Kontribusi Ekonomi Hijau pada Perbaikan Lingkungan Masih Kurang
Analisis Bappenas, penerapan ekonomi hijau berkontribusi memperbaiki pilar ekonomi dan sosial, tetapi kurang dalam pilar lingkungan. Penerapan ekonomi hijau perlu didukung dengan kebijakan lingkungan yang lebih ambisius.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja menutup batubara asal Kalimantan dengan terpal di Pelabuhan KCN Marunda, Jakarta Utara, Rabu (5/1/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Hasil analisis menunjukkan, penerapan ekonomi hijau berkontribusi memperbaiki pilar ekonomi dan sosial, tetapi masih kurang dalam pilar lingkungan. Guna mengoptimalkan ekonomi hijau, ke depan penerapannya perlu didukung dengan kebijakan lingkungan yang lebih ambisius.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam mengemukakan, Bappenas telah merekam performa ekonomi hijau Indonesia selama periode 2011-2020.
”Bila dilihat tren performa ekonomi hijau ini membaik, tetapi hanya untuk indeks komposit ekonomi dan sosial. Sedangkan pilar lingkungan memiliki indeks komposit terendah,” ujarnya dalam diskusi Think Climate Indonesia (TCI) Forum, di Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Upaya mempercepat target NDC perlu penguatan kapasitas dan kolaborasi riset antara organisasi penelitian non-pemerintah dan lembaga-lembaga.
Dari hasil kajian ini, rendahnya indeks komposit dari pilar lingkungan sebagian besar disebabkan minimnya porsi energi baru terbarukan (EBT) dan tingginya persentase lahan gambut terdegradasi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bauran EBT pada 2021 baru mencapai 11,5 persen.
”Kondisi ini bisa kita pahami karena selama ini pembangunan kita lebih banyak berorientasi pada efisiensi ekonomi dan sosial, sedangkan lingkungan sedikit tertinggal. Hasil perekaman ini hanya sebagai indikasi kalau kita harus banyak melakukan sesuatu dalam konteks isu lingkungan,” ungkap Medrilzam.
Upaya pemerintah dalam mendukung dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) dan mencapai emisi bersih pada 2060 yakni dengan menerapkan kebijakan pembangunan rendah karbon (PRK). Pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim menjadi tulang punggung dalam transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau.
Hasil kajian Bappenas membuktikan kebijakan PRK sebagai tulang punggung ekonomi hijau mampu membawa Indonesia mencapai nol emisi (NZE). Hasil simulasi juga menunjukkan, penerapan PRK akan menghasilkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 6 persen per tahun hingga 2045 dan mempercepat penanggulangan kemiskinan serta memberikan manfaat tambahan lainnya.
Kebijakan PRK untuk mendukung NZE terdiri dari aspek energi, lahan, limbah, dan fiskal. Dari aspek energi di antaranya dengan melakukan efisiensi secara bertahap sebanyak 1-2 persen per tahun, penerapan energi baru terbarukan, serta transisi penuh ke kendaraan listrik dan hidrogen dari bahan bakar minyak.
Dari aspek lahan dan limbah, upayanya dengan mereforestasi hutan, gambut, dan mangrove, mencegah deforestasi, meningkatkan ekosistem sirkular, serta menurunkan produksi limbah cair. Sementara dari aspek fiskal, yaitu menghapus subsidi energi hingga sepenuhnya pada 2030 dan mengimplementasikan pajak karbon.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Selasa (9/8/2022), meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau Indonesia serangkaian forum 3rd DWG Meeting Side Event G20 dengan tema "Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy" di Nusa Dua, Badung, Selasa (9/8/2022).
Guna mencapai masa depan ekonomi hijau, Bappenas juga telah meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau dalam acara G20 side event (acara tambahan) di Bali pada 9 Agustus 2022. Indeks ekonomi hijau ditujukan sebagai alat untuk mengukur progres dan capaian transformasi ekonomi hijau secara nyata, representatif, dan akurat.
Dukungan riset
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), I Wayan Susi Dharmawan, mengatakan, riset dan inovasi terkait perubahan iklim turut berkontribusi dalam mencapai target NDC Indonesia. Riset juga berjalan untuk menjawab permasalahan saat ini dan bagaimana rekomendasi ataupun penanganan perubahan iklim ke depan.
Selama ini, BRIN telah melakukan riset di sektor kehutanan yang berkontribusi dan relevan terhadap capaian NDC. Riset tersebut, antara lain, terkait silvikultur, permodelan pertumbuhan dan hasil, pemuliaan tanaman, pengukuran serapan karbon, biologi molekuler, hingga pengelolaan konservasi tanah dan air.
”Kita mempunyai optimisme dalam konteks penurunan emisi. Dari hasil riset kami, hutan tropis yang dijaga, dilindungi, dan diolah dengan baik dalam jangka waktu 40-45 tahun ke depan kondisinya akan pulih kembali seperti semula,” katanya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Sebagian kawasan mangrove yang kembali direhabilitasi dengan penanaman bibit baru di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Rabu (4/9/2019). Kegiatan penanaman tersebut sebagai upaya konservasi hutan mangrove yang berfungsi untuk melindungi kawasan pesisir.
Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Bejo Untung mengatakan, upaya mempercepat target NDC perlu penguatan kapasitas dan kolaborasi riset antara organisasi penelitian non-pemerintah dan lembaga-lembaga. Di sisi lain, perlu juga memastikan riset-riset terkait perubahan iklim di tingkat mikro untuk memperkuat bukti dan justifikasi dalam perbaikan kebijakan.
Pattiro sebagai salah satu lembaga penelitian non-pemerintah juga fokus melakukan penelitian di sektor kehutanan. Penelitian tersebut berkaitan dengan efektivitas program rehabilitasi hutan dan lahan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan dampaknya bagi masyarakat, khususnya di Kalimantan Timur.
”Hal lain yang perlu dikawal yaitu saat ini merupakan momentum pemerintah sedang menyusun RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) untuk lima tahun ke depan dan RPJPN untuk 30 tahun mendatang,” ucapnya.