Jejak Tionghoa dalam Kemerdekaan Indonesia di Museum Benteng Heritage
Sebelum Indonesia merdeka pada 77 tahun lalu, orang-orang Tionghoa telah membaur dalam perjalanan bangsa. Jejaknya masih bisa ditelusuri hingga sekarang sebagai pengingat untuk merawat keberagaman.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Sebelum Indonesia merdeka pada 77 tahun lalu, orang-orang Tionghoa telah ikut mewarnai perjalanan bangsa. Mereka juga berperan memperjuangkan kemerdekaan. Jejaknya masih bisa ditelusuri hingga sekarang sebagai pengingat untuk merawat keberagaman.
Setelah menembus kesemrawutan Pasar Lama Tangerang, Banten, sebanyak 21 guru dari Yayasan Cahaya Guru (YCG) tiba di Museum Benteng Heritage, Sabtu (27/8/2022). Lima jam di sana membawa mereka menelusuri jejak Tionghoa di Tangerang yang pertama kali mendarat di Teluk Naga pada 1407.
Bangunan dua lantai itu diperkirakan dibangun pada abad ke-17. Museum tersebut selesai direstorasi dan diresmikan pada 2011.
Museum menyimpan banyak cerita, mulai dari kisah armada Cheng Ho (1405-1433) yang berlayar dengan rombongan ratusan kapal ke Nusantara hingga piringan hitam rekaman pertama lagu ”Indonesia Raya”.
Tegel di lantai satu masih asli dari abad ke-17. Sementara di lantai dua terhadap relief kayu yang mengisahkan kegagahan Jenderal Kwang Kong yang adil, setia, jujur, dan suka menolong.
Kekayaan pengetahuan di museum itu membuat guru-guru YCG berulang kali tertegun. Bahkan, saat pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim, memutar piringan hitam lagu ”Indonesia Raya”, para guru terdiam sejenak dan kemudian menyanyikan sepotong bait lagu kebangsaan itu.
Udaya juga bercerita tentang empat orang Tionghoa yang hadir dalam ikrar Sumpah Pemuda 1928. Mereka adalah Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie.
Pada 1927, Wage Rudolf Supratman meminta Yo Kim Tjan (Johan Kertajasa) untuk merekam lagu ”Indonesia Raya”. Lagu tersebut direkam dalam dua versi. Pertama, Supratman bermain biola sambil menyanyikan lagu ciptaannya tersebut. Kedua, rekaman versi keroncong.
Udaya berharap, kehadiran museum itu dapat menambah pengetahuan tentang jejak orang Tionghoa dan kontribusinya bagi Indonesia. Hal itu dinilai penting untuk memperkuat integrasi kebangsaan.
”Integrasi pikiran, perbuatan, kesetiaan, dan tanggung jawab demi kemajuan Indonesia. Negara adalah rumah bangsa. Tanamkanlah kebanggaan menjadi Indonesia,” ujarnya.
Rombongan guru YCG juga menggambarkan kemajemukan bangsa. Mereka berasal dari sejumlah daerah, di antaranya Sumatera Utara, Banten, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Anggota YCG, Uswatun Khasanah, mengatakan, kunjungan ke Museum Benteng Heritage menjadi literasi sejarah dalam mengenal jejak masyarakat Tionghoa di Tanah Air, khususnya Tangerang. Tak hanya mendapat pengetahuan, kunjungan itu juga penting merawat toleransi dalam kehidupan berbangsa.
”Bangsa ini merdeka atas kontribusi banyak pihak, bukan hanya satu golongan. Di sini, kita bisa menyaksikan, kemajemukan itu sudah dirawat sejak dulu. Indonesia kuat karena beragam,” ujarnya.
Pemahaman keberagaman sangat penting bagi guru. Hal itu dapat menjadi modal dalam mendidik siswa untuk bersikap toleran terhadap teman-temannya yang berbeda dalam agama, suku, dan daerah asal.
Guru SD Negeri Rawajati 06, Jakarta Selatan, tersebut menuturkan, pemahaman keberagaman sangat penting bagi guru. Hal itu dapat menjadi modal dalam mendidik siswa untuk bersikap toleran terhadap teman-temannya yang berbeda dalam agama, suku, dan daerah asal.
”Kalau siswa tidak toleran, itu berpotensi membuatnya menjadi radikal. Jadi, bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti menghormati perbedaan di antara teman-teman sekelas,” ujar perempuan yang lahir dari ibu berdarah Jawa serta ayah berdarah India dan Arab tersebut.
Kunjungan ke museum itu menjadi pengalaman perdana bagi Golden Simangunsong, guru bahasa Jerman di SMA Katolik Ricci 2 Bintaro, Tangerang Selatan. Pengalaman tersebut memperkaya pengetahuannya. Meskipun bukan guru sejarah, peristiwa masa lampau tetap menarik, terutama terkait perjalanan bangsa.
”Museum ini tidak hanya menyimpan cerita, tetapi juga bukti-bukti dan penelitian dari sumbernya langsung. Hal ini bisa mengikis keraguan tentang kontribusi orang Tionghoa untuk bangsa,” jelasnya.
Golden bergabung bersama YCG sejak 2017. Pengalaman di komunitas itu membantunya mengajarkan menghargai perbedaan kepada siswa-siswanya. Apalagi, siswa di kelasnya terdiri dari banyak agama, mulai dari Katolik, Kristen Protestan, Islam, Buddha, Hindu, Khonghucu, serta penghayat kepercayaan.
Para siswa juga berasal dari berbagai suku bangsa. Ia tidak ingin pergaulan anak didiknya terkotak-kotak hanya pada satu suku dan agama.
Oleh karena itu, alumnus Universitas Negeri Medan itu mendidik setiap siswanya bisa mendapatkan kesempatan yang sama. Dalam memimpin doa, misalnya, siswa dari semua agama dan penghayat kepercayaan mendapat kesempatan serupa.
”Berdoanya tetap masing-masing. Tetapi biasanya di kelas ada doa bersama. Jadi, yang memimpin bukan dari satu golongan saja, tetapi memberikan kesempatan yang sama untuk semuanya,” ujar laki-laki berdarah Batak itu.
Hofni Pinehas Tafuli, guru matematika di Jakarta Academics, mengatakan, toleransi dengan mengenal perbedaan diperlukan dalam memperteguh persatuan. Pengalaman kunjungan ke museum tersebut akan diceritakan kepada anak didiknya sehingga semakin memahami perbedaan.
”Kalau kita sudah tahu jadi tidak gampang dihasut. Ini juga penting diketahui siswa. Mungkin dampaknya belum terlihat dalam 1-2 tahun. Namun, hal ini sangat berguna bagi masa depan Indonesia yang toleran,” katanya.
Ketua Dewan Pengurus YCG Henny Supolo Sitepu menuturkan, kunjungan selama lima jam tersebut telah merangkum isu-isu kontekstual dalam diskursus keberagaman. Tak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga mengingatkan hubungan toleran di antara perbedaan yang sudah lama terjalin.
”Supaya terwujud apa yang kita impikan bersama, di setiap fajar, Merah Putih masih ada di depan kita,” ujarnya.