Praktik Toleransi di Sekolah Bisa Memanfaatkan Berbagai Aspek Layanan Pendidikan
Praktik toleransi di sekolah bisa masuk ke berbagai aspek layanan pendidikan. Model praktiknya pun dapat dibuat secara inovatif.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Toleransi terhadap keberagaman bisa dibiasakan melalui layanan pendidikan di sekolah. Praktik pembiasaan dapat masuk dari aspek kurikulum sampai rekrutmen guru dan tenaga kependidikan.
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Herman Hendrik, menyampaikan hal tersebut di sela-sela webinar ”Menyemai Toleransi di Bangku Sekolah”, Jumat (30/4/2021), di Jakarta.
Berdasarkan riset kualitatif ”Belajar Hidup Berdampingan” yang dilakukan pihaknya pada tahun 2019 di lima kabupaten/kota, praktik toleransi dari aspek kurikulum mencakup upaya memodifikasi pelajaran Pendidikan Agama Islam. Lalu, penyediaan kelas intereligius yang menekankan dialog, diskusi, dan saling bertanya untuk memecah prasangka perbedaan antarsiswa beragam keyakinan.
Membiasakan toleransi atas keberagaman dibutuhkan kesadaran dan kemampuan empati individu guru ataupun siswa.
Dari aspek ekstrakurikuler, dia mencontohkan SMK Kanisius di Semarang mempunyai kegiatan ekstrakurikuler ”Rebana”. Mulanya kegiatan ini bertujuan sebagai ruang ekspresi siswi Muslim. Namun, belakangan semakin banyak siswi non-Muslim ikut kegiatan ekstrakurikuler itu, baik sebagai penabuh maupun pelantun lagu.
Sementara dari aspek kurikuler berupa kegiatan kunjungan dan menginap di keluarga berbeda agama/keyakinan. Program ini melatih siswa langsung berjumpa dengan keberagaman keluarga siswa lainnya.
Pada aspek prasarana, Hendrik menyebutkan sudah ada sejumlah sekolah menyediakan tempat atau ruang ibadah dan ruang belajar bagi siswa dengan agama berbeda-beda.
Kegiatan selebrasi peringatan hari raya keagamaan pun sudah banyak dilakukan oleh sekolah. Cara ini lumrah untuk mengenalkan kepada siswa tentang perbedaan agama dan keyakinan. Praktik umumnya yang juga jamak terjadi adalah sekolah membuat simbol-simbol kebinekaan, baik di dalam ruang kelas maupun taman yang sengaja dinamakan ”Bhinneka Tunggal Ika”.
”Rekrutmen guru dan tenaga kependidikan sekarang sudah semakin marak tidak melihat latar belakang agama. Ini juga terjadi di sekolah swasta dengan basis agama tertentu,” ujar Hendrik.
Menurut dia, ada beberapa faktor pendorong sebuah satuan pendidikan mau menyelenggarakan praktik toleransi. Sebagai contoh, adanya intervensi kepala daerah, organisasi nonpemerintah, dan dorongan visi internal sekolah.
Faktor pendorong tersebut memengaruhi model praktik toleransi di sekolah. Kebanyakan satuan pendidikan negeri cenderung memakai model normatif, seperti mengandalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan pendidikan karakter.
”Praktik toleransi model inovatif umumnya terjadi di satuan pendidikan swasta yang sejak awal punya visi mengangkat keberagaman,” ujar Hendrik.
Faktor individu
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Yunita Faela Nisa, berpendapat, membiasakan toleransi atas keberagaman dibutuhkan kesadaran dan kemampuan empati individu guru ataupun siswa. Membangun kemampuan itu tidak mudah. Sebab, ada pengaruh persepsi keterancaman, daya kritis dan reflektif, sampai kondisi sosial ekonomi setiap individu.
Mata pelajaran pendidikan agama bisa menjadi jembatan pembiasaan toleransi atas keberagaman. Asalkan, substansi mata pelajaran itu yang diajarkan berupa nilai-nilai universal, bukan nilai akidah yang pasti bisa berbeda antara agama satu dan agama lain. Selain nilai-nilai universal agama, guru juga bisa dikenalkan berbagai perayaan agama yang ada di Indonesia.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu mengatakan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengamanatkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pemangku kepentingan di ekosistem pendidikan semestinya harus selalu berpijak pada amanat Pasal 4 UU Sisdiknas itu.
”Toleransi terhadap keberagaman semestinya menjadi kesadaran yang harus dimiliki oleh sekolah dan guru. Sayangnya, ada sekolah yang melakukan praktik segregasi secara sengaja,” tuturnya.
Wali Kota Salatiga Yuliyanto menyampaikan, Pemerintah Kota Salatiga berupaya menciptakan kondisi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebagai contoh, pemerintah kota memperbolehkan ruang terbuka kota dipakai sebagai perayaan hari raya agama-agama. Contoh lainnya, setiap peringatan Hari Anak Nasional, peserta didik berusia anak dibiasakan untuk berani tampil menarikan tarian dari berbagai budaya.
”Sejak 2012, alokasi anggaran pendidikan dari APBD telah mencapai 40 persen. Hak atas pendidikan kami jamin. Anak disabilitas pun kami jamin hak mereka agar tetap bisa mendapatkan akses pendidikan,” kata Yuliyanto.