LPSK Usulkan Draf RPP Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual
UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, salah satunya, mengatur dana bantuan korban. Klausul ini menjadi harapan bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan hak-haknya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengusulkan draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar dimasukkan dalam program penyusunan peraturan pemerintah tahun 2023. Ini dilakukan menyusul diaturnya klausul dana bantuan korban dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
”Pengaturan dana bantuan korban menjadi salah satu solusi atas minimnya pembayaran restitusi dari para pelaku kepada korban dan memberikan kepastian terpenuhinya hak atas ganti rugi korban,” ujar Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo, di Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Hasto mencontohkan, pada 2020, LPSK menghitung dan mengajukan restitusi Rp 7 miliar. Namun, kenyataannya pembayaran restitusi dari pelaku kepada korban hanya Rp 101 juta atau kurang dari 10 persen dari angka perhitungan LPSK.
Dana bantuan korban diatur dalam Pasal 1 Angka 21 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dana bantuan korban merupakan bentuk perhatian negara terhadap penderitaan korban dalam bentuk pemberian restitusi. Restitusi diberikan oleh pelaku TPKS sebagai ganti kerugian bagi korban. Jika harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan.
Kompensasi diberikan akibat restitusi pelaku yang kurang bayar, akan dibayarkan melalui dana bantuan korban. ( Hasto Atmojo Suroyo)
Pasal 35 UU TPKS mengatur, dalam hal harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, negara memberikan kompensasi sejumlah restitusi yang kurang bayar kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan.
UU TPKS juga mengatur dana bantuan korban dapat diperoleh dari filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun ketentuan mengenai sumber, peruntukan, dan pemanfaatan dana bantuan korban sebagaimana diatur dengan peraturan pemerintah.
Hak korban
Hasto menegaskan, UU TPKS telah membuat satu langkah maju dengan membuka kesempatan bagi korban mendapatkan haknya. Langkah selanjutnya adalah memastikan hak-hak tersebut sampai ke tangan para korban.
Oleh karena itu, LPSK mengusulkan mekanisme dan pengaturan dana bantuan korban dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Dana Bantuan Korban. Usulan tersebut, antara lain, mencakup sumber dana awal, prinsip pengelolaan dana bantuan korban, kelembagaan dana bantuan korban, pelaksanaan dana bantuan korban, pelaporan, pemantauan dan evaluasi, serta koordinasi dengan Kementerian BUMN terkait dana bantuan korban tersebut.
Menanggapi usulan LPSK, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej menyatakan, perihal dana bantuan korban ditangani oleh Kementerian Keuangan. ”Leading sector RPP Dana Bantuan Korban adalah Kemenkeu dan sudah mulai disusun,” kata Eddy.
Koordinator Advokasi Kebijakan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia Ratna Batara Munti menyatakan, pihaknya mendukung inisiatif LPSK.
”Tim masyarakat sipil saat ini juga sudah menyiapkan masukan untuk penyusunan draf RPP dana bantuan korban. Kita berharap draf LPSK bisa didiskusikan dengan masyarakat sipil yang saat ini juga sedang menyusun usulan draf RPP dana bantuan korban,” kata Ratna yang juga aktif di Jaringan Perempuan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual.