Ketimpangan Global Membuat Dunia Gagal Atasi Tuberkulosis
Tuberkulosis menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia dengan lebih dari 4.100 orang meninggal per hari. Kurangnya dukungan komunitas global berkontribusi terhadap sulitnya eliminasi penyakit ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Tokoh karakater Star Wars seperti Stroomtrooper menghibur para pasien di Rumah Sakit Siloam TB Simatupang, Jakarta, Sabtu (6/4/2019). Kegiatan dalam rangkaian peringatan Hari Kesehatan Dunia ini bertujuan menambah kegembiraan dan memotivasi para pasien, terutama anak-anak, untuk lebih bersemangat mencapai kesembuhan dan mengurangi rasa takut terhadap rumah sakit.
JAKARTA, KOMPAS — Tuberkulosis masih menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia dengan lebih dari 4.100 orang meninggal per hari. Kurangnya dana dan dukungan komunitas global berkontribusi terhadap sulitnya eliminasi penyakit yang terutama terjadi di negara miskin dan berkembang.
”Sejak sebelum pandemi, sudah terjadi diskriminasi perhatian dan prioritas dalam penanganan kesehatan global, yang menyebabkan banyak penyakit menular sulit dieliminasi. TBC (tuberkulosis) salah satunya karena penyakit ini tidak lagi menjadi masalah di negara maju sehingga dukungan dana dan teknologi untuk mengatasinya terbatas,” kata peneliti kesehatan global dari Griffith University, Dicky Budiman, Selasa (22/3/2022).
Menurut Dicky, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berupaya menjadi penjaga gawang kesehatan global dengan adanya International Health Regulations (IHR) dan penetapan target global untuk penanganan penyakit. ”Namun, dalam kenyataannya, program yang ada mengikuti uang, dan ini tergantung donasi negara maju, yang selama ini juga bias kepentingan nasionalnya,” katanya.
Dicky mencontohkan, vaksin TBC, malaria, atau ebola sangat lambat perkembangannya dibandingkan dengan vaksin Covid-19. Penyebabnya, antara lain, penyakit menular ini tidak menjadi masalah di negara-negara maju. ”Faktor kepemimpinan dalam tataran global menjadi penting. Di sini, presidensi G20 bisa berperan untuk mengurangi kesenjangan dalam penanganan penyakit,” ucapnya.
Kekurangan dukungan
Pada Hari Tuberkulosis Sedunia yang jatuh pada 24 Maret 2022, WHO menyerukan dukungan sumber daya, dana, perawatan, dan informasi untuk memerangi penyakit ini. Hal ini karena pengeluaran global untuk diagnosis, pengobatan, dan pencegahan TBC kurang dari setengah dari target global sebesar 13 miliar dollar AS per tahun pada 2022.
Sejak sebelum pandemi, sudah terjadi diskriminasi perhatian dan prioritas dalam penanganan kesehatan global, yang menyebabkan banyak penyakit menular sulit dieliminasi.
Untuk penelitian dan pengembangan, diperlukan tambahan 1,1 miliar dollar AS per tahun. ”Dukungan investasi diperlukan untuk mengembangkan dan memperluas akses ke layanan dan alat paling inovatif untuk mencegah, mendeteksi, dan mengobati TB sehingga dapat menyelamatkan jutaan nyawa setiap tahun, mempersempit kesenjangan, dan mencegah kerugian ekonomi yang besar,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam siaran pers.
Menurut laporan WHO, kemajuan dalam mencapai target mengatasi TB 2022 yang telah ditetapkan dalam deklarasi politik Pertemuan Tingkat Tinggi PBB menghadapi tantangan terutama karena kurangnya dana. Antara 2018-2020, hanya 20 juta orang yang dijangkau dengan pengobatan TBC, hanya 50 persen dari target. Selama periode yang sama 8,7 juta orang diberikan pengobatan pencegahan TB, merupakan 29 persen dari target 30 juta untuk 2018-2022.
Situasi ini bahkan lebih buruk bagi anak-anak dan remaja dengan TBC. Pada tahun 2020, diperkirakan 63 persen anak-anak dan remaja di bawah 15 tahun dengan TBC tidak dijangkau dengan atau tidak dilaporkan telah mengakses layanan diagnosis dan pengobatan TBC.
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA
Pemberian obat khusus bagi pasien yang menderita tuberkulosis resisten obat di Puskesmas Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (18/3/2020).
Proporsinya bahkan lebih tinggi, yaitu 72 persen untuk anak di bawah 5 tahun. Hampir dua pertiga anak di bawah usia 5 tahun yang memenuhi syarat tidak menerima pengobatan pencegahan TBC dan oleh karena itu tetap berisiko sakit.
Laporan WHO menyebutkan, pandemi Covid-19 yang memicu peningkatan penularan TBC di rumah tangga, pencarian perawatan yang lebih rendah, dan akses ke layanan kesehatan.
Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, kematian akibat TBC meningkat pada tahun 2020. Konflik yang sedang berlangsung di Eropa Timur, Afrika, dan Timur Tengah memperburuk situasi bagi populasi yang rentan.
Anak-anak dan remaja merupakan kelompok yang paling rentan terdampak dengan situasi ini. “Anak-anak dan remaja dengan TBC tertinggal dari orang dewasa dalam akses ke pencegahan dan perawatan TBC,” kata Direktur Program TB Global WHO Tereza Kasaeva.
Perbarui pedoman
Terkait hal ini, menurut Kasaeva, WHO telah memperbarui pedoman untuk pengelolaan TBC pada anak dan remaja meliputi diagnosis, pengobatan, dan pencegahan. Dalam rekomendasi terbaru ini, pengujian diagnostik telah diperluas untuk mencakup spesimen non-invasif, seperti tinja. Dalam hal ini, diagnostik molekuler cepat direkomendasikan sebagai tes awal TBC pada anak dan remaja.
Pedoman terbaru ini merekomendasikan pengurangan durasi perawatan TBC terhadap anak-anak dan remaja. Mereka yang mengalami TBC ringan cukup dirawat empat bulan, bukan lagi enam bulan, serta meningitis TBC direkomendasikan rejimen enam bulan dari sebelumnya 12 bulan.
Rekomendasi yang didasarkan dari hasil uji coba internasional yang dipimpin University College London (UCL) dan dipublikasikan di The New England Journal of Medicine pada Kamis (10/3/2022) ini diharapkan dapat mengurangi biaya perawatan TBC untuk anak-anak, remaja dan keluarga mereka.
Selain itu, dua obat TBC terbaru, bedaquiline dan delamanid, yang ditujukan untuk mengobati pasien yang resistan terhadap obat sekarang juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak-anak dari segala usia. Hal ini memungkinkan anak-anak dengan TBC yang resistan terhadap obat untuk menerima rejimen pengobatan oral tanpa memandang usia mereka.
Model baru perawatan TBC yang terdesentralisasi dan terintegrasi juga direkomendasikan, yang akan memungkinkan lebih banyak anak dan remaja untuk mengakses perawatan TBC atau pengobatan pencegahan lebih dekat dengan tempat tinggal mereka.