Tuberkulosis dapat dicegah dan diobati. Namun, hingga kini kasus masih banyak dan mematikan. Peningkatan akses layanan kesehatan, investasi sumber daya, dukungan, dan perawatan menjadi kunci eliminasi.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
KOMPAS/REGINA RUKMORINI
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menjalani sesi wawancara dengan tenaga kesehatan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/3/2019). Wawancara ini adalah simulasi dari program investigasi kontak untuk mengungkap kasus TBC di masyarakat.
Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang paling mematikan. Menurut Global Tuberculosis Report dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2018, dua pertiga penderita TBC dunia berada di delapan negara. India yang terbanyak. Disusul China, Indonesia, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan.
Penyakit akibat Mycobacterium tuberculosis ini paling banyak terjadi di paru-paru. Tapi, bisa juga di tulang, kelenjar getah bening, selaput paru, otak, saluran kencing, dan reproduksi. TBC menular lewat udara, ketika orang terhirup bakteri dalam percikan cairan saat penderita bersin atau batuk.
WHO mencatat, setiap hari, lebih dari 4.100 orang meninggal dan hampir 30.000 orang jatuh sakit karena TBC meski penyakit itu dapat dicegah dan diobati.
Pandemi Covid-19 mengancam kemajuan penanggulangan TBC. Tahun 2020, untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, kematian akibat TBC meningkat. Lebih lanjut, konflik di Eropa Timur, Afrika, dan Timur Tengah memperburuk situasi bagi populasi rentan.
Kementerian Kesehatan mengakui, akibat pandemi, deteksi dan cakupan pengobatan TBC di Indonesia menurun. Pada 2019, tercatat jumlah kasus yang ditemukan ada 562.000 orang dengan cakupan pengobatan 67 persen. Namun, tahun 2021, kasus yang ditemukan turun menjadi 402.502 orang dengan cakupan pengobatan 49 persen.
Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan beban TBC tertinggi di dunia dengan jumlah kasus sekitar 845.000 per tahun. Indonesia berkomitmen mencapai eliminasi TBC pada 2030 dengan menurunkan insiden TBC menjadi 65 per 100.000 penduduk.
TBC bersama HIV dan malaria, menurut WHO, adalah penyakit akibat kemiskinan dan marginalisasi. Korban terbanyak adalah mereka yang berada di komunitas yang menghadapi berbagai hambatan terkait hak asasi manusia dan jender untuk mengakses layanan kesehatan.
Dengan mengadopsi Agenda PBB untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dunia berkomitmen mengakhiri epidemi HIV, TBC, dan malaria pada 2030. Kesetaraan kesehatan sangat penting untuk mencapai itu. Menyediakan akses yang sama ke layanan kesehatan merupakan langkah penting dalam mengatasi ketidaksetaraan.
Untuk mengimbangi ketidaksetaraan akibat kemiskinan, marjinalisasi, dan diskriminasi, pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu memprioritaskan sumber daya serta memberikan layanan lebih banyak.
Namun, akses sama ke layanan kesehatan sering kali tidak cukup. Untuk mengimbangi ketidaksetaraan akibat kemiskinan, marjinalisasi, dan diskriminasi, pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu memprioritaskan sumber daya serta memberikan layanan lebih banyak.
Untuk itu, pada Hari Tuberkulosis Sedunia, 24 Maret, dengan tema ”Invest to End TB. Save Lives” atau ”Berinvestasi untuk Mengakhiri TBC. Selamatkan Hidup”, WHO menyerukan agar negara-negara segera memulihkan akses layanan yang terganggu akibat pandemi Covid-19 bagi semua penderita TBC, terutama anak-anak dan remaja. Juga meningkatkan investasi sumber daya, dukungan, perawatan, dan informasi untuk memerangi tuberkulosis.
Tanpa itu, target eliminasi TBC pada 2030 akan sulit tercapai. Banyaknya warga yang sakit akan membebani dan melemahkan kondisi sosial ekonomi negara.