Kesepian Dikaitkan dengan Risiko Terkena Diabetes hingga Dua Kali Lipat
Kesepian menciptakan keadaan tertekan kronis yang dapat mengaktifkan respons stres fisiologis tubuh. Riset terbaru menemukan, kesepian juga meningkatkan risiko terkena diabetes tipe 2.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah studi menemukan bahwa perasaan kesepian berkaitan dengan risiko lebih tinggi terkena diabetes tipe 2. Meskipun penelitian ini tidak memeriksa mekanisme pasti yang terlibat, para peneliti mencatat bahwa dukungan sosial memiliki efek positif pada perilaku yang mempromosikan kesehatan.
Studi oleh Roger E Henriksen dan rekan-rekan di Western Norway University of Applied Sciences ini diterbitkan di jurnal Diabetologia pada Rabu (28/9/2022). Selain memeriksa hubungan antara kesepian dan risiko berkembangnya diabetes tipe 2 atau T2D, penelitian ini juga melihat peran depresi dan insomnia.
Dalam kajian ini, peneliti menggunakan data dari studi HUNT, sebuah kolaborasi antara Pusat Penelitian HUNT, terdiri dari Faculty of Medicine and Health Sciences, Norwegian University of Science and Technology/NTNU), Trøndelag County Council, Central Norway Regional Health Authority, dan Norwegian Institute of Public Health.
Penting bagi penyedia layanan kesehatan terbuka untuk berdialog tentang kekhawatiran individu selama konsultasi klinis, termasuk yang berkaitan dengan kesepian dan interaksi sosial.
Basis data ini berisi informasi kesehatan yang berasal dari kuesioner yang dilaporkan sendiri, pemeriksaan medis, dan sampel darah lebih dari 230.000 orang yang diperoleh melalui empat survei populasi HUNT1 (1984-1986), HUNT2 (1995-1997), HUNT3 (2006-2008), dan HUNT4 (2017-2019).
Informasi dasar untuk 24.024 peserta diambil dari HUNT2 setelah mengecualikan individu dengan gangguan metabolisme, diabetes tipe 1 dan tipe 2, dan mereka yang data tes darahnya tidak tersedia. Status T2D adalah variabel hasil utama dan didasarkan pada HbA1c atau hemoglobin terglikasi, ukuran kontrol gula darah jangka panjang, lebih besar dari 48mmol/mol ketika diukur dalam survei HUNT4.
Sementara kesepian diukur dari tanggapan terhadap survei data HUNT2. Peserta menunjukkan apakah mereka merasa kesepian selama dua minggu sebelumnya dan tanggapan mereka diukur pada skala empat poin (tidak, sedikit, banyak, dan sangat banyak). Keparahan gejala depresi dinilai menggunakan kuesioner yang diisi selama HUNT3 dan terdiri atas tujuh pertanyaan, masing-masing diberi skor pada skala 0-3 dengan total 0-21 poin, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan gejala lebih parah.
Individu dengan insomnia diidentifikasi berdasarkan jawaban mereka atas pertanyaan: ”Seberapa sering dalam tiga bulan terakhir Anda: sulit tidur di malam hari, bangun berulang kali di malam hari, dan bangun terlalu dini dan tidak bisa kembali tidur”. Ini ditanyakan sebagai bagian dari HUNT3 dan peserta dapat memilih salah satu dari tiga jawaban: tidak pernah/jarang, kadang-kadang, dan beberapa kali seminggu.
Dari 24.024 orang, sebanyak 1.179 orang (4,9 persen) mengalami peningkatan T2D selama penelitian (1995-2019). Mereka kebanyakan laki-laki (59 persen vs 44 persen) dan memiliki usia rata-rata lebih tinggi (48 tahun vs 43 tahun) dibandingkan mereka yang tidak mengalami T2D. Mereka juga kebanyakan menikah (73 persen vs 68 persen) dan memiliki tingkat pendidikan terendah (35 persen vs 23 persen). Perasaan kesepian dilaporkan oleh 13 persen peserta.
Studi ini menemukan bahwa tingkat kesepian yang lebih tinggi pada masa awal sangat terkait dengan risiko T2D yang lebih tinggi ketika diukur 20 tahun kemudian. Setelah disesuaikan untuk usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan, para peneliti menemukan bahwa peserta yang menjawab ”sangat” ketika ditanya apakah mereka merasa kesepian dua kali lebih mungkin untuk mengalami peningkatan T2D daripada mereka yang tidak merasa kesepian.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa hubungan ini tidak berubah oleh adanya depresi, insomnia saat tidur, atau insomnia terminal meskipun tim menemukan bukti hubungan dengan insomnia pemeliharaan tidur.
Dukungan sosial
Meskipun penelitian mereka tidak memeriksa mekanisme pasti yang terlibat, para peneliti mencatat bahwa dukungan sosial, pengaruh, dan keterlibatan kemungkinan memiliki efek positif pada perilaku yang mempromosikan kesehatan. Misalnya, saran dan dukungan dari seorang teman dapat memengaruhi pilihan terkait kesehatan seseorang dan memiliki efek positif pada pola makan, tingkat aktivitas fisik, dan perasaan stres secara keseluruhan. Ikatan sosial yang lebih sedikit dan kurangnya pengaruh positif ini dapat membuat orang yang kesepian lebih rentan terhadap perilaku yang dapat meningkatkan risiko berkembangnya T2D.
Para peneliti menyarankan bahwa kesepian harus dimasukkan dalam pedoman klinis yang berkaitan dengan T2D. Mereka mengatakan, ”Penting bagi penyedia layanan kesehatan terbuka untuk berdialog tentang kekhawatiran individu selama konsultasi klinis, termasuk yang berkaitan dengan kesepian dan interaksi sosial.”
Menurut para peneliti, kesepian menciptakan keadaan tertekan kronis dan terkadang berlangsung lama yang dapat mengaktifkan respons stres fisiologis tubuh. Sementara mekanisme yang tepat tidak sepenuhnya dipahami, respons ini diyakini memainkan peran sentral dalam pengembangan T2D melalui mekanisme seperti resistansi insulin sementara yang disebabkan oleh peningkatan kadar hormon stres kortisol.
Proses ini juga melibatkan perubahan dalam pengaturan perilaku makan oleh otak, menyebabkan peningkatan nafsu makan untuk karbohidrat, dan selanjutnya meningkatkan kadar gula darah. Studi sebelumnya telah menemukan hubungan antara kesepian dan makan yang tidak sehat, termasuk konsumsi minuman manis yang lebih tinggi serta makanan kaya gula dan lemak.