Perubahan Seleksi Nasional Masuk PTN Dinilai Mendadak
Transformasi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang dimulai tahun 2023 dinilai mendadak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri yang mulai diterapkan tahun 2023 disambut optimistis sekaligus keraguan. Persiapan para peserta lulusan pendidikan menengah untuk menjalani seleksi nasional berdasarkan prestasi ataupun tes yang sesuai aturan baru dirasa mendadak, butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
Beragam tanggapan dari berbagai kalangan muncul karena persiapan yang dilakukan masih mengacu pada persyaratan lama. Namun, tiba-tiba seiring peluncuran Merdeka Belajar Episode Ke-22: Transformasi Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) oleh Menteri Pendidikan, Kebudyaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim pada Rabu (7/9/2022), seleksi masuk nasional tahun 2023 yang biasanya dimulai akhir tahun 2022 hingga pertengahan 2023 berubah.
Pada seleksi nasional berdasarkan prestasi, perubahan mencakup, antara lain, penilaian prestasi rapor kini 50 persen untuk semua mata pelajaran. Pada aturan sebelumnya, hanya mencakup nilai rapor untuk 5-6 mata pelajaran. Prestasi nonakademik siswa selama SMA juga jadi pertimbangan.
Adapun pada seleksi nasional berdasarkan tes, untuk tahun depan hanya model tes potensi skolastik (TPS) untuk mengukur potensi kognitif, penalaran Matematika, literasi dalam Bahasa Indonesia, dan literasi dalam Bahasa Inggris. Tahun lalu, seleksi dilakukan dengan ujian tes berbasis komputer (UTBK) yang digelar Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT). UTBK ini mencakup tes potensi akademik (TPA), TPS, dan Bahasa Inggris. Peserta dibagi dalam pilihan kelompok Sains dan Teknologi serta Sosial Humaniora.
”Kami yang sekarang di kelas XII, selama empat semester kemarin sudah mengusahakan nilai-nilai di enam mata pelajaran yang dibutuhkan untuk seleksi jalur prestasi atau SNMPTN bagus, mata pelajaran lainnya fluktuatif. Dengan berubahnya sistem penilaian di tengah jalan ini, kami jadi dirugikan, bagaimana mau mengejar nilai mata pelajaran yang tadinya tidak jadi syarat yang fluktuatif,” kata Achmad, pelajar SMA.
Sementara itu, Judha Hoka Wishika, siswa SMA Pradita Dirgantara Boyolali, mengaku senang dengan arah transformasi seleksi PTN. ”Ini yang saya inginkan, di mana saya bisa fokus pada mata pelajaran yang jadi minat saya. Dengan peluncuran program ini akan banyak potensi anak-anak Indonesia yang semakin berkembang guna mencetak SDM unggul di masa depan,” ujar Judha.
Kepala SMAN 1 Lembang, Jawa Barat, Suhendiana Noor menyambut baik kebijakan yang terintegrasi antara pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. ”Kami senang karena apa yang kami ajarkan di sekolah nyambung antara literasi, numerasi, dan penguatan karakter dengan sistem seleksi di PTN. Ini akan memotivasi guru untuk lebih percaya diri dalam mengajar dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan,” tuturnya.
Secara terpisah, dosen Universitas Paramadina, M Abduhzen, mengatakan, tidak adanya tes akademik (materi mata pelajaran) di seleksi berdasarkan tes dan hanya mengandalkan skolastik akan membuka peluang mahasiswa yang diterima tidak memiliki basis saintifik yang relevan dengan program studi di PTN yang dipilihnya. ”Harusnya selain penalaran juga mempertimbangkan dasar persepsi pengetahuannya,” katanya.
Prasyarat program studi
Pendapat berbeda disampaikan Ina Liem, praktisi pendidikan yang juga konsultan pendidikan/perkuliahan. Transformasi seleksi nasional masuk PTN oleh Kemendikbudristek dinilai sudah selaras dengan perkembangan di masa depan yang membutuhkan SDM yang memiliki kompetensi memecahkan masalah yang semakin kompleks, penalaran tingkat tinggi, bukan hafalan dengan sistem drilling.
”Transformasi seleksi masuk PTN ini harus segera ditindaklanjuti dengan aturan teknis di tiap program studi di PTN. Tiap prodi perlu menentukan subyek mata pelajaran prasyarat untuk jurusan-jurusan tertentu yang harus diambil di SMA. Ini yang dilakukan banyak perguruan tinggi di luar negeri,” kata Ina.
Misalnya, untuk prodi teknik, berarti siswa di SMA/SMK/MA harus mengambil mata pelajaran Fisika dan Matematika. Untuk yang kedokteran, misalnya, Biologi dan Kimia. Transparansi untuk syarat subyek mata pelajaran ini harus sudah mulai dilakukan semua PTN.
“Ke depan, jika SDM kita hanya terbiasa dengan belajar low order thingking skills/LOWS, dengan hafalan dan drilling untuk masuk dunia kerja justru terancam karena mereka akan digantikan robot. Sebaliknya, anak-anak yang terbiasa berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills/HOTS, mampu memecahkan masalah, punya ide cemerlang. Ini yang dibutuhkan dunia kerja masa depan. Memang perubahan ini butuh penyesuaian dari mengubah penilaian tes yang biasa berbasis konten/hafalan yang bisa ditemukan di Google, ke arah cara belajar yang memecahkan masalah dengan penalaran,” tutur Ina.
Ke depan, jika SDM kita hanya terbiasa dengan belajar low order thingking skills/LOWS, dengan hafalan dan drilling untuk masuk dunia kerja justru terancam karena mereka akan digantikan robot.
”Mindset untuk kuliah di PTN perlu berubah. Target orangtua sekarang ini jangan yang penting anak masuk PTN. Seharusnya, yang penting anak menguasai bidangnya,” kata Ina.
Ina menambahkan, dengan transformasi seleksi masuk PTN ini, masyarakat juga harus mulai menerima potensi calon mahasiswa untuk melanjutkan di pendidikan vokasi atau akademik. Sebab, pada pendidikan tinggi vokasi pun kini sudah ada sarjana, magister, hingga doktor terapan.
Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies Totok Amin Soefijanto menilai, pelaksanaan seleksi masuk PTN yang baru tetap perlu memerhatikan evaluasi dari sistem sebelumnya.
”Transformasi dari beberapa bentuk seleksi ini sudah baik dan mengadopsi prinsip-prinsip yang digunakan dalam seleksi masuk perguruan tinggi di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, di mana logika dan kemampuan berpikir kritis menjadi hal yang difokuskan. Prinsip-prinsip tersebut mengedepankan potensi siswa secara individu dan tidak hanya didasarkan pada hasil tes semata,” kata Totok.
Sementara itu, praktisi pendidikan Daramaningtyas mengatakan, transformasi seleksi masuk PTN tetap membuka celah penyelewengan dan diskriminasi. Di jalur prestasi, PTN nanti didominasi oleh lulusan dari sekolah-sekolah yang sudah mapan saja. Sekolah-sekolah yang alumninya banyak diterima di PTN-PTN terkemuka akan mendapatkan prioritas masuk.
Adapun jalur seleksi tes sebenarnya yang paling obyektif, transparan, dan sudah terbukti lebih dari 45 tahun cukup bagus. Seharusnya, kuotanya ditingkatkan lebih banyak lagi. Sebab, mereka yang masuk ke PTN melalui jalur seleksi bersama umumnya memiliki keragaman kemampuan dan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya sehingga baik untuk menciptakan kampus yang lebih inklusif.
Namun, materi yang diujikan di seleksi tes yang mencakup tes skolastik, penalaran Matematika, literasi dalam Bahasa Indonesia, literasi dalam Bahasa Inggris, juga akan sangat menguntungkan lulusan sekolah menengah dari perkotaan dan golongan mampu. Karena tinggal di perkotaan dan memiliki dana yang cukup, mereka bisa les bahasa Inggris sehingga tingkat literasi bahasa Inggrisnya bagus. Tapi, bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah perdesaan dan minim fasilitas, literasi Bahasa Inggris mereka mungkin jelek dan akhirnya kalah bersaing dari anak-anak di perkotaan yang mampu.
”Peluang lulusan dari sekolah-sekolah pinggiran, pelosok, atau daerah kepulauan makin sempit,” kata Darmaningtyas.