Seni budaya digunakan sebagai media menguatkan komitmen negara G20 untuk membangun kehidupan berkelanjutan. Pergelaran seni budaya ini akan digelar di kawasan Candi Borobudur, September 2022.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergelaran seni dan budaya akan digelar selama pertemuan menteri bidang kebudayaan negara G20 di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada September 2022. Seni budaya menjadi media mengomunikasikan komitmen negara G20 yang sepakat menjadikan budaya sebagai referensi membangun kehidupan berkelanjutan.
Pertemuan menteri bidang kebudayaan G20 akan berlangsung pada 12-13 September 2022 di Borobudur. Pertemuan ini akan diikuti dengan sejumlah kegiatan, seperti Ruwatan Bumi, Kirab Budaya yang melibatkan 20 desa di kawasan Borobudur, dan Festival Indonesia Bertutur 2022.
Festival tersebut menampilkan lebih dari 100 karya seni hasil interpretasi terhadap 20 cagar budaya Indonesia. Sekitar 900 pegiat seni budaya dari dalam dan luar negeri dilibatkan pada festival, seperti dari Malaysia, Jepang, Kamboja, Singapura, dan China. Festival ini terbuka untuk umum pada 7-11 September 2022, sementara pergelaran pada 12-13 September 2022 terbatas untuk delegasi G20.
”Dalam konteks kebudayaan untuk mendorong kehidupan berkelanjutan, (penggunaan) bahasa artistik ini tepat. Sebab, (isu ini) sulit dibicarakan dengan bahasa yang terbatas. Kami ingin mengangkat kebudayaan dan menggunakan bahasa artistik di pertemuan G20 ini,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid secara daring, Rabu (7/9/2022).
Hilmar menambahkan, ada dua topik utama yang akan dibahas menteri-menteri kebudayaan negara G20. Pertama, pembentukan Dana Global di Bidang Seni dan Budaya (Global Arts and Culture Recovery Fund). Pembahasan lebih jauh tentang teknis dana ini masih dibahas, termasuk institusi yang cocok mengelola dana. Sejauh ini, pembicaraan melibatkan UNESCO.
Kedua, pemanfaatan kebudayaan untuk membangun kehidupan berkelanjutan. Ini penting karena warga dunia sedang menghadapi masalah degradasi lingkungan dan sederet dampak perubahan iklim.
”Praktik hidup berkelanjutan sebenarnya sudah banyak, misalnya di perdesaan dengan kearifan lokal penduduk. Kesadaran hidup berkelanjutan di anak muda juga menguat, contohnya dengan belanja lebih sedikit. Praktik baik ini tersebar di mana-mana, tapi bagaimana agar praktik ini bisa dikonsolidasi,” kata Hilmar.
Setiap negara dianggap punya kearifan lokal warisan nenek moyang yang mengajarkan cara hidup berdampingan dengan alam. Hal itu akan diperkenalkan lagi ke generasi masa kini. Kearifan lokal akan diadaptasi kemudian dilengkapi dengan kajian ilmiah dan pemanfaatan teknologi.
”Masyarakat kita mengenal konsep tujuh turunan. Bila satu generasi sama dengan 25 tahun, berarti masyarakat kita sebetulnya sudah memikirkan kehidupan hingga 175 tahun ke depan. Sementara itu, rencana pembangunan masa kini hanya lima tahun,” kata Hilmar. ”Kita bukan mau kembali ke masa lalu, tapi saya kira prinsip ini bisa menciptakan sistem kehidupan berkelanjutan.”
G20 Orchestra
Hajatan seni budaya di Borobudur juga akan menampilkan pertunjukan musik klasik melalui kelompok G20 Orchestra. G20 Orchestra Artistic Director Ananda Sukarlan mengatakan, anggota G20 Orchestra merupakan musisi dari negara-negara G20. Ini pertama kalinya G20 Orchestra dibentuk dan diharapkan tetap eksis hingga presidensi G20 berikutnya.
Menurut Ananda, musik adalah bahasa universal yang dapat menjadi pemersatu warga dunia yang latar belakangnya berbeda-beda. Musik juga dijadikan media mendokumentasikan sejarah dunia agar bisa dipelajari publik.
”G20 Orchestra akan tampil pada 12 September 2022. Musik yang kami bawa akan bercerita tentang beberapa hal, seperti hubungan Indonesia dan Australia pada abad ke-18. Ada juga cerita tentang perang dunia pertama,” kata Ananda.
Sebelumnya, menurut Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2022 Melati Suryadarmo, kebudayaan tidak hanya mengandung sistem kepercayaan nenek moyang, tetapi juga pengetahuan warisan yang sudah teruji oleh waktu. Namun, ingatan publik terhadap kebudayaannya kerap terputus karena perkembangan zaman.
Interpretasi dan telaah para pegiat seni budaya diharapkan bisa menyambung kembali ingatan tersebut. Publik juga diharapkan paham dengan budaya dan sejarah bangsanya. Sebab, pemahaman itu menjadi modal untuk menyusun masa depan.