Partisipasi Publik untuk Perbaikan RUU Sisdiknas Tidak Hanya Satu Arah
Publik terus mengawal revisi naskah RUU Sisdiknas yang disiapkan pemerintah setelah gagal masuk prolegnas Prioritas Perubahan 2022. Pemerintah dituntut untuk membuka dialog publik yang tidak hanya satu arah.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta merumuskan ulang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas untuk memastikan pengaturan dan arah perbaikan pendidikan nasional sejalan dengan konsepsi hak atas pendidikan. Untuk itu, berbagai pemangku kepentingan pendidikan dari masyarakat mendesak pemerintah membuka ruang partisipasi agar substansi RUU Sisdiknas tidak menimbulkan polemik.
Iman Zanatul Haeri mewakili Koalisi Pendidikan Nasional (KPN), Kamis (13/10/2022), menolak naskah RUU Sisdiknas yang diusung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. RUU tersebut gagal masuk Program Legislasi Nasional Prioritas Perubahan 2022.
”Pembahasan RUU Sisdiknas yang dimaksudkan menggabungkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tersebut tidak membuka ruang partisipasi yang bermakna bagi publik dan semangatnya bertentangan dengan pemenuhan standar-standar hak atas pendidikan,” kata Iman.
KPN menilai, draf RUU Sisdiknas yang diusung pemerintah saat ini tidak sejalan dengan prinsip pemenuhan hak atas pendidikan mencakup ketersediaan, keterjangkauan, kelayakan, dan keberterimaan yang dipaparkan UNESCO. Seharusnya pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk memastikan setiap warga negara dapat mengakses pendidikan yang berkualitas.
”Bergesernya semangat perubahan yang diusung melalui RUU Sisdiknas mungkin terjadi mengingat proses perencanaan dan penyusunannya tidak transparan dan membuka ruang partisipasi bermakna bagi publik. Jika dipertahankan, tidak hanya tidak menyelesaikan permasalahan pendidikan nasional di Indonesia, tetapi justru berpotensi memperparahnya. Draf RUU Sisdiknas yang ada saat ini belum mencerminkan hal-hal tersebut sebab masih banyak masalah-masalah di dalam RUU tersebut yang perlu dicermati,” ujar Iman.
Secara terpisah, sejumlah tokoh pendidikan dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Keragaman meminta agar RUU Sisdiknas membuka partisipasi bermakna dan mengakomodasi keragaman agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Pelibatan ini mulai dari kajian kekurangan, kelebihan UU Sisdiknas dan regulasi sebelumnya, sampai pelaksanaannya.
”RUU Sisdiknas belum memberikan solusi dan kepastian terkait hak pendidikan agama atau kepercayaan yang nondiskriminatif. Termasuk hak pendidikan agama atau kepercayaan di luar Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Aliansi berpendapat, pendidikan agama atau kepercayaan harus dilaksanakan secara demokratis, berkeadilan, dan nondiskriminatif,” kata Manajer Program Advokasi Yayasan Cahaya Guru (YCG) Muhammad Mukhlisin.
Sementara itu, anggota Aliansi Guru Besar Matematika, Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto berharap undang-undang Sisdiknas digagas secara bersama-sama dengan perspektif yang beragam. ”Arah pendidikan serta strateginya yang hendak didesain melalui undang-undang membutuhkan penyertaan kekayaan perspektif yang beragam. Serta yang lebih utama, suatu undang-undang yang digagas bersama akan menumbuhkan rasa kepemilikan terhadapnya, yang akhirnya membuat setiap insan memiliki keterikatan sekaligus kesungguhan untuk merealisasikannya,” ujar Iwan.
Desakan untuk penyusunan RUU Sisdiknas secara terbuka juga disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP). ”Penyusunan UU yang terbuka terhadap masukan publik dan pihak terkait lain tentu akan lebih menjamin kualitas dari isi atau substansi UU itu sendiri,” kata Almas Sjafrina dari Indonesia Corruption Watch yang tergabung di KMSTP.
RUU Sisdiknas yang dirancang pemerintah dinilai belum terlihat memberi harapan akan perwujudan cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk pendidikan. Ada beberapa hal prinsip dalam RUU Sisdiknas yang belum mencerminkan visi Indonesia 2045. Bahkan, terdapat hal mendasar yang definisinya masih tidak jelas atau rancu. Akibatnya, beberapa pasal menjadi tumpang tindih, kontradiktif, dan multitafsir.
Oleh karena itu, KMSTP meminta Presiden memerintahkan Menteri Koordinasi Pembangunan Manusia dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi membentuk Kelompok Kerja RUU Sisdiknas tahun 2022 yang tugasnya, antara lain, merevisi draf RUU Sisdiknas dan menambahkan hal-hal penting di dalamnya. Semangat kelompok kerja ini adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan RUU Sisdiknas agar benar-benar dapat menjadi pemandu arah dan rambu-rambu yang mengawal seluruh proses penyelenggaraan pendidikan Indonesia.