Masyarakat usia muda harus waspada dengan ancaman penyakit stroke. Gaya hidup yang tidak sehat, seperti kebiasaan makanan cepat saji, kurang gerak, dan kurang istirahat, bisa memicu terjadinya penyakit tidak menular itu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stroke tidak lagi identik dengan penyakit yang diderita orang usia lanjut. Kasus stroke pada usia muda kini terus meningkat. Gaya hidup menjadi pemicu utamanya.
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar, prevalensi kasus stroke berdasarkan diagnosis meningkat dari 7,0 kasus per 1.000 penduduk pada 2013 menjadi 10,9 kasus per 1.000 penduduk pada 2018. Peningkatan kasus yang signifikan ditemukan pada usia muda.
Prevalensi stroke meningkat tiga kali lipat pada kelompok usia 15-24 tahun. Pada kelompok usia 25-35 tahun, kasus yang dilaporkan juga meningkat lebih dari dua kali lipat dari 0,6 kasus per 1.000 penduduk pada 2013 menjadi 1,4 kasus per 1.000 penduduk pada 2018.
Pengajar Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, Mohammad Kurniawan, di Jakarta, Rabu (8/6/2022), menyampaikan, kasus stroke yang terjadi pada usia muda bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Pada usia di bawah 20 tahun, stroke bisa terjadi akibat genetik, gangguan koagulasi, inflamasi atau peradangan, serta infeksi.
”Namun, pada usia 20-30 tahun ke atas, kasus stroke bisa terjadi karena proses perubahan gaya hidup, seperti banyak makanan cepat saji serta kurang gerak dan olahraga. Kebiasaan tersebut dapat memicu terjadinya gangguan metabolis, seperti diabetes dan hipertensi yang menyebabkan stroke,” katanya.
Adapun faktor risiko stroke antara lain adanya riwayat stroke sebelumnya, hipertensi, memiliki penyakit jantung, diabetes melitus, obesitas atau kegemukan, dan kurang gerak. Selain itu, faktor risiko lainnya, merokok, konsumsi alkohol, dan penggumpalan darah.
Kurniawan menuturkan, waktu istirahat yang kurang juga harus menjadi perhatian sebagai faktor risiko terjadinya stroke. Pada orang yang kurang istirahat, tekanan darah dapat meningkat. Apabila tekanan darah meningkat sangat tinggi, pembuluh darah pada otak dapat pecah sehingga dapat menyebabkan stroke. Itu terutama pada orang dengan kelainan bawaan pada pembuluh darah otak, seperti aneurisma.
Pada usia 20-30 tahun ke atas, kasus stroke bisa terjadi karena proses perubahan gaya hidup, seperti banyak makanan cepat saji serta kurang gerak dan olahraga.
”Patut diwaspadai pula pada orang yang biasa begadang bahkan tidak tidur sampai beberapa hari. Biasanya, orang yang begadang akan mengonsumsi minuman berenergi dengan tinggi kafein. Padahal, kafein tinggi dapat memicu juga terjadinya darah tinggi,” katanya.
Kurniawan menambahkan, masyarakat yang memiliki faktor risiko stroke, tidak mengenal usia, harus lebih berhati-hati. Gejala dan tanda dari stroke pun harus dipahami dengan baik karena biasanya gejala stroke muncul tiba-tiba dan harus segera ditangani.
Gejala tersebut umumnya berupa gangguan fungsi otak, antara lain separuh badan yang lumpuh atau kebas dan baal, adanya rasa kesemutan di separuh badan, terjadi gangguan keseimbangan, serta terjadi gangguan penglihatan. Gejala lain yang juga perlu diwaspadai adalah senyum yang tidak simetris, berbicara pelo, tersedak, dan sulit menelan air minum secara tiba-tiba.
”Jika gejala itu terjadi jangan menunggu lama, segera bawa ke rumah sakit untuk memastikan apakah gejala tersebut stroke atau bukan. Apabila terdiagnosis sebagai stroke, pengobatan bisa cepat diberikan. Penyumbatan yang terjadi harus diatasi kurang dari delapan jam sejak gejala muncul,” kata Kurniawan.
Sesuai dengan definisi yang dirumuskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stroke merupakan gangguan pembuluh darah di otak yang terjadi secara tiba-tiba. Gangguan ini bisa terjadi karena sumbatan ataupun pendarahan.
Deteksi dini
Pelaksana tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Elvieda Sariwati menuturkan, permasalahan yang ditemui di masyarakat saat ini adalah sebagian besar penderita penyakit tidak menular, seperti diabetes dan hipertensi yang menjadi faktor risiko stroke, tidak tahu status kesehatannya.
Hanya 3 dari 10 penderita penyakit tidak menular yang mengetahui penyakit yang dimiliki. Sementara itu, dari tiga orang yang mengetahui penyakitnya, hanya satu yang berobat secara teratur. Padahal, penyakit tidak menular perlu dikontrol dengan pengobatan rutin. Jika tidak, komplikasi lebih berat seperti stroke bisa terjadi.
Oleh sebab itu, Elvieda menyampaikan, pemerintah terus berupaya meningkatkan promosi dan edukasi terkait pencegahan penyakit tidak menular. Ajakan untuk deteksi dini pun semakin digencarkan.
Pada Mei-Juni 2022, gerakan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular semakin masif. Deteksi dini didorong dengan sistem jemput bola sehingga tenaga kesehatan tidak hanya menunggu masyarakat untuk melakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan.
”Untuk deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular, seperti obesitas, hipertensi, dan diabetes melitus, sudah harus dilakukan mulai usia 15 tahun. Pemeriksaan dapat dilakukan di puskesmas juga FKTP lain yang bekerja sama dengan BPJS tanpa pungutan biaya,” katanya.
Elvieda menambahkan, kurangnya keterlibatan lintas sektor menjadi tantangan yang dihadapi dalam upaya pengendalian penyakit tidak menular. Perubahan gaya hidup yang lebih sehat perlu didukung dengan fasilitas yang memadai, seperti trotoar yang nyaman dan aman untuk pejalan kaki, kawasan tanpa rokok yang diperluas, tersedianya tempat dan fasilitas olahraga, serta ketersediaan makanan yang rendah gula, garam, dan lemak.
”Kesadaran masyarakat, khususnya yang merasa sehat untuk melakukan deteksi dini faktor risiko PTM (penyakit tidak menular), juga masih perlu ditingkatkan. Faktor risiko yang makin besar menuntut masyarakat rutin melakukan deteksi dini, termasuk pada usia muda,” tuturnya.