Atasi Dampak Perubahan Iklim, Ekonomi Hijau Jadi Solusi
Untuk mengatasi dampak perubahan iklim, ekonomi hijau menjadi pendekatan pembangunan yang mesti diutamakan. Pendekatan ini perlu melibatkan pemerintah pusat dan daerah.
Oleh
MEDIANA, COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi hijau merupakan pendekatan pembangunan yang mesti diutamakan oleh pemerintah untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Peta jalan regulasi ataupun kebijakan pelaksanaannya perlu disusun secara konkret dengan melibatkan pemerintah daerah.
”Krisis iklim merupakan kondisi nyata dan berbagai laporan ilmiah saling menguatkan. Potensinya adalah kepunahan apabila kita tidak mengambil langkah fundamental. Ekonomi hijau saya kira merupakan suatu pilihan yang harus diambil, dirancang dengan cepat, dan peta jalan yang konkret,” ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjutak di sela-sela diskusi Kompas Talks berjudul ”Transisi Menuju Ekonomi Hijau: Praktik dan Eksplorasi”, Rabu (16/3/2022), di Jakarta.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Program Lingkungan (United Nations Environment Programme/UNEP) mendefinisikan ekonomi hijau sebagai ekonomi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan.
Sesuai data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), total bencana sepanjang 2021 mencapai 3.108 kali. Lebih dari 85 persen di antaranya merupakan bencana hidrometeorologi, bencana yang dipengaruhi atau dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim dengan berbagai parameternya.
Berdasarkan studi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia berpotensi mengalami kerugian hingga mencapai Rp 544 triliun pada periode 2020–2024 akibat perubahan iklim. Potensi kerugian ekonomi itu termasuk kerugian akibat kerusakan kapal, kenaikan muka air laut, menurunnya ketersediaan air, produksi padi, dan peningkatan aneka potensi penyakit.
Leonard menjelaskan, transisi energi fosil ke energi terbarukan yang dilakukan secepat-cepatnya adalah intisari untuk mencapai ekonomi hijau. Greenpeace Indonesia memandang pemerintah pusat belum bersungguh-sungguh melakukan transisi energi. Hal ini salah satunya terlihat dari keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dia nilai relatif berpihak kepada industri ekstraktif.
Lebih jauh, dia berpendapat, Indonesia merupakan negara beragam dan sudah seharusnya terdesentralisasi. Desentralisasi pemerintahan yang sekarang sudah berlaku di Indonesia semestinya membuat pemerintah daerah bisa melakukan langkah-langkah progresif yang berpihak kepada ekonomi hijau.
Ekonom senior dan tokoh lingkungan hidup, Emil Salim, mengatakan, sejak revolusi industri pertama tahun 1750 hingga sekarang terjadi perubahan orientasi pembangunan. Alam tidak lagi dilihat sebagai subyek, melainkan sebagai obyek.
Pancasila sebagai dasar negara sebenarnya sejalan dengan gagasan ekonomi hijau. Oleh karena itu, menurut dia, apabila perekonomian Indonesia ingin ke tahap lepas landas, pola pikir Indonesia harus kembali berpihak pada lingkungan berkelanjutan.
”Industri kenyataannya hanya melihat manfaat ekonomi. Masih banyak pencemaran dilakukan. Kebanyakan tidak terlalu mengikuti peraturan analisa dampak lingkungan,” ujar Emil.
Gubernur Bali Wayan Koster menceritakan, misi perekonomian di Bali dibangun dengan berbasis kearifan lokal. Dia menyebutnya sebagai Nangun Sat Kerthi Loka Bali atau enam sumber kesejahteraan manusia, antara lain, menyucikan dan memuliakan laut serta pesisirnya, tumbuh-tumbuhan, dan sumber mata air.
Dengan konsep itu, Pemerintah Provinsi Bali mengembangkan enam sektor unggulan. Misalnya, untuk sektor pertanian di Bali sudah dikeluarkan peraturan daerah tentang pertanian organik, industri kesehatan herbal, dan pemakaian energi terbarukan sebagai sumber energi bersih.
”Hotel dan restoran tidak boleh lagi memakai plastik, seperti sedotan dan gelas plastik, tas kresek, serta styrofoam. Lalu, ada pembatasan pupuk-pupuk kimia dan pestisida. Ke depan pun kami akan melarang otomotif memakai energi fosil,” kata Wayan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Prima Mayaningtyas menjelaskan, penduduk Jawa Barat saat ini mencapai 50 juta atau hampir 20 persen dari total penduduk Indonesia sehingga ini memberikan tekanan terhadap kondisi lingkungan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat fokus mencapai tujuan pembangunan yang selalu fokus ke peningkatan kualitas, daya tampung lingkungan, dan pengendalian dampak perubahan iklim.
Pembangunan rendah karbon di Jawa Barat menyasar ke lima sektor, seperti kehutanan, energi, dan pengolahan limbah. Pemerintah provinsi telah membangun sekitar 303 kampung iklim sejak 2012–2021 dan desa/kampung ekologi yang berbudaya lingkungan. Pemerintah provinsi juga memanfaatkan panel surya dan selalu mendorong cofiring batubara.
Dari sisi pelaku industri, Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan menyebutkan, Xurya telah menginstalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap kepada lebih dari 55 proyek dan sekarang sedang menginstalasi 40 proyek. Proyek yang dia maksud berasal dari pelaku industri, seperti sektor manufaktur, yang sudah sadar pentingnya sumber energi bersih untuk listrik. Proyek-proyek tersebut menyebar di Medan, Palembang, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Makassar.
”Kalau industri mengklaim menerapkan strategi lingkungan berkelanjutan, kita juga harus kritis apa sumber energi listrik yang dia gunakan. Di Indonesia, sumber energi terbarukan untuk pembangkit listrik itu kaya. Namun, pemanfaatannya belum maksimal sementara trennya investasi pembangkit listrik energi terbarukan semakin tak mahal,” katanya.
Co-Founder sekaligus CEO Burgreens dan Green Rebel Helga Angelina Tjahjadi berpendapat, masyarakat sebagai konsumen juga harus diikutsertakan dalam ekonomi hijau. Generasi milenial dan Z merupakan generasi muda yang sudah dan akan merasakan dampak perubahan iklim. Mereka perlu didorong untuk menggunakan bahan pangan yang diproses ramah lingkungan.
Helga memandang, pelaku industri yang sudah terjun menerapkan bisnis ramah lingkungan perlu didukung pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan pengamatannya, di Singapura, usaha-usaha rintisan yang mengembangkan inovasi pangan berbahan tanaman mendapat insentif. Pemerintah Singapura bahkan membiayai sampai 80 persen ongkos ekspansi. Dia harap, Pemerintah Indonesia mencontoh.