Polisi Diminta Segera Usut Kekerasan Seksual di Panti Asuhan
Kekerasan seksual terus membayangi anak-anak di Tanah Air. Di berbagai tempat anak terus menjadi korban. Perlindungan dan pengawasan anak harus dilakukan semua pihak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi. Di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa anak di sebuah panti asuhan diduga mengalami kekerasan seksual yang dilakukan MT (46), seorang pengurus panti asuhan. Kekerasan seksual diduga terjadi sejak tahun 2020 hingga 2022.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) meminta aparat kepolisian mengusut kasus ini dan memproses sesuai undang-undang yang berlaku, serta menjatuhkan hukuman berat kepada pelaku.
”Kasus ini menjadi perhatian Kementerian PPPA dan kami berharap apabila ada korban lain agar dapat melapor sehingga aparat penegak hukum dapat mengusutnya secara tuntas,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kementerian PPPA Nahar di Jakarta, Jumat (14/10/2022).
Dari informasi yang diterima Kementerian PPPA, korban kekerasan seksual lebih dari satu orang. Bahkan, salah satu korban yang kini berusia 20 tahun diduga mengalami kekerasan seksual sejak usia anak.
Nahar menegaskan, jika perbuatan tersangka memenuhi unsur yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, pelaku akan diancam pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Apabila pelakunya adalah seorang pengasuh, mereka dikenai hukuman tambahan sepertiga dari pidana pokok.
Tak hanya itu, Nahar menegaskan, jika korbannya lebih dari satu orang, dalam proses hukumnya nanti pelaku bisa dituntut untuk mendapatkan hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elekronik.
Untuk memastikan korban mendapatkan pemulihan, Kementerian PPPA berkoordinasi dengan Dinas PPA dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Provinsi DIY dan Dinas Sosial dan PPPA Kulon Progo.
Melihat kasus kekerasan seksual di panti asuhan yang masih terjadi, Nahar mengimbau kepada institusi yang terkait agar memperketat pengawasan terhadap panti asuhan. Pengelola panti asuhan wajib memperhatikan hak dan kepentingan anak-anak yang diasuhnya.
”Apabila hal itu tidak dipenuhi pengelola, pihak yang berwenang perlu mengevaluasi panti asuhan tersebut,” ujarnya.
Awasi berkala
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, menuturkan, kasus kekerasan seksual di panti asuhan terus terjadi di berbagai wilayah. Itu karena lemahnya pengawasan secara berkala dan terus-menerus dari pihak terkait di panti-panti tersebut.
Anak-anak yang tinggal di panti asuhan ada yang berasal dari sejumlah daerah. Mereka rata-rata dari keluarga miskin, baik anak yatim, piatu, maupun yatim piatu.
Anak-anak seperti itu, menurut Retno, tidak mungkin berani melawan ketika mendapatkan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Apalagi, mereka jauh dari keluarga besarnya, tak mengenal siapa-siapa di daerah itu, tidak tahu cara mencari pertolongan.
”Hidup mati bergantung pada pengasuhnya di panti. Jadi, kekerasan sudah pasti akan berlangsung lama dan pelaku merasa aman. Anak-anak seperti itu jelas rentan mengalami kekerasan seksual,” kata Retno.
Mencegah kekerasan seksual menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah dan masyarakat di Tanah Air. Kekerasan terus menyasar siapa saja dan terjadi di mana saja. Bahkan, pelaku pun bisa siapa saja, termasuk anak-anak.
Sabtu (1/10/2022), Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati juga menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas kasus yang menimpa siswa SD yang berusia 11 tahun yang diduga melakukan kekerasan dan mencabuli adik kelasnya di Nganjuk, Jawa Timur.
”Kasus ini menjadi cermin bahwa kita masih memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk menjaga dan mengantisipasi agar hal serupa tidak terjadi lagi ke depan,” ujar Darmawati.