekosistem. Jadi, rehabilitasi juga harus mempertahankan ekosistem yang ada dengan konservasi ataupun berbagai pendampingan dan penguatan di level masyarakat,” ujarnya dalam webinar bertajuk Rehabilitasi ”Kawasan Pesisir untuk Pembangunan Rendah Karbon”, Kamis (31/3/2022).
Selama melakukan rehabilitasi mangrove, Rofi mencatat masih terdapat tantangan yang masih kerap ditemui dan dihadapi, seperti sinergi pendanaan rehabilitasi mangrove di antara kementerian/lembaga. Hal ini terjadi karena rehabilitasi mangrove memiliki dimensi yang sangat luas tidak hanya penanaman, tetapi juga menyangkut aspek kewilayahan, kelembagaan, dan aspek sosial ekonomi lainnya.
Selain kementerian/lembaga di bidang lingkungan atau kelautan, tercatat rehabilitasi mangrove ini juga melibatkan kementerian/lembaga di bidang teknik dan kewilayahan. Beberapa yang terlibat antara lain Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
”Kami juga sangat terbuka dan mendorong sektor privat untuk bisa masuk ke dalam skema rehabilitasi ini. Beberapa waktu yang lalu sudah ada nota kesepahaman antara Kementerian Kemaritiman dan perusahaan yang berkomitmen untuk ikut serta rehabilitasi,” ucapnya.
Selain itu, kata Rofi, tantangan lainnya yang masih dihadapi dalam rehabilitasi mangrove ialah konflik tenurial dan ketidaksesuaian biofisik tapak atau tata ruang. Selama ini, 60 persen potensi habitat mangrove berada di peruntukan area penggunaan lain (APL).
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Arifin Rudiyanto mengatakan, Bappenas dan kementerian/lembaga lain telah menyepakati untuk memfokuskan rehabilitasi mangrove dikerjakan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Rehabilitasi ini akan dibiayai melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada mangrove dengan kerapatan tajuk jarang.
Sepanjang 2021, tercatat BRGM berhasil merehabilitasi mangrove seluas 34.911 hektar. Angka ini melampaui target rehabilitasi tahun 2021 yang ditetapkan, yakni 33.000 hektar. Rehabilitasi dilakukan dengan skema pemulihan ekonomi nasional.
Arifin menegaskan, kelestarian ekosistem mangrove sangat penting untuk dijaga karena diperkirakan dapat menyimpan cadangan hingga 950 megagram karbon per hektar. Tak hanya itu, Badan Konservasi Dunia (IUCN) juga mencatat bahwa Indonesia memiliki spesies mangrove terbanyak di dunia dengan jumlah 49 spesies sejati.
Strategi rehabilitasi mangrove ini tidak hanya menanam di lokasi yang rusak, tetapi juga mencakup peningkatan kualitas ekosistem. Jadi, rehabilitasi juga harus mempertahankan ekosistem yang ada dengan konservasi ataupun berbagai pendampingan dan penguatan di level masyarakat.
Selain sebagai penyimpan cadangan karbon, ekosistem mangrove juga menyediakan berbagai manfaat, seperti area pembibitan, sistem proteksi dari erosi, bahan baku industri dan habitat satwa liar. Namun, beragam manfaat ini juga turut disertai dengan tantangan mulai dari pembalakan liar, deforestasi untuk konversi lahan, hingga reklamasi pesisir.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia telah kehilangan tutupan mangrove seluas 195.014 hektar selama 2010-2020. Kehilangan terbesar terjadi pada 2016 dengan luas mencapai 60.636 hektar. Pembukaan tambak dan ekspansi pertanian atau perkebunan menjadi penyebab utama hilangnya ekosistem mangrove di Indonesia.
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, ditargetkan seluas 50.000 hektar ekosistem mangrove dapat direhabilitasi. Dari jumlah tersebut, seluas 7.500 hektar ditagetkan dapat direhabilitasi oleh KLHK dan 42.500 hektar lainnya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, masyarakat, serta swasta.