Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi harapan bagi para korban untuk mendapatkan keadilan. Karena itu, aturan pelaksanaannya dinantikan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para aktivis perempuan bergembira seusai pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dalam rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). DPR resmi mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi jawaban untuk mengatasi berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi di Tanah Air. Karena itu, setelah diundangkan pada 9 Mei 2022 lalu, implementasi undang-undang tersebut kini terus dinantikan masyarakat. Semakin cepat peraturan pelaksana diterbitkan, kian cepat implementasi UU tersebut.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati memastikan semua peraturan pelaksana (PP) dan peraturan presiden (perpres) yang akan mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) kini dalam proses penyusunannya.
”Undang-undang ini sudah mendesak dilaksanakan, kita berkejaran dengan waktu. Para korban telah menunggu. Jadi tidak perlu menunggu sampai batas waktu sampai dua tahun untuk menerbitkan peraturan pelaksananya,” ujar Bintang Darmawati, Minggu (26/6/2022).
Untuk melaksanakan UU 12/2022 setidaknya dibutuhkan sepuluh aturan turunan, yakni 5 PP dan 5 perpres. Namun, setelah dilakukan kajian, sepuluh peraturan pelaksana tersebut bisa disederhanakan menjadi 3 PP dan 4 perpres karena ada beberapa PP dan perpres bisa dijadikan satu.
Sebagai contoh, pengaturan tentang penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan TPKS dijadikan satu tata cara penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang mengatur mengenai hak-hak korban karena keduanya saling berkaitan erat. Begitu juga penyelenggaraan pencegahan TPKS diatur menjadi satu PP dengan koordinasi serta pemantauan.
DOKUMENTASI KEMENTERIAN PPPA
Ketua DPR Puan Maharani menerima Pendapat Akhir Presiden atas RUU TPKS yang disampaikan Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati pada Rapat Paripurna DPR yang menyetujui RUU TPKS menjadi UU TPKS, Selasa (12/4/2022).
Nantinya hanya akan ada tiga PP, yakni PP mengenai Sumber, Peruntukan, dan Pemanfaatan Dana Bantuan Korban; PP mengenai Penghapusan dan/atau Pemutusan Akses Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang Bermuatan TPKS dan Tata Cara Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan; dan PP Penyelenggaraan Pencegahan TPKS serta Koordinasi dan Pemantauan.
Adapun perpres yang sebelumnya direncanakan lima disederhanakan menjadi empat perpres karena Perpres terkait Tim Terpadu dan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat akan diatur dalam satu peraturan.
Undang-undang ini sudah mendesak dilaksanakan, kita berkejaran dengan waktu. Para korban telah menunggu. Jadi tidak perlu menunggu sampai batas waktu sampai dua tahun untuk menerbitkan peraturan pelaksananya.
Keempat perpres tersebut meliputi Perpres Tim Terpadu dan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di Pusat; Perpres mengenai UPTD PPA; Perpres mengenai Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan; dan Perpres mengenai Kebijakan Nasional tentang Pemberantasan TPKS.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati menyatakan, PP dan perpres tersebut disusun bersama 13 kementerian/lembaga. Adapun tahapan penyusunan konsepsi, penyusunan draf, uji publik, penyempurnaan, finalisasi, pengajuan program telah dimulai sejak awal Juni 2022 lalu.
Pelayan terpadu
Dalam pelaksanaan UU TPKS nanti, pelayanan terpadu menjadi salah satu kunci dalam implementasi. Di garda terdepan ada Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai penyelenggaraan pelayanan terpadu, dalam penanganan, pelindungan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.
Infografik Sejumlah Pasal Krusial di RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Adapun tugas dari UPTD PPA sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS ialah menerima laporan atau penjangkauan korban; memberikan informasi tentang hak korban; memfasilitasi pemberian layanan kesehatan; memfasilitasi pemberian layanan penguatan psikologis; memfasilitasi pemberian layanan psikososial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial; dan menyediakan layanan hukum.
Selain itu, sejumlah tugas lainnya adalah mengidentifikasi kebutuhan pemberdayaan ekonomi; mengidentifikasi kebutuhan penampungan sementara untuk korban dan keluarga korban yang perlu dipenuhi segera; memfasilitasi kebutuhan korban penyandang disabilitas; mengoordinasikan dan bekerja sama atas pemenuhan hak korban dengan lembaga lainnya; dan memantau pemenuhan hak korban oleh aparatur penegak hukum selama proses acara peradilan.
Selanjutnya, UPTD PPA dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat bekerja sama dengan sejumlah instansi/lembaga di daerah seperti kantor wilayah Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, perwakilan LPSK, lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial (LPKS), Iembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, dan institusi lainnya.
Kerja sama juga dilakukan bersama dengan pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan fasilitas layanan kesehatan lainnya, unit pelaksana teknis yang urusan di bidang sosial, rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan, dan balai pemasyarakatan, kepolisian, kejaksaan; pengadilan, dan unit pelaksana teknis badan yang menyelenggarakan pelindungan pekerja migran.
Adapun UU TPKS mengatur pendampingan korban saat menghadapi proses hukum di semua tingkat pemeriksaan. Pendamping adalah petugas LPSK; petugas UPTD PPA; tenaga kesehatan; psikolog; pekerja sosial; tenaga kesejahteraan sosial; psikiater; pendamping hukum (advokat dan paralegal); petugas lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat; dan pendamping lain.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Anggota DPR mengikuti sidang secara daring saat rapat paripurna DPR terkait pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). DPR resmi mengesahkan RUU TPKS menjadi undang-undang. Pengesahan ini dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.
Namun, pendamping korban harus memenuhi persyaratan. Selain memiliki kompetensi tentang penanganan korban yang berperspektif HAM dan sensitivitas jender, pendamping juga telah mengikuti pelatihan penanganan perkara TPKS.
”Pendamping diutamakan berjenis kelamin sama dengan korban,” ujar Ali Khasan, Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA pada Seminar Nasional Penguatan Partisipasi Publik dalam Mengawal Implementasi UU TPKS yang digelar Perempuan Mahardhika, Rabu (15/6/2022).
Pendampingan korban
Pasal 39 Ayat (1) UU TPKS mengamanatkan, UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, atau lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat yang menerima laporan wajib memberikan pendampingan dan pelayanan terpadu yang dibutuhkan korban.
Adapun pendampingan korban dalam proses hukum diperlukan dalam rangka, asesmen kebutuhan korban; pemeriksaan; identifikasi pelaku; pendampingan selama proses olah tempat kejadian perkara (jika dibutuhkan); perlindungan dari ancaman; bantuan informasi berupa; informasi perkembangan perkara; dan informasi hak-hak korban (restitusi, pemulihan).
Selain itu, juga untuk informasi penahanan tersangka; perlindungan alat bukti untuk pemeriksaan forensik; informasi mengenai bantuan medis; serta pemeriksaan forensik dan pencegahan viktimisasi lanjutan.
Terkait pendampingan, penyidik bisa meminta pendamping sejak menerima laporan atau pengaduan sesuai dengan kebutuhan. Tak hanya itu, dalam pemeriksaan korban, penyidik wajib memintakan informasi terkait kesiapan korban dalam memberikan keterangan.
Komisaris Polisi Ema Rahmawati dari Bareskrim Polri mengungkapkan, masih ada sejumlah tantangan dalam pendampingan korban TPKS, antara lain, masih ada penyidik ataupun penyidik pembantu yang belum memahami pentingnya pendampingan bagi korban; serta keterbatasan pendamping baik di UPTD PPA, LPSK, psikolog, termasuk pendamping bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, pendamping yang kompeten juga masih terbatas; anggaran pendampingan; serta terbatasnya sarana dan prasarana dalam mendukung pendampingan; termasuk pelatihan bagi penyidik dan pendamping dalam penanganan TPKS.
Nur Laila Hafidhoh, Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan HAM (LRC-KJHAM), saat menyampaikan pengalaman lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam bersinergi dengan UPTD PPA untuk pendampingan korban di Provinsi Jawa Tengah, juga mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi.
Pendampingan korban lembaga layanan berbasis masyarakat tidak bisa sendiri, harus dilakukan bersama-sama dengan UPTD, karena jangkauan layanan semakin lambat. Di sisi lain, anggaran penanganan kasus tidak semuanya bisa diatasi dengan menggunakan anggaran pemerintah provinsi. Lembaga layanan berbasis masyarakat harus mengeluarkan biaya penanganan kasus sendiri terkait dengan tugasnya.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Apik Jakarta Uli Pangaribuan (kiri), bersama rekan-rekannya di kantor LPSK, Jakarta, Rabu (17/7/2019). Mereka mengapresiasi putusan kasasi MA dan berterima kasih atas bantuan masyakarat luas sehingga kasus pelecehan seksual yang menimpa Jo (14) dan Ji (7) bisa mendapatkan keadilan.
Selain layanan terpadu dan pendampingan korban, masih ada sejumlah hal yang diatur dalam UU TPKS yang membutuhkan perhatian khusus agar saat implementasinya nanti tidak lagi menyulitkan para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan.