Pendidikan Agama di Sekolah Diminta Tidak Diskriminatif
Pendidikan agama sesuai agama yang dianut menjadi hak peserta didik. Karena itu, praktik diskriminasi dan intoleransi terhadap layanan pendidikan agama bagi siswa di sekolah, utamanya di sekolah, kini terus disuarakan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih ada praktik pendidikan yang diskriminatif dan intoleran untuk kegiatan keagamaan peserta didik minoritas, utamanya di sekolah negeri. Ini agar menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah.
Banyak peserta didik agama minoritas di sekolah negeri yang tidak mendapatkan layanan pendidikan agama dan kegiatan kerohanian yang layak dibandingkan peserta didik agama mayoritas. Hal itu termasuk kurangnya guru agama dan tidak disediakannya ruang belajar yang memadai. Padahal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi lewat Merdeka Belajar berkomitmen menciptakan lingkungan belajar positif bagi peserta didik untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan.
Penggagas Aliansi Anak Bangsa Pemerhati Pendidikan (AABPP) dan peneliti Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah-sekolah Negeri, Mary Monalisa Nainggolan, di Jakarta, Kamis (13/10/2022), mengatakan, menguatnya dugaan diskriminatif untuk kegiatan kerohanian siswa di SMAN 2 Depok beberapa waktu lalu hanyalah salah satu dari banyak kasus diskriminasi yang dialami siswa beragama Kristen. Sampai saat ini, jumlah guru PAK dan Budi Pekerti di sekolah-sekolah negeri kurang. Bahkan, formasi dalam pengangkatan guru PAK berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) minim dibuka pemerintah daerah.
Upaya penghapusan tiga dosa besar pendidikan, yang meliputi intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual, juga terus kami dorong.
Menurut Mary, dalam kasus di SMAN 2 Depok, AABPP menjumpai guru PAK dan pihak sekolah dan memberikan masukan-masukan solutif, komprehensif, dan praktis kepada pihak sekolah bagi kelangsungan pembinaan kerohanian/agama siswa kristiani yang bebas diskriminasi. AABPP juga meminta agar sekolah tidak menekan pihak-pihak yang berani menolak diskriminasi atau intoleransi.
”Setelah mencuat kasus dugaan diskriminasi di SMAN 2 Depok, kami menerima kiriman foto-foto dari sekolah negeri jenjang SD dan SMP lain yang tempat pembelajaran PAK dilakukan di lantai selasar sekolah atau di ruangan sekolah dengan kondisi kurang kondusif dibandingkan kelompok pelajar lainnya. Kami minta Kemendikbudristek benar-benar serius mengimplementasikan pendidikan inklusif yang tidak ada diskriminasi dan intoleransi, terutama terkait dengan pendidikan agama di sekolah negeri,” ujar Mary.
Prioritas pendidikan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengingatkan amanat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
”Satuan pendidikan harus merdeka dari diskriminasi. Sekolah sudah seharusnya menjadi ruang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi semua peserta didik untuk belajar dan mengembangkan diri, terlepas dari identitas yang melekat pada dirinya,” kata Nadiem.
Nadiem menambahkan, pemerintah daerah, dengan didukung oleh pemerintah pusat, wajib memastikan sekolah untuk memberikan proses pembelajaran yang tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Sebab, perwujudan satuan pendidikan yang aman dan nyaman, serta merdeka dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan menjadi salah satu prioritas Kemendikbudristek dalam implementasi kebijakan Merdeka Belajar.
Hal tersebut juga sejalan dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan tersebut mengatur definisi serta langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antar-golongan (SARA) yang terjadi di satuan pendidikan. Pembatasan sarana dalam proses belajar mengajar di sekolah kepada kelompok agama tertentu, termasuk fasilitas ekstrakurikuler, merupakan tindak diskriminasi yang mengakibatkan berkurangnya hak belajar peserta didik.
”Upaya penghapusan tiga dosa besar pendidikan, yang meliputi intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual, juga terus kami dorong,” kata Nadiem.
Literasi keagamaan
Dari Konferensi Internasional Virtual yang digelar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Institut Leimena pada September lalu, antara lain membahas konsep literasi keagamaan lintas budaya (LKLB). Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej menegaskan, konsep LKLB tepat digunakan di tengah kondisi bangsa Indonesia yang majemuk.
”Literasi dalam terminologi ini bukan bentuk dari kefasihan atau ketidakpahaman. Namun, literasi di sini bagaimana seorang manusia mempunyai kerendahan hati untuk mendengarkan, mengamati, memverifikasi, dan terlibat,” kata Eddy saat membahas topik ”Menguatkan Kebebasan dan Toleransi Beragama Melalui LKLB”.
Menurut Edy, fondasi LKLB adalah multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Konsep LKLB mendorong setiap umat beragama untuk memiliki kemampuan memahami diri dan agama sendiri, mengenal agama atau umat lain sebagaimana diri sendiri, dan kemampuan bekerja sama dengan umat beragama lainnya. Agama bisa menjadi perekat dan pemersatu, tetapi bukan penyatuan. Pemersatu lebih kepada sikap toleransi ajaran keagamaan sehingga umat beragama harus mengedepankan sikap apresiatif terhadap keragaman (pluralitas).
Eddy menambahkan, pendidik mempunyai peran strategis untuk mengembangkan literasi agama dan budaya ke dalam lubuk pemahaman anak didik. ”Sedari kecil kita memberikan pemahaman bagaimana mereka memahami agama yang dipeluknya, juga terhadap agama lain, nanti akan menentukan wajah kerukunan umat beragama di masa depan,” katanya.