Terapi Tuberkulosis Resisten Obat Bisa Lebih Pendek
Keberhasilan terapi tuberkulosis resisten obat sangat dipengaruhi oleh durasi terapi, dosis obat, serta keparahan efek samping. Riset terbaru memperlihatkan bahwa durasi terapi TBC resisten obat bisa lebih singkat.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terapi untuk pasien tuberkulosis resisten obat kini dapat lebih pendek dari tata laksana yang berlaku saat ini, dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dan efek samping yang relatif lebih ringan. Hal ini dinilai dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan keberhasilan eliminasi tuberkulosis.
Demikian hasil studi uji klinis ZeNix fase 3 yang dipublikasi di jurnal New England Journal of Medicine, 1 September 2022. Menurut studi ini, setengah dosis linezolid, obat yang dipakai dalam terapi tuberkulosis (TBC) resisten obat bersama bedakuilin dan pretomanid, memberikan kesembuhan lebih dari 90 persen pada pasien dalam 6-9 bulan dengan efek samping yang lebih sedikit dibanding jika digunakan dalam dosis penuh.
Dalam tata laksana saat ini, terapi TBC resisten obat berlangsung 9-24 bulan dan memberikan efikasi 90 persen. Akan tetapi, penggunaan linezolid 1.200 miligram dalam waktu lama menyebabkan efek samping parah, termasuk kerusakan saraf tepi di otak dan tulang belakang.
Dalam studi NeNix ini, para peneliti dari Afrika Selatan, Rusia, Georgia, Moldova, dan Inggris melibatkan 181 responden yang merupakan pasien TBC resisten obat dengan beragam kategori. Dengan metode uji acak terkendali sebagian, para peneliti memberikan dosis linezolid bervariasi dengan durasi pemberian yang berbeda kepada partisipan.
Hasilnya, 84-93 persen partisipan mendapatkan hasil yang baik. Hasil ini diperoleh setelah dosis linezolid yang semula 1.200 mg dikurangi separuhnya menjadi 600 mg dan durasi terapi yang lebih singkat, yaitu enam bulan.
Prioritasnya sekarang adalah menemukan keseimbangan yang lebih baik antara efikasi rejimen terbaru dan efek samping yang ditimbulkan dari konsumsi linezolid dalam waktu lama.
Seperti dikutip laman resmi Center for Infectious Disease Research and Policy (CIDRAP), University of Minnesota, AS, Kamis (1/9/2022), Presiden sekaligus CEO TB Alliance Mel Spigelman mengatakan, lama terapi yang lebih kurang enam bulan dengan tingkat kesembuhan pasien TBC resisten obat sebesar 90 persen akan berdampak besar pada beban penyakit ini di dunia.
Dalam tulisan editorial pendamping hasil studi, Guy Thwaites dari Oxford University Clinical Research Unit, Vietnam dan Nhung Nguyen dari National Vietnam Tuberculosis Program menyatakan, terapi TBC resisten obat yang lebih pendek dengan efikasi yang tinggi merupakan pencapaian dalam program eliminasi TBC global.
Meski demikian, menurut mereka, kajian terapi lebih jauh perlu dilakukan mengingat seperempat pasien TB resisten obat yang menerima terapi kombinasi bedakuilin, pretomanid, dan linezolid mengalami neropati perifer dan ini merupakan tantangan program eliminasi TB.
”Prioritasnya sekarang adalah menemukan keseimbangan yang lebih baik antara efikasi rejimen terbaru dan efek samping yang ditimbulkan dari konsumsi linezolid dalam waktu lama,” tulis Thwaites dan Nguyen.
Spigelman menambahkan, pemberian dosis linezolid yang lebih rendah diasosiasikan dengan efek samping parah yang lebih rendah pula. ”Masih ada efek samping, tapi hampir tidak ada partisipan yang menghentikan terapi mereka karena efek samping itu,” ujarnya.
Hasil studi ini menguatkan panduan terbaru terapi TBC resisten obat yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) beberapa waktu lalu. Dalam keterangan tertulis 2 Mei 2022, WHO mengeluarkan panduan terbaru terapi TBC resisten obat. Pembaruan ini termasuk durasi terapi yang lebih singkat, yakni enam bulan, untuk TBC resisten obat dan TBC resisten rifampisin dengan atau tanpa resisten terhadap florokuinolon serta alternatif terapi sembilan bulan untuk semua kasus TBC resisten obat ataupun TBC resisten rifampisin.
Dalam laporan 2021, WHO menyampaikan, selama tahun 2020 lebih banyak orang meninggal karena TBC, yakni sekitar 1,5 juta orang, dibandingkan tahun 2019 yang sebanyak 1,4 juta orang. WHO juga memperkirakan ada sekitar 4,1 juta orang saat ini yang menderita TBC, tetapi belum terdiagnosis atau belum secara resmi melaporkan kepada otoritas nasional. Angka ini naik dari 2,9 juta pada 2019.