Hambatan Transisi Ekonomi Hijau Perlu Segera Diurai
Pembangunan ekonomi hijau dapat memacu pertumbuhan ekonomi rata-rata di angka 6,1-6,5 persen per tahun hingga tahun 2050. Namun, ini baru bisa dicapai bila hambatan implementasi ekonomi hijau dapat diatasi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Transformasi menuju ekonomi hijau menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang sejalan dengan tingginya tingkat kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan. Namun, minimnya kapasitas sumber daya manusia, lambatnya adaptasi teknologi, serta sumbatan aliran investasi menjadi kelindan persoalan yang perlu diurai untuk mempersolid program pembangunan ekonomi hijau di Indonesia.
Dalam peluncuran Indeks Ekonomi Hijau yang bertepatan dengan acara sampingan (side event) Presidensi G20 di Nusa Dua, Bali, Selasa (9/8/2022), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa yang hadir secara virtual mengatakan, negara yang memiliki daya saing tinggi adalah daerah yang juga menjaga keseimbangan ekonomi dan lingkungan.
Keseimbangan tersebut sejalan dengan prinsip utama ekonomi hijau, yakni menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dengan turut menopang kualitas tingkat kesejahteraan sosial dan daya dukung lingkungan. ”Transisi ekonomi hijau bisa dicapai dengan fokus pada peningkatan investasi hijau, mengelola aset dan infrastruktur yang berkelanjutan, memastikan transisi yang adil dan terjangkau, serta memberdayakan sumber daya manusia,” ujar Suharso.
Konsistensi penerapan ekonomi hijau juga menciptakan lapangan kerja bagi 1,8 juta tenaga kerja hingga 2030 yang tersebar di sektor energi, kendaraan elektronik, restorasi lahan, dan sektor limbah. Di sektor lingkungan, sebanyak 3,2 juta hektar hutan primer terlindungi ditambah dengan peningkatan luas hutan mangrove menjadi 3,6 juta hektar pada 2060.
Berdasarkan kajian Bappenas, upaya transisi menuju ekonomi hijau di Indonesia dapat memberikan beragam manfaat. Di antaranya pertumbuhan ekonomi rata-rata pada kisaran angka 6,1-6,5 persen per tahun hingga tahun 2050; serta terselamatkannya 87-96 miliar ton emisi gas rumah kaca pada rentang 2021-2060.
Selain itu, konsistensi penerapan ekonomi hijau juga menciptakan lapangan kerja bagi 1,8 juta tenaga kerja hingga 2030 yang tersebar di sektor energi, kendaraan elektronik, restorasi lahan, dan sektor limbah. Terkait lingkungan, sebanyak 3,2 juta hektar hutan primer dapat terlindungi, ditambah dengan peningkatan luas hutan mangrove menjadi 3,6 juta hektar pada 2060.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam mengungkapkan, potensi-potensi ekonomi, sosial, dan lingkungan baru akan dinikmati Indonesia selama tantangan pembiayaan, sumber daya manusia, dan teknologi dalam implementasi pembangunan ekonomi hijau dapat diatasi.
Ia memperhitungkan, untuk mencapai target nol emisi karbon net pada 2060, setidaknya terdapat kebutuhan investasi yang besarnya setara dengan 3 persen hingga 5 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Keterlibatan sektor swasta diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ini mengingat kemampuan fiskal negara sangat terbatas.
”Tidak ada satupun negara di dunia mampu bertransformasi menuju ekonomi hijau yang murni menggunakan kapasitas fiskal mereka tanpa dukungan investasi dari sektor swasta,” ujarnya.
Regulasi menjadi kunci utama untuk membuka gerbang investasi hijau di Indonesia. Medrilzam menilai dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja yang mendorong kemudahan dalam berinvestasi turut mendukung pengembangan investasi hijau dan ramah lingkungan di Indonesia.
Selain itu, insentif secara bertahap akan digelontorkan oleh pemerintah sebagai kompensasi peralihan penggunaan bahan baku yang sebelumnya tidak ramah lingkungan menjadi bahan baku lebih ramah lingkungan secara masif. Bentuk insentif, lanjut Medrilzam, dapat berkaitan dengan finansial maupun non-finansial.
Pembagian beban
Selain membuka kran pembiayaan, peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia untuk sektor-sektor ekonomi hijau juga menjadi perhatian pemerintah. Aktivitas ekonomi maupun kegiatan produksi yang rendah karbon membutuhkan keterampilan khusus dari para tenaga kerja.
Beban untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja juga akan dibagi pemerintah dengan industri, mengingat ke depan permintaan pasar untuk produk-produk ramah lingkungan akan semakin besar. Oleh karena itu, pelaku industri juga secara bertahap perlu meningkatkan keahlian tenaga kerja mereka agar dapat memenuhi kebutuhan pasar.
“Kami sekarang mulai berkoordinasi dengan BPS (Badan Pusat Statistik) dan Kemenaker (Kementerian Tenaga Kerja) agar persoalan peningkatan keterampilan tenaga kerja bisa dimulai. Jangan sampai green jobs sudah menjamur tetapi tenaga kerja belum siap,” ujarnya.
Permintaan pasar untuk produk-produk ramah lingkungan akan semakin besar. Oleh karena itu, pelaku industri juga secara bertahap perlu meningkatkan keahlian tenaga kerja mereka agar dapat memenuhi kebutuhan pasar.
Kompetensi sumber daya manusia yang berdaya saing dan produktivitas ekonomi, lanjut Medrilzam, menjadi salah satu bagian transformasi ekonomi menuju pembangunan ekonomi hijau. Apabila tenaga kerja tidak turut bertransformasi ke arah ekonomi hijau, terdapat potensi kebutuhan pasar tenaga kerja di Indonesia akan diisi oleh pekerja-pekerja asing.
Adapun untuk menopang aktivitas ekonomi hijau, dibutuhkan dukungan teknologi ramah lingkungan. Saat ini di dalam negeri, produksi teknologi hijau secara massal masih terbentur pada tingkat harga yang cenderung mahal.
Tantangan lain yang perlu dilalui saat ini, menurut Medrilzam, adalah bagaimana caranya agar pengembangan teknologi hijau bisa dilakukan di dalam negeri sehingga nantinya Indonesia tidak hanya menjadi pasar impor produk-produk teknologi ramah lingkungan.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Enny Sudarmonowati menilai, kreativitas merupakan modal utama dalam pengembangan teknologi yang mendukung kegiatan ekonomi berkelanjutan. Di sisi lain, dia berpendapat, riset aplikatif yang dekat ke hilir harus melibatkan para pelaku usaha agar teknologi yang diciptakan lebih diterima pasar dan konsumen.
Teknologi hijau ini secara umum membutuhkan kepakaran lintas disiplin, sehingga pencarian berbagai solusi bisa dilakukan dengan lebih cepat.
"Teknologi hijau ini secara umum membutuhkan kepakaran lintas disiplin, sehingga pencarian berbagai solusi bisa dilakukan dengan lebih cepat,” kata Enny.
Sementara itu, komisioner Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang juga anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) mampu mempercepat proses transisi Indonesia menuju ekonomi hijau.
Selain menjadi payung hukum bagi pengembangan sumber energi baru dan terbarukan, RUU EBET juga memayungi peran insentif fiskal dan non-fiskal dalam mempercepat pembangunan ekonomi hijau. “Target penerima insentif juga akan diatur agar tepat sasaran, tidak hanya badan usaha di bidang energi baru terbarukan namun juga perorangan yang melakukan inisiatif serupa,” ujarnya.
Transformasi terukur
Bappenas meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index) sebagai pendekatan sekaligus alat untuk mengukur efektivitas transformasi menuju ekonomi hijau yang representatif, jelas, dan akurat. Indeks Ekonomi Hijau terdiri atas 15 indikator yang mencakup tiga pilar keberlanjutan, yakni lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto menyampaikan, indeks ini mengukur 5 indikator di sektor lingkungan, 6 indikator di sektor ekonomi, dan 4 indikator di sektor sosial yang diambil pada periode 2011 - 2020.
Hasilnya dalam sepuluh tahun terakhir, composite score yang meningkat dari 47,20 pada 2011 menjadi 59,17 pada 2020. Arifin menilai, peningkatan indeks ini menunjukkan bahwa kebijakan Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi hijau sudah berada di jalur yang tepat.
“Ke depannya, pemerintah akan menjadikan Indeks Ekonomi Hijau sebagai salah satu sasaran makro pembangunan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang berikutnya,” kata Arifin.
Keberadaan indeks ini juga akan membantu Indonesia dalam pencapaian emisi nol netpada tahun 2060 serta kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) yang menuangkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen atas usaha sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.