Kebudayaan kerap dipandang sebagai hal yang stagnan, padahal tidak demikian. Itu sebabnya kebudayaan tetap relevan dan dapat menjadi basis solusi untuk permasalahan masa kini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman publik tentang kebudayaan dinilai perlu ditinjau ulang karena masih dipahami sebagai hal yang stagnan. Padahal, kebudayaan masih berkembang hingga sekarang sesuai dengan perubahan zaman.
Menurut budayawan dan sastrawan Goenawan Mohamad, belum ada definisi yang tepat untuk menjelaskan makna kebudayaan. Hal itu disebabkan definisi membatasi arti kebudayaan, sedangkan kebudayaan terus berubah.
”Bicara soal kebudayaan, pada hakikatnya adalah bicara soal proses. Saya ingin menekankan bahwa selama bertahun-tahun, pengertian kebudayaan sebagai proses telah tersingkir dan diabaikan,” ujarnya secara daring, Senin (22/8/2022), pada pembukaan International Conference on Indonesian Culture (Iconic) 2022, di Jakarta.
Maka dari itu, asumsi lama mengenai kebudayaan perlu ditinjau kembali. Kebudayaan merupakan peristiwa yang belum berakhir.
Namun, sebagian publik memaknai kebudayaan sebagai hal yang stagnan lantaran pengaruh kolonialisme di Indonesia pada masa lalu. Pihak kolonial memperlakukan kebudayaan sebagai sesuatu yang mandek untuk mempermudah penguasaan atas Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda juga melakukan taksonomi atau membagi masyarakat dalam kotak-kotak tertentu, berikut kebudayaannya. Hal ini menimbulkan garis perbedaan yang tegas, jelas, dan permanen di masyarakat.
Bicara soal kebudayaan, pada hakikatnya adalah bicara soal proses. Saya ingin menekankan bahwa selama bertahun-tahun, pengertian kebudayaan sebagai proses telah tersingkir dan diabaikan.
”Dengan kecenderungan taksonomi, orang mengklasifikasikan kebudayaan sebagai lama dan baru, tradisional dan modern, timur dan barat, seakan-akan kita berhadapan dengan aneka ragam kemah pertunjukan dalam pasar malam. Seakan-akan tidak ada interaksi antara kemah A dan kemah B, serta seakan-akan tidak ada konflik vertikal dan horizontal dalam sebuah masyarakat yang melahirkan karya besar,” ucap Goenawan.
Sayangnya, pandangan ini bertahan hingga beberapa waktu kemudian. Sejumlah kebudayaan berbeda yang dibentuk dari pengaruh kekuasaan muncul, antara lain wayang pesisir dan wayang di kawasan pusat kekuasaan.
Sebagai hal yang dinamis, kebudayaan dipandang tetap relevan untuk mengatasi masalah-masalah masa kini, misalnya politik identitas yang menggerogoti sifat universal masyarakat.
”Kita sering menerjemahkan identitas sebagai jati diri dan menurut saya ini menyesatkan. Sebab, jati diri diasosiasikan sebagai kebenaran di dalam diri. Identitas perlu diingat sebagai sesuatu yang tidak sekali dan tidak pula menetap,” tutur Goenawan.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, kebudayaan merupakan referensi kehidupan berkelanjutan di masa depan. Hal ini dinilai penting mengingat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan saat ini. Kebudayaan mengandung kearifan lokal warisan nenek moyang yang mengajarkan agar manusia hidup selaras dengan alam.
Terkait hal itu, Iconic diharapkan menjadi wadah bagi para ahli dan pegiat kebudayaan untuk berbagi gagasan tentang hal tersebut. Adapun Iconic diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek sejak 2020. Iconic tahun ini berlangsung secara daring pada 22-24 Agustus 2022.
Direktur Pembinaaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kemendikbudristek Judi Wahjudi mengutarakan, selain Indonesia, Iconic 2022 juga melibatkan pembicara, antara lain, dari Jerman, Taiwan, Swiss, Korea Selatan, dan Belanda. Hasil konferensi ini akan dirumuskan menjadi rekomendasi yang akan disampaikan di pekan budaya pada September 2022 di Borobudur, Jawa Tengah.
”Ini bermuara ke pertemuan menteri-menteri G20 bidang kebudayaan sebagai tawaran kesepakatan bersama tentang budaya sebagai penggerak kehidupan berkelanjutan,” kata Judi.