Tes Skolastik Tak Semudah yang Dibayangkan
Tes skolastik yang akan diujikan pada seleksi nasional berdasarkan tes untuk calon mahasiswa perguruan tinggi negeri dianggap mudah. Kenyataannya, tes yang menguji penalaran ini belum dikuasai banyak siswa.
Transformasi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri yang dimulai tahun 2023 pada jalur tes memerlukan persiapan dan penyesuaian. Pelaksanaan tes yang diubah, hanya tes potensi skolastik nyatanya tidak semudah yang dibayangkan.
Tes potensi skolastik (TPS) akan mengukur potensi kognitif, penalaran Matematika, serta literasi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Masih ada sejumlah miskonsepsi tentang tes skolastik yang perlu diluruskan.
TPS menuntut cara belajar yang lebih bermakna dan mendalam untuk menghadirkan pembelajaran yang membangun keterampilan tingkat tinggi atau higher order thinking skills (HOTS). Pembelajaran ini mengasah penalaran, menganalisis, memecahkan masalah, serta kemampuan membaca teks secara komprehensif.
Nyatanya, pembelajaran di sekolah-sekolah Indonesia, termasuk di SMA/SMK sederajat, saat ini masih lebih menekankan pada penghapalan atau kemampuan belajar tingkat rendah (low order thinking skills/LOTS).
Data Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) siswa SMA/SMK sederajat berdasarkan Rapor Pendidikan 2022 yang dirilis Kemendikbudristek menunjukkan, untuk kemampuan literasi, sebagian besar siswa telah mencapai kompetensi minimum. Adapun pada kemampuan literasi, kurang dari 50 persen siswa yang mencapai kompetensi minimum.
Pembelajaran ini mengasah penalaran, menganalisis, memecahkan masalah, serta kemampuan membaca teks secara komprehensif.
Rendahnya hasil ujian AKM yang mengukur penalaran siswa dalam literasi dan numerasi di tingkat SMA/SMK terlihat dari hasil uji coba (try out) TPS berbasis komputer yang salah satunya dilakukan platform edukasi teknologi Zenius.
Di akhir September 2022, Zenius dan New Primagama menggelar uji coba Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Sebanyak 17.043 siswa mendaftar, mulai dari Aceh, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Dari jumlah tersebut, 93,7 persen atau hampir 16.000 siswa tidak mencapai kompetensi minimum. Hanya 6,3 persen atau sekitar seribu siswa yang mencapai kompetensi minimum.
”Jumlah ini menunjukkan hasil yang mengejutkan. SNBT yang banyak dianggap akan lebih mudah untuk dikerjakan ternyata berbanding terbalik dengan hasil yang ada di lapangan. TPS memang memiliki tantangan tersendiri karena siswa dituntut untuk bernalar dan menerapkan konsep yang mereka pelajari dalam mengerjakan soal. Hal ini menunjukkan pentingnya mempersiapkan siswa agar memahami konsep dan tidak hanya menghafal agar dapat siap menghadapi ujian di tahun depan,” kata Founder dan Chief Education Officer Zenius, Sabda PS, Jumat (7/10/2022).
Sabda menjelaskan, kompetensi minimum pada uji coba SNBT berbasis komputer di Zenius berada pada angka 500 dari nilai maksimum 1.000. Skor ini ditetapkan berdasarkan skor rata-rata ujian tulis berbasis komputer (UTBK) di jalur tes masuk PTN tahun 2022.
Kelompok sains dan teknologi (Saintek) memiliki skor rata-rata sebesar 665,86, sedangkan sosial humaniora (Soshum) memiliki skor rata-rata 690,02.
Skor yang ditetapkan oleh Zenius pada uji coba kali ini jauh dari rata-rata skor UTBK tahun lalu. Sebab, meski kompetensi minimum dari tiap fakultas/kampus berbeda-beda, sangat kecil kemungkinan untuk lolos UTBK jika nilai siswa di bawah 500.
Menurut Sabda, pembelajaran di sekolah selama ini lebih membekali siswa dengan kemampuan untuk menghapal rumus sehingga bisa mengerjakan soal-soal ujian. Siswa belajar banyak hal, tetapi kesulitan untuk menggunakan konsep yang relevan ketika memecahkan masalah dalam suatu konteks.
Padahal, keterampilan untuk menerapkan ilmu secara adaptif semakin penting agar siswa mampu menghadapi perubahan zaman. ”Dunia sekarang kompleks, saling terhubung, dan tidak bisa diprediksi, terlebih dengan adanya pandemi Covid-19. Siswa perlu dipersiapkan untuk menerapkan apa yang sudah dipelajari secara fleksibel dan adaptif ke situasi baru, tantangan, dan kesempatan baru,” kata edukator yang berbasis di Amerika Serikat, Jay McTighe, pada Konferensi Tahunan HighScope Indonesia secara daring, Kamis (6/10/2022)
Miskonsepsi
Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS), M Abdul Hakim, mengatakan, ada beberapa miskonsepsi terhadap TPS. Dengan adanya TPS, bukan berarti tes seleksi PTN menjadi lebih gampang.
Digelarnya TPS akan membuat persaingan menjadi lebih terbuka dan tingkat kompetisi ke jurusan favorit meningkat. Yang lolos memiliki kemampuan tinggi dengan penguasaan ilmu kuat.
Ada pula miskonspesi dengan TPS tidak lagi ada manfaat belajar mata pelajaran di sekolah menengah. Mempelajari konten mata pelajaran tetap diperlukan guna memperluas wawasan sehingga kemampuan literasi, numerasi, bahkan skolastik akan berkembang seiring kemampuan siswa untuk mengelaborasi konsep, menggunakan konsep untuk melakukan analisis.
”Sederhananya, ketika siswa belajar rumus fisika (konten), dengan memahami rumus dan mengaplikasikannya untuk menyelesaikan masalah, jadi memperkuat literasi dan numerasi. Belajar mata pelajaran akan membuat otot kognitif makin kuat. Perubahan ini justru mendorong guru yang selama ini kurang percaya diri ketika mengajar, nantinya hari demi hari justru memperkuat otot kognitif siswa agar memperbesar survive siswa di sistem seleksi,” kata Hakim.
Baca juga: Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri Diperbarui, Jalur Mandiri Tetap Ada
Mahasiswa baru, kata Hakim, akan menemukan fakta bahwa pengalaman belajar di perguruan tinggi berbeda dengan di SMA/SMK. Ketika berhadapan dengan situasi baru, tidak bisa dengan belajar materi/konten. Berbeda jika memiliki kemampuan penalaran dan berpikir kritis, mereka mampu beradaptasi untuk belajar hal baru.
”Jadi penting sekali seleksi ini mampu menyaring siswa dengan kemampuan belajar yang tinggi sehingga selaras dengan di perguruan tinggi. Apalagi perguruan tinggi sudah menerapkan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, di mana mobilitas mahasiswa jadi luas. Ruang bermanuver semester 5 semakin lebar, misalnya mahassiwa prodi sastra bisa belajar teknologi informasi. Jadi, kemampuan belajar dan berpikir fleksibel penting, tidak lagi mengotakkan dalam IPA atau IPS. Jadi, TPS instrumen paling sesuai untuk menjaring siswa adapatif di perguruan tinggi,” papar Hakim.
Secara terpisah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam peluncuran Merdeka Belajar tentang Transformasi Seleksi Masuk PTN mengatakan, seleksi tes masuk PTN tidak ada lagi tes spesifik ke tiap mata pelajaran, tetapi diganti dengan tes skolastik yang mengukur kemampuan bernalar, logika, menganalisis, dan memecahkan masalah. Termasuk literasi bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, bukan gramatikanya, tetapi memahami teks secara komprehensif.
”Pertanyaan-pertanyaan di tes skolastik mendorong siswa untuk mengerti logika dan bisa menganalisis problem secara kontekstual. Ada konteks riil dan calon mahasiswa didorong menganalisis secara mendalam situasi dan menggunakan informasi yang ada untuk memecahkan masalah,” ujar Nadiem.
Baca juga: Perubahan Seleksi Nasional PTN Mulai Diterapkan 2023
Menurut Nadiem, seleksi tes pola lama mengujikan banyak materi dari mata pelajaran. Jumlah informasi yang harus dihapal untuk menguasai tes mata pelajaran besar. Akibatnya, pola belajar di sekolah menengah membuat guru terpaksa, terdorong, atau tertekan untuk mengejar penuntasan materi. Pembelajaran kurang menekankan pemahaman dan lebih fokus untuk mengerjakan latihan soal-soal tes masuk PTN.
”Dampaknya, kualitas pembelajaran yang mendalam. Kita ingin dengan bekal pembelajaran holistik di pendidikan menengah, semua siswa sudah punya bekal dan percaya diri untuk ikut tes masuk PTN. Kita ingin seleksi tes masuk PTN ini inklusif dan adil bagi semua anak bangsa, bukan hanya bagi mereka yang mampu membayar untuk medapat pelajaran tambahan,” kata Nadiem.