Belasan Santriwati Jadi Korban Pencabulan di Depok
Belasan santriwati di bawah umur diduga menjadi korban tindak kekerasan seksual dari empat pengajar dan satu kakak kelas laki-laki.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiga keluarga santriwati sebuah pondok pesantren di Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat, datang ke Polda Metro Jaya, di Jakarta, Rabu (29/6/2022). Mereka menceritakan kejadian pencabulan yang dilakukan empat pengajar dan satu santri yang diduga melakukan kekerasan kepada belasan santriwati.
Tiga anak perempuan usia sekitar 10 tahun itu didampingi wali mereka dan kuasa hukum datang ke Direktorat Kriminal Umum. Rabu siang, mereka dimintai keterangan oleh penyidik yang menanyakan 10 pertanyaan kepada masing-masing korban.
Sebelumnya, mereka telah membuat laporan pada Selasa (21/6). Polisi telah menerima laporan tindak pidana pencabulan dan persetubuhan terhadap anak Pasal 76E juncto Pasal 82 dan atau Pasal 76D juncto Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Megawati, kuasa hukum korban, menjelaskan, awalnya, dugaan kekerasan seksual di lingkungan pesantren untuk anak yatim piatu itu disampaikan seorang wali korban. Wali korban itu mengatakan, korban menceritakan pengalaman buruknya saat tengah libur sekolah.
”Hari itu saya mendatangi rumah wali murid itu. Kami berkumpul dengan tiga korban atas nama A, T, dan R. Dari tiga korban itu saya kumpulkan bukti-bukti dan saya mendengarkan kronologisnya seperti apa, ternyata memang kalau dari (pemahaman) kami itu sudah ada unsur pelecehan, pencabulan, dan pemerkosaan,” kata Megawati.
Setelah laporan dibuat, polisi segera mengembangkan kasusnya dengan memvisum korban. Namun, saat ini hasilnya belum keluar. Sementara itu, kata Megawati, para korban mengakui kesulitan buang air kecil dan mengeluh bengkak di alat kelaminnya.
Selain tiga korban yang sudah melapor, masih ada delapan korban lagi yang ia ketahui dengan rentang usia 8 tahun sampai 11 tahun. Dua korban lainnya sudah mau mengaku dan akan dibantu untuk melapor ke polisi dalam waktu dekat.
Terancam
Adapun pelakunya menurut penuturan korban terdiri dari lima orang. Empat orang adalah ustaz atau pengajar laki-laki dan satu kakak kelas laki-laki yang masih di bawah umur. Dari empat pengajar yang diduga sebagai pelaku, dua di antaranya sudah tidak aktif mengajar.
Pelaku, menurut salah satu korban, melancarkan aksinya di berbagai kesempatan dan tempat. Satu korban mengaku pernah dipanggil ke sebuah ruangan kosong saat tengah bermain. Ada kalanya pelaku beraksi di malam hari dengan mendatangi kamar asrama korban. Kamar mandi juga pernah digunakan pelaku untuk berbuat cabul.
”Modusnya mungkin birahi. Korban tidak dijanjikan apa-apa. Saya mendengar dari korban, mereka enggak tahu, hanya begitu saja disuruh masuk ke ruangan. Namun, ancamannya, ’kamu jangan kasih tahu orangtua kamu, ya’,” tuturnya.
Perbuatan itu dilakukan para pelaku ke korban kurang lebih satu tahun terakhir. Bahkan, ada korban yang mendapat bentuk kekerasan seksual itu pada hari-hari sebelum mereka libur sekolah dan hendak dijemput wali mereka.
Kejadian ini sayangnya baru berani diungkapkan korban belakangan. Megawati mengatakan, para korban berat hati karena merasa pesantren itu telah banyak berjasa karena memberikan fasilitas pendidikan gratis.
”Korban yang paling besar, yang di Bandung, umurnya 11 tahun, agak miris. Dia dan tantenya enggak berani follow up karena, ya, seperti itu,” ujarnya.
Pihak kepolisian, Rabu sore, kata Megawati, mendatangi pondok pesantren untuk melakukan penyelidikan. Komisaris Dedi, Kepala Unit 4 Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Polda Metro Jaya, tidak bisa dihubungi sampai berita ini ditulis untuk ditanyai lebih lanjut mengenai perkembangan penyelidikan.
Tindak pidana kekerasan seksual kepada anak juga pernah terungkap di Panti Asuhan Kencana Bejana Rohan di Depok dengan pelaku Lukas Lucky Ngalngola alias ”Border Angelo”. Pada 20 Januari 2022, Lukas diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Depok dengan pidana 14 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider 3 bulan kurungan.
Ada juga kasus kekerasan seksual oleh Syahril Parlindungan Martinus Marbun kepada anak-anak pelayan gereja atau misdinar Gereja Herkulanus, Depok.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok, Rabu (6/1/2021), mengetuk palu hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual kepada J (13) dan BA (14). Namun, dari investigasi gereja, setidaknya ada 23 korban anak.
Nessi Annisa Handari dari Dinas Perlindungan Anak Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok juga menilai tren berani melapor ini membuat anak korban kekerasan seksual yang dilaporkan meningkat.
Berdasarkan catatannya, pada 2020 terdapat 31 korban anak yang dilaporkan. Pada 2021, jumlahnya naik 100 persen lebih menjadi 67 korban. Sebagian korban mendapat kekerasan seksual dari keluarga terdekat.