Tragedi di Kanjuruhan dinilai terjadi karena gagalnya pengamanan massa. Manajemen pengamanan aparat diminta untuk ditinjau.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Kepanikan massa ditambah respons aparat yang dinilai tidak tepat memicu situasi menjadi tidak terkendali di Stadion Kanjuruhan, Malang, pekan lalu. Pengamanan massa dinilai gagal dilakukan oleh pihak penyelenggara dan aparat keamanan.
Menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, arogansi aparat dalam Tragedi Kanjuruhan perlu dievaluasi. Arogansi terlihat dari tendangan, pukulan, hingga kejaran aparat terhadap pendukung sepak bola. Hal ini ia cermati dari sejumlah video yang beredar pasca-kericuhan.
”Arogansi aparat masih berlebihan. Ini problem klasik di kepolisian. Artinya, reformasi kultural di kepolisian tidak berjalan dengan benar,” kata Bambang saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Ia menilai aparat gagal mengendalikan situasi di Kanjuruhan. Saat kericuhan terjadi, fokus aparat mestinya bukan lagi mengendalikan massa, tetapi meminimalkan dampak insiden.
Massa yang mulai tidak terkendali mesti dilokalisasi untuk mencegah kericuhan meluas. Artinya, pengendalian massa cukup ada di lapangan, tidak perlu sampai ke tribune penonton. Adapun gas air mata di tribune membuat banyak penonton sesak dan panik.
Arogansi aparat masih berlebihan. Ini problem klasik di kepolisian. Artinya, reformasi kultural di kepolisian tidak berjalan dengan benar.
Kejadian bermula dari kekecewaan penonton saat Arema FC kalah melawan Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10/2022). Sebagian penonton kemudian turun ke lapangan. Kondisi memburuk. Gas air mata pun dilepaskan. Hal itu memicu kepanikan massa yang kemudian berdesakan mencoba keluar dari stadion.
Situasi ini menyebabkan setidaknya 125 orang meninggal, termasuk anak-anak, remaja, dan perempuan. Tragedi ini masih diselidiki lebih lanjut. Namun, hingga kini, buntut dari kericuhan menyebabkan Kepala Kepolisian Resor Malang dicopot dan Arema FC dikenai sanksi.
Bambang menilai, pelepasan gas air mata kepada penonton tidak tepat. Hal ini seperti menyamakan penonton dengan pengunjuk rasa. Padahal, penonton berhak atas kenyamanan dan keamanan, terlebih mereka sudah membeli tiket.
Persiapan keamanan oleh aparat mestinya dimaksimalkan. Pihak kepolisian umumnya memiliki rencana pengamanan dan rencana kontingensi untuk mengamankan suatu agenda. Rencana ini disusun berdasarkan informasi intelijen. Kepolisian umumnya dapat mengukur potensi insiden dan mengantisipasinya berdasarkan informasi tersebut.
Jika insiden tetap terjadi, aparat mesti bertindak sesuai prosedur, seperti memberi peringatan tiga kali dan melokalisasi kerumunan. Tindakan lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan water cannon.
”Dalam unjuk rasa, misalnya, ada water cannon, peluru karet, dan gas air mata yang bisa digunakan. Tapi, di Kanjuruhan kita tidak melihat upaya pendekatan yang lebih humanis. Padahal, penonton di pertandingan (sepak bola) itu beda sekali dengan pengunjuk rasa,” katanya.
Bambang mendorong pemerintah mengaudit sistem manajemen pengamanan aparat. Ia juga mendesak agar anggaran pengamanan kepolisian diaudit.
Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia 2018-2022 Eunike Sri Tyas Suci menambahkan, dalam situasi tak terkendali, sifat kepemimpinan amat dibutuhkan. Adapun sebelum situasi itu terjadi, baik massa maupun aparat dapat memanfaatkan tokoh untuk mengingatkan satu sama lain agar situasi tetap terkendali.
Tragedi Kanjuruhan juga bisa ditelaah dari sisi psikologi massa. Menurut Eunike, fanatisme sebagian penonton hanya salah satu pemicu tragedi. Pemicu lain adalah kekecewaan yang tidak bisa diolah dengan baik sehingga menjadi amarah. Respons aparat setelahnya memicu kondisi memburuk.
”Yang terjadi di Stadion Kanjuruhan adalah kemarahan massal. Individu yang melampiaskan rasa marah bisa sangat brutal karena ini aksi kelompok, bukan aksi individual. Biasanya individu merasa lebih aman karena dia ada di dalam kelompok sehingga bebas dari tanggung jawab pribadi,” kata Eunike.
Saat berada di dalam kelompok, individu akan lebih berani melakukan tindakan bersama dengan harapan tidak teridentifikasi. Hal ini tidak akan dilakukan individu saat ia sendirian.
”Istilahnya risky shift. Ini terjadi saat kelompok secara kolektif melakukan tindakan tertentu yang lebih ekstrem daripada kalau mereka diminta melakukan hal serupa secara individual,” katanya.
Menurut penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang dirilis pada 2014, seseorang dapat ”kehilangan” dirinya di dalam kelompok. Ia dapat melupakan keyakinan dan moralitas pribadinya, kemudian melakukan hal yang umumnya mereka yakini salah.
Associate professor di bidang ilmu saraf kognitif MIT, Rebecca Saxe, mengatakan, prioritas orang berubah ketika ada di konteks ”kita” dan ”mereka”. ”Sekelompok orang akan sering terlibat dalam tindakan yang bertolak belakang dengan standar moral pribadi masing-masing individu di kelompok itu, membuat orang-orang baik terlibat di ’kelompok’ yang melakukan penjarahan, vandalisme, bahkan kebrutalan fisik,” ujarnya seperti dikutip dari Science Daily.