Stroke Berulang Bisa Terjadi pada Pasien dengan Hipertensi
Pasien hipertensi harus waspada dengan risiko terjadinya stroke berulang. Tekanan darah harus dipastikan terkontrol. Risiko stroke banyak ditemukan di pagi hari.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stroke merupakan komplikasi penyakit yang patut diwaspadai oleh pasien hipertensi. Risiko stroke semakin tinggi jika tekanan darah tidak terkendali. Bahkan, risiko stroke berulang di kemudian hari patut diwaspadai.
”Semakin lama risiko stroke bisa semakin besar bertahun-tahun kemudian. Risiko stroke berulang ini salah satunya hipertensi, usia, kondisi sosial ekonomi, gangguan irama jantung, dan diabetes,” ujar Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH) Eka Harmeiwaty yang juga dokter spesialis saraf RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita di Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Dari data yang dipaparkan Eka disebutkan, risiko stroke berulang sebesar 1,2 persen pada 30 hari pertama. Risiko tersebut semakin besar di kemudian hari. Bahkan, risiko stroke berulang bisa mencapai 51,3 persen setelah 10 tahun kejadian stroke pertama.
Semakin lama risiko stroke bisa semakin besar bertahun-tahun kemudian. Risiko stroke berulang ini salah satunya yakni hipertensi, usia, kondisi sosial ekonomi, gangguan irama jantung, dan diabetes.
Oleh sebab itu, ia menyampaikan, pengendalian pada faktor risiko sangat penting. Upaya untuk menurunkan tekanan darah menjadi langkah yang efektif untuk mencegah sekunder stroke.
Dengan menjaga tekanan darah tetap terkontrol, risiko stroke bisa berkurang 1,9 persen. Sebaliknya, jika tekanan darah sistolik naik, risiko stroke akan meningkat. Setiap kenaikan tekanan darah sistolik 2 milimeter air raksa (mmHg) maka risiko stroke akan meningkat 10 persen.
Eka mengatakan, pasien hipertensi dapat mengontrol tekanan darah melalui intervensi gaya hidup. Hal ini, antara lain, bisa dilakukan dengan meningkatkan aktivitas fisik, mencegah stres, mencegah obesitas, tidur cukup, menghindari gangguan tidur, tidak merokok, serta mencegah lingkungan dengan polusi udara dan kebisingan. Riset telah membuktikan kondisi-kondisi tersebut dapat meningkatkan risiko hipertensi.
Intervensi lain yang juga penting adalah mengurangi asupan garam dan meningkatkan konsumsi kalium. Garam dapat memicu terjadinya hipertensi. Sementara kalium dari sayur dan buah-buahan dapat membantu mengontrol tekanan darah. Ironisnya, sebesar 95,5 persen penduduk Indonesia kurang makan sayur dan buah, sedangkan 52,7 persen penduduk mengonsumsi garam lebih dari batasan satu sendok teh atau 2.000 miligram per hari.
Selain itu, Eka menambahkan, konsumsi obat antihipertensi secara rutin dan teratur juga efektif menurunkan tekanan darah agar bisa mencapai target yang direkomendasikan. ”Pengobatan hipertensi dapat menurunkan risiko stroke hingga 32 persen,” katanya.
Ia mengatakan, hal penting lainnya yang juga patut diwaspadai adalah mencegah meningkatnya tekanan darah pada pagi hari. Sebagian besar kasus stroke terjadi pada pagi hari. Kejadian ini terutama yang terkait dengan kondisi hipertensi.
Karena itu, pasien hipertensi diharapkan bisa menjaga agar tekanan darah tidak meningkat di pagi hari. Konsultasi dengan dokter amat dibutuhkan. Selain itu, segera ke fasilitas kesehatan apabila gejala stroke muncul.
Selain gejala yang khas, seperti rasa kebas di bagian sebelah tubuh, bicara pelo, kesemutan, dan pusing seperti berputar, gejala yang bisa terjadi pada stroke adalah terjadinya gangguan kognitif. Hal itu tergantung pada lokasi penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah.
”Masyarakat, terutama pasien hipertensi, harus waspada dengan bahaya stroke. Stroke dapat menyebabkan kematian, kecacatan fisik, gangguan fungsi kognitif, dan perubahan perilaku yang permanen,” ujar Eka.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, proporsi stroke cukup banyak ditemukan pada kelompok usia produktif. Prevalensi stroke pada usia 35-44 tahun sebesar 6,9 persen. Sementara proporsi stroke pada usia 45-54 tahun mencapai 21,8 persen. Proposi kasus stroke pada usia 55-64 tahun sebesar 33,3 persen.
Secara terpisah, Ketua Tim Kerja Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Benget Saragih menuturkan, penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian dan disabilitas tertinggi di Indonesia. Tekanan darah tinggi menjadi faktor risiko terbesar yang menjadi beban penyakit di dunia.
Di Indonesia, tren hipertensi meningkat hampir 10 persen dari 2013 ke 2018. Sementara persentase penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian terbanyak di Indonesia adalah stroke (19,4 persen), kardiovaskuler (14,4 persen), kanker (13,5 persen), serta diabetes melitus dan komplikasinya (6,2 persen).
Benget menyampaikan, penyakit tidak menular juga berkontribusi sebagai beban pembiayaan kesehatan. Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2020, biaya kesehatan terbesar ditemukan untuk layanan kardiovaskuler (Rp 8,2 triliun), kanker (Rp 3,1 triliun), stroke (2,1 triliun), dan gagal ginjal (Rp 1,9 triliun),
Ia menuturkan, upaya pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular menjadi salah satu fokus intervensi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Itu dilakukan melalui upaya deteksi dini faktor risiko serta meningkatkan upaya pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular.
”Kebijakan dan strategi pengendalian penyakit tidak menular akan berpatok pada empat hal utama, yakni promosi kesehatan melalui perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat, deteksi dini untuk mengidentifikasi dan mengintervensi ptm sejak dini, perlindungan khusus lewat vaksinasi, serta penanganan kasus di fasyankes sesuai standar,” tutur Benget.