Seleksi Masuk PTN Diharapkan Memunculkan Mutiara Terpendam
Transformasi seleksi masuk PTN untuk jalur prestasi dan tes masih disiapkan. Berbagai perubahan untuk menilai calon mahasiswa yang potensial dilakukan untuk menemukan mutiara-mutiara terpendam di PTN.
Sejak pemerintah mengumumkan perubahan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri, berbagai diskusi terus bergulir. Transformasi seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang akan dimulai tahun 2023 adalah upaya untuk menyelaraskan capaian pendidikan menengah dan di bawahnya dengan perguruan tinggi serta mewujudkan seleksi masuk yang inklusif bagi semua kalangan.
Berdasarkan data tahun 2020/2021, terdapat lebih dari 3,2 juta lulusan SMA/SMK/sederajat. Lulusan yang melanjutkan kuliah berkisar 2,1 juta orang, dan dari jumlah tersebut sekitar 762.000 mahasiswa diterima di perguruan tinggi negeri (PTN), baik akademik maupun vokasi.
Transformasi seleksi masuk PTN sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar yang diluncurkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim secara umum masih melanjutkan tiga jalur yang sudah dikenal selama ini, yakni seleksi berdasarkan nilai rapor/prestasi, tes, dan mandiri. Meskipun jalur masuk masih sama, ada perbaikan untuk tiap jalur dengan tujuan penyelarasan dan keadilan dalam memilih calon mahasiswa baru berdasarkan kemampuan untuk belajar atau survive di perguruan tinggi sesuai potensi dan bakat tiap mahasiswa.
Penyelenggaraan seleksi nasional masuk PTN untuk jalur prestasi dan tes yang beberapa tahun terakhir dilaksanakan Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) yang merupakan perwakilan PTN, mulai tahun 2023 dilaksanakan oleh Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3), yang menjadi bagian dari Pusat Asesmen Pendidikan, Badan Standar Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek. Namun, di masa transisi, tim eks LTMPT dirangkul menjadi bagian dari BP3 untuk menyiapkan seleksi nasional masuk PTN tahun 2023.
Berbagai pertanyaan terus mengemuka tentang pelaksanaan teknis seleksi nasional masuk PTN, utamanya untuk seleksi masuk berdasarkan tes yang dulunya meliputi tes potensi akademik (TPA), tes potensi skolastik (TPS), dan bahasa Inggris. Namun, untuk tahun 2023, seleksi tes hanya melakukan TPS yang mengukur potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia, dan literasi dalam bahasa Inggris.
Menyikapi hal tersebut, sebagian siswa, guru, dosen, dan masyarakat mempertanyakan keandalan tes masuk PTN yang hanya dengan TPS tanpa memadukan lagi dengan TPA (terkait konten sejumlah mata pelajaran inti yang relevan di PT). Pertanyaan lanjutan, apakah memungkinkan anak kelompok ilmu pengetahuan sosial atau bahasa mengambil program studi kelompok sains dan teknologi. Dalam praktiknya selama ini, lebih terbuka pilihan bagi anak kelompok ilmu pengetahuan alam (IPA) yang beralih ke prodi sosial humaniora.
”Mohon sabar, masih tim rumuskan. Nanti segera disampaikan ke masyarakat,” kata Ketua Tim Pelaksana Persiapan Seleksi Masuk PTN 2023 Budi Prasetyo Widyobroto, Sabtu (17/9/2022).
Sebelumnya di webinar Silaturahmi Merdeka Belajar: Mewujudkan Transformasi Skema Masuk Pendidikan Tinggi Negeri Berkeadilan, Kamis (16/9/2022), Budi mengatakan, sistem seleksi PTN yang baru memberikan keleluasaan pada calon mahasiswa untuk memilih program studi asal bertanggung jawab. Tidak ada batasan hanya bisa memilih kelompok bidang IPA atau IPS, tapi ada kebebasan atau lintas bidang ilmu. Dengan pola seleksi ini, siswa dari jenis pendidikan SMA/SMK/MA/sederajat; sekolah di perkotaan atau pedesaan; hingga dari kelompok berkecukupan finansial atau kurang mampu, memiliki kesempatan yang sama untuk lolos dalam seleksi PTN.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nizam mengatakan, sebelum munculnya kebijakan transformasi seleksi masuk PTN, Kemendikbudristek sudah melibatkan para pimpinan PTN. Sosialisasi seleksi masuk PTN yang sudah berjalan selama ini biasanya pada bulan Desember.
”Seleksi masuk tahun 2023 itu biasanya akan disosialisasikan sampai detail dari jadwal hingga petunjuk teknis, pada akhir tahun 2022, di bulan Desember. Calon mahasiswa tidak perlu khawatir karena seleksi masuk PTN tahun 2023 akan tetap berjalan dengan baik,” ujar Nizam.
Tidak instan
Perubahan seleksi masuk PTN, utamanya jalur tes, yang fokus pada TPS, menurut dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) M Abdul Hakim, justru membuka peluang ditemukannya mutiara-mutiara terpendam yang lebih potensial untuk berhasil atau survive belajar di PTN karena tidak bisa dibangun dalam waktu instan atau drilling. Sebab, skor TPS bergantung pada perkembangan kognitif anak yang tidak dipengaruhi faktor sosial ekonomi.
”Kalau mau meningkatkan skor TPS harus melatih otot kognitif, enggak bisa hanya menjelang ujian. Siswa harus terlatih menggunakan penalaran, pemikiran numerik dari jauh-jauh hari. TPS ibarat wadah untuk memprediksi seberapa mampu calon mahasiswa belajar hal-hal baru di masa depan,” kata Hakim.
Sebaliknya, pelaksanaan TPA yang mengujikan konten mata pelajaran pokok bisa dilatih dengan cepat. Siswa yang mampu secara finansial bisa mengikuti semacam bimbingan tes yang membantu mereka mampu menjawab soal-soal tes dengan cepat karena dilatih (drilling). Skor TPA ini ada korelasinya dengan kondisi sosial ekonomi.
Baca juga: Perubahan Seleksi Nasional PTN Mulai Diterapkan 2023
Hakim memaparkan, dari simulasi yang dilakukan pada 641 sekolah ditemukan hasil TPS tidak ada perbedaan signifikan antarsekolah karena bergantung pada pekembangan kognitif siswa. ”Jadinya TPS menjawab tujuan pemerintah untuk tes masuk PTN lepas dari faktor sosial ekonomi. Sebenarnya, pada tahun 2020 jalur tes masuk PTN pernah hanya mengujikan TPS,” kata Hakim.
Terkait pandangan yang berkembang, yakni tidak lagi ada manfaat belajar mata pelajaran di pendidikan menengah, Abdul mengatakan, memahami konten mata pelajaran tetap penting. Sebab, konten memperluas wawasan sehingga kemampuan literasi, numerasi, bahkan skolastik akan berkembang seiring kemampuan siswa untuk mengelaborasi konsep, menggunakan konsep untuk melakukan analisis.
”Sederhananya, ketika siswa belajar rumus fisika (konten), dengan memahami rumus dan mengaplikasikannya untuk menyelesaikan masalah, jadi memperkuat literasi dan numerasi. Belajar mata pelajaran akan membuat otot kognitif makin kuat. Perubahan ini justru mendorong guru yang selama ini kurang percaya diri ketika mengajar nantinya hari demi hari justru memperkuat otot kognitif siswa agar memperbesar survive siswa di sistem seleksi,” kata Hakim.
Hakim mengatakan, ada miskonsepsi tentang TPS. Dengan adanya TPS, bukan berarti tes seleksi PTN menjadi lebih gampang. Dengan digelarnya TPS, persaingan menjadi lebih terbuka dan tingkat kompetisi ke jurusan favorit meningkat.
Tidak ada batasan hanya bisa memilih kelompok bidang IPA atau IPS, tapi ada kebebasan atau lintas bidang ilmu.
Terkait perubahan di jalur prestasi yang memperhitungkan rerata nilai semua mata pelajaran, menurut Hakim, hal itu bukan sekadar untuk melihat capaian belajar, tapi sikap belajar. Siswa yang mampu menjaga performa selama 2,5 tahun di pendidikan menengah dan mendapat nilai tinggi di semua mata pelajaran berarti teruji ketangguhannya dan punya sikap belajar positif sehingga bisa survive dan berkembang di PT.
Mahasiswa baru, kata Hakim, akan menemukan fakta bahwa pengalaman belajar di PT berbeda dengan di SMA/SMK. Ketika berhadapan dengan situasi baru, tidak bisa mereka sekedar belajar materi/konten. Namun, jika memiliki kemampuan penalaran dan berpikir kritis, mereka mampu beradaptasi untuk belajar hal baru.
”Jadi penting sekali seleksi ini mampu menyaring siswa dengan kemampuan belajar yang tinggi sehingga selaras dengan di PT. Apalagi, PT sudah menerapkan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, di mana mobilitas mahasiswa jadi luas. Ruang bermanuver semester lima semakin lebar, misalnya mahasiswa prodi sastra bisa belajar teknologi informasi. Jadi, kemampuan belajar dan berpikir fleksibel penting, tidak lagi mengotak-kotakkan dalam IPA atau IPS. Jadi, TPS instrumen paling sesuai untuk menjaring siswa adaptif di PT,” papar Hakim.
Ada pula korelasi yang baik antara skor TPS dan kemampuan literasi dan numerasi siswa, yakni sebesar 0,4-05. Semakin kuat dan tajam kemampuan literasi dan numerasi, kemungkian skor tes TPS tinggi.
Tidak asal diterima
Secara terpisah, Ina Liem, praktisi pendidikan yang juga konsultan pendidikan/perkuliahan, mengatakan, transformasi seleksi nasional masuk PTN oleh Kemendikbudristek dinilai sudah selaras dengan perkembangan di masa depan yang membutuhkan SDM yang memiliki kompetensi memecahkan masalah yang semakin kompleks, yang butuh penalaran tingkat tinggi dengan memahami apa yang dipelajari, bukan sekadar hafalan dengan sistem drilling.
”Transformasi seleksi masuk PTN ini harus segera ditindaklanjuti dengan aturan teknis di tiap program studi di PTN. Tiap prodi perlu menentukan subyek mata pelajaran prasyarat untuk jurusan-jurusan tertentu yang harus diambil di SMA. Ini yang dilakukan banyak perguruan tinggi di luar negeri,” kata Ina.
Menurut Ina, semisal untuk prodi teknik, berarti siswa di SMA/SMK/MA harus mengambil mata pelajaran Fisika dan Matematika. Untuk yang kedokteran, misalnya Biologi dan Kimia. Transparansi untuk syarat subyek mata pelajaran ini harus sudah mulai dilakukan semua PTN.
Ina mengatakan, kebijakan yang fokus tes TPS bisa mengagetkan untuk anak-anak tipe sensing yang lebih banyak belajar dengan hafalan. Apalagi, sistem belajar dan ujian di sekolah memang memberi ruang bagi anak-anak yang belajar dengan sistem hafalan.
Anak-anak tipe sensing ini bisa melesat nilainya karena terbiasa di-drill, belajar dengan menghafal rumus, atau belajar dengan ”disuapi” guru. Adapun untuk anak-anak dengan tipe intuitif, sebenarnya pemahaman dan wawasan mereka mendalam, mampu mencari sendiri jawaban dari fenomena, sehingga mereka jadi hafal. Sayangnya, mutiara terpendam ini tidak muncul ke permukaan.
”Dengan tipe TPS ini, nanti anak-anak yang memang terbiasa belajar sampai paham, bisa lebih muncul. Anak-anak yang bisa berprestasi karena model ujian hafalan tetap bisa sukses asal dibantu untuk memperdalam penalarannya,” ujar Ina.
Ina mengatakan, siswa perlu didorong untuk memahami materi, bukan sekedar dihafalkan. ”Mindset untuk kuliah di PTN perlu berubah. Target orangtua sekarang ini jangan yang penting anak masuk PTN. Seharusnya yang penting anak menguasai bidangnya. Kalau mengandalkan hafalan, toh bakal tergantikan oleh robot. Jadi untuk jangka panjang anak itu juga sulit untuk bersaing, kan,” kata Ina, yang berpengalaman dalam pendaftaran pendidikan tinggi di luar negeri.
Dengan transformasi seleksi masuk PTN ini, masyarakat juga harus mulai menerima potensi calon mahasiswa untuk melanjutkan di vokasi atau akademik. Sebab, untuk pendidikan tinggi vokasi pun kini sudah ada sarjana, magister, hingga doktor terapan. Dengan demikian, pilihan untuk kuliah memang berdasarkan potensi anak apakah cocok dengan cara belajar yang lebih banyak praktik/terapan atau yang model akademis untuk mendorong penguatan riset inovasi.
Baca juga: Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri Diperbarui, Jalur Mandiri Tetap Ada
Kepala Pusat Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Asrijanti mengatakan, kompetensi penalaran bukan hanya penting untuk belajar, tapi juga dalam kehidupan di masa depan. Karena itulah, pendidikan menengah dan di bawahnya juga harus membangun kompetensi penalaran, memecahkan masalah, literasi, dan numerasi.
”Jadi pembelajaran harus holistik. Kita ingin pembelajaran di sekolah mulai membangun penalaran, tidak lagi mengajar konten dan diuji dengan hafalan. Kita ingin siswa memahami apa yang dipelajari dan dapat menggunakannya, dan ini selaras dengan pembelajaran di PT. Jadi, transformasi seleksi masuk PTN ini sebagai jembatan menyelaraskan pembelajaran di pendidikan menengah,” kata Asrijanti.