Buku merekam jejak perjalanan bangsa melalui buah pemikiran tokoh-tokohnya. Membaca buku menjembatani generasi masa kini menjelajah masa lalu dengan berbagai keteladanan yang masih relevan diterapkan saat sekarang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
Buku merekam jejak perjalanan bangsa melalui buah pemikiran tokoh-tokohnya. Membaca buku menjembatani generasi masa kini menjelajah masa lalu dengan berbagai keteladanan yang masih relevan diterapkan saat sekarang.
Prasetya Budi (28) tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981), ulama dan sastrawan asal Sumatera Barat. Namun, di ruang pameran lantai empat Perpustakaan Nasional RI, Selasa (30/8/2022), ia bisa mengenal karya-karya penulis favoritnya yang populer dengan nama Buya Hamka tersebut.
Di antara pengunjung pameran yang hilir mudik, Prasetya betah berdiri di depan etalase yang memuat buku-buku Hamka. Mulai dari tema agama, politik, hingga sastra.
Tidak kurang dari 30 buku karangan Hamka dipajang dalam Pameran Buku dan Komik Langka tersebut. Di pameran ini juga terdapat buku-buku lawas karya Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer. Ada juga buku foto fotografer profesional pertama Indonesia, Kassian Cephas, serta sejumlah majalah dan koran yang terbit sebelum Indonesia merdeka.
”Enggak menyangka bisa melihat buku-buku Buya Hamka sebanyak ini. Selama ini cuma tahu judulnya, tetapi belum pernah lihat fisiknya,” ujarnya.
Sebelum berkunjung ke pameran itu, Prasetya sudah membaca beberapa buku Hamka, di antaranya Merantau ke Deli dan novel Terusir. Ia mengagumi Hamka yang tak hanya piawai dalam menulis, tetapi juga sebagai ulama karismatik dan kiprahnya di dunia politik.
Tak puas hanya melihat, pengajar di Kampung Inggris Pare, Kediri, Jawa Timur, itu juga membeli buku Hamka berjudul Falsafah Hidup seharga Rp 100.000. Menurut dia, keteladanan Hamka masih relevan hingga sekarang.
”Hamka pernah dipenjara di masa pemerintahan Bung Karno. Namun, saat Bung Karno wafat, Hamka bersedia menjadi imam shalat jenazah Bung Karno. Tidak ada dendam,” ujar laki-laki asal Serdang Bedagai, Sumatera Utara, itu.
Di pameran ini juga terdapat buku-buku lawas karya Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer. Ada juga buku foto fotografer profesional pertama Indonesia, Kassian Cephas, serta sejumlah majalah dan koran yang terbit sebelum Indonesia merdeka.
Kesempatan mengenal pemikiran tokoh idola juga dialami Burhan (32), pengunjung asal Bogor, Jawa Barat, saat melihat deretan buku karya Tan Malaka (1847-1949). Beberapa buku yang dipamerkan di antaranya Thesis terbitan (1935), Gerpolek (1939), Dari Penjara ke Penjara (1941), Madilog (1944), dan Massa Aksi (1948).
Burhan menuturkan, Tan Malaka ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, konsep rancangan negara republik telah diulas dalam bukunya, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925.
Akan tetapi, tidak banyak generasi muda yang mengenal sosok Tan Malaka. Menurut dia, hal itu tidak terlepas dari propaganda politik Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun.
Apalagi, Tan Malaka pernah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia yang diberangus Orde Baru. ”Padahal, negara ini dibangun oleh para pendiri dengan beragam ideologi. Mereka adalah pemikir-pemikir hebat yang dibuktikan lewat karya buku-bukunya,” katanya.
Pameran buku tersebut melibatkan 30 pedagang buku lawas dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Pameran yang menyertakan 2.000-an buku itu berlangsung pada 29-31 Agustus 2022.
Deni Rachman, peserta pameran yang juga pemilik kios Lawang Buku asal Bandung, mengatakan, selain memperkenalkan buku-buku lawas, kegiatan itu juga menjadi ajang bertukar ide dan gagasan di antara komunitas. ”Harapannya, pameran tidak berhenti di sini. Semoga tahun-tahun mendatang digelar pameran dengan tema-tema lebih spesifik,” ujarnya.
Pada pameran itu, Deni membawa 300-an buku. Beberapa bukunya dicetak pada 1800-an, seperti buku Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi (1882) dan Kitab Suci, Alkitab berbahasa Sunda (1891).
Penggagas Pameran Buku & Komik Langka, Harri Gieb, mengatakan, salah satu tujuan pameran itu adalah mengenalkan pemikiran tokoh-tokoh bangsa melalui buku lawas kepada generasi muda. Ia mengatakan, beberapa buku yang dipamerkan pernah dilarang beredar, seperti buku karya Pramoedya Ananta Toer pada masa Orde Baru.
”Negara ini tidak hanya diperjuangkan dengan bambu runcing, tetapi juga dibangun oleh perbedaan pendapat dan pemikiran hebat tokoh-tokoh bangsa yang diarsipkan dalam buku. Namun, perbedaan itu tak membuat mereka dendam, tetapi tetap bahu-membahu membangun bangsa. Ini sangat layak diteladani generasi sekarang,” ujarnya.