G20 Dorong Perluasan Kapasitas Riset dan Manufaktur Kesehatan Global
Pemerataan akses vaksin, obat, dan alat diagnostik di tingkat global menjadi prioritas yang dibahas dalam pertemuan Kelompok Kerja Kesehatan G20 Presidensi Indonesia. Kerja sama sektor publik dan swasta pun diperkuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prinsip keadilan dalam pengembangan riset dan manufaktur di bidang kesehatan menjadi kunci agar dunia lebih siap menghadapi pandemi di masa depan. Untuk itu, kapasitas global dalam pengembangan vaksin, terapi, dan alat diagnostik diharapkan bisa diperkuat, terutama di negara-negara berkembang di belahan bumi bagian selatan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, perluasan pusat penelitian dan manufaktur global merupakan salah satu fokus yang akan dibahas oleh negara-negara anggota G20 dalam presidensi Indonesia di bidang kesehatan. Hal itu dinilai penting untuk mencegah, menghadapi, dan merespons penularan penyakit di tingkat global.
”Pandemi Covid-19 telah menjadi pembelajaran bahwa kapasitas yang tidak adil dalam pengembangan dan produksi vaksin, terapi, dan alat diagnostik di seluruh dunia telah menyebabkan keterlambatan dalam pemenuhan global selama kondisi darurat kesehatan,” katanya ketika membuka Pertemuan Ketiga Kelompok Kerja Kesehatan G20 yang diikuti secara daring dari Jakarta, Senin (22/8/2022).
Pertemuan Kelompok Kerja Kesehatan G20 tersebut secara langsung diselenggarakan di Bali pada 22-24 Agustus 2022. Pertemuan ini diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan di antara negara-negara anggota G20 dalam memperluas manufaktur global dan pusat penelitian untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi.
Menurut Budi, di tengah situasi pandemi Covid-19 yang mulai mereda, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mulai memperkuat koordinasi dan kerja sama dalam pemerataan akses serta kapasitas pengembangan vaksin, terapi, dan alat diagnostik secara global. Dengan begitu, dunia pun diharapkan bisa lebih aman dan sehat di masa depan.
Pandemi Covid-19 telah menjadi pembelajaran bahwa kapasitas yang tidak adil dalam pengembangan dan produksi vaksin, terapi, serta alat diagnostik di seluruh dunia telah menyebabkan keterlambatan dalam pemenuhan global selama kondisi darurat kesehatan. (Budi G Sadikin)
Ia menuturkan, sebagai langkah awal, pemerataan akses serta kapasitas pengembangan riset dan manufaktur di bidang kesehatan akan dilakukan melalui pembentukan hub penelitian dan manufaktur di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Selama ini, pusat penelitian dan manufaktur lebih banyak berada di negara maju.
”Kondisi itu menyebabkan, jika terjadi pandemi seperti saat ini, negara berkembang, terutama di belahan dunia selatan, tidak memiliki kapasitas yang baik dalam penelitian maupun kapasitas manufaktur. Untuk itu, perlu distribusi yang merata di seluruh dunia,” ujar Budi.
Ia mengatakan, sementara ini sudah ada kesepakatan dari negara-negara G20 untuk membangun hub riset dan manufaktur di bidang kesehatan di negara-negara berkembang. Inisiatif untuk memperkuat pusat manufaktur dan pusat penelitian kolaboratif akan dikembangkan di lima negara anggota G20, yakni Indonesia, Argentina, Brasil, India, dan Afrika Selatan.
Afrika Selatan dan Brasil telah didedikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pusat pengembangan vaksin mRNA. Indonesia pun telah bekerja sama dengan China melalui perjanjian bilateral untuk mengembangkan vaksin dengan teknologi mRNA.
”Kami juga bekerja sama dengan negara maju sehingga akan ada transfer teknologi dan juga komitmen dari mereka (negara maju) untuk berbagi keahlian teknis dan pengetahuan. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama untuk memperluas penelitian dan kapasitas produksi yang lebih adil. Pandemi tidak bisa diatasi oleh satu negara saja,” tutur Budi.
Sektor swasta
Budi menyampaikan, kolaborasi pun perlu diperluas dan diperkuat antara sektor publik dan sektor swasta. Selama pandemi Covid-19, sektor swasta memiliki peran yang besar dalam upaya pengendalian penularan di masyarakat, terutama terkait dengan pengembangan dan pengadaan vaksin Covid-19.
Hampir semua vaksin yang dihasilkan merupakan pengembangan oleh sektor swasta, seperti vaksin dari Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca. Sektor swasta ini pula yang bisa mendukung pemerataan akses yang lebih baik untuk fasilitas kesehatan di tingkat global.
Untuk itu, komunikasi antara sektor publik dan swasta perlu diperbaiki. Kesepakatan perlu dibangun untuk memastikan keadilan pada akses alat-alat kesehatan. Hal pertama yang perlu disepakati bersama yakni prioritas dalam distribusi alat-alat kesehatan.
”Seperti sekarang ini, pihak swasta awalnya tidak tahu siapa yang harus diprioritaskan dalam pemberian vaksin. Jadi, jika suatu saat ada negara yang mau membeli vaksin dengan jumlah lima kali dari populasinya, swasta akan memberikannya. Padahal, jika ada komunikasi, swasta mau untuk mencadangkan kapasitasnya untuk kelompok rentan,” kata Budi.
Hal lain yang juga perlu disepakati ialah regulasi untuk pembatasan. Pada awal pandemi, swasta menghadapi kendala dalam distribusi vaksin dan bahan baku. Sejumlah negara memberlakukan pembatasan sehingga tidak ada akses yang bisa dilewati. Kini, perlu ada kesepakatan yang menjamin pergerakan bahan baku, logistik, dan distribusi bisa tetap berjalan di kondisi kedaruratan masyarakat.
Selain itu, sektor swasta pun perlu berkomitmen untuk memastikan akses yang merata pada kebutuhan kesehatan, baik untuk negara maju maupun negara berpenghasilan rendah. Di lain sisi, pihak swasta pun perlu mendapatkan informasi negara-negara yang berpenghasilan rendah dan negara-negara maju.
”Faktanya dalam pengadaan vaksin, obat, dan alat diagnostik yang diproduksi oleh swasta, dengan melibatkan mereka (swasta) dari awal itu adalah strategi yang jauh lebih baik daripada saling menyalahkan,” tutur Budi.
Direktur Jenderal Federasi Internasional Produsen dan Asosiasi Farmasi (IFPMA) Thomas B Cueni menyebutkan, regulasi yang kuat diperlukan untuk memastikan pengembangan manufaktur di tingkat global bisa terimplementasi dengan baik. Sejumlah inisiatif yang muncul untuk memperluas manufaktur kesehatan global sudah sangat baik, tetapi jika tidak ada regulasi yang kuat hal itu dikhawatirkan tidak bisa berkelanjutan.
”Kamu berkomitmen untuk terlibat secara aktif dalam kemitraan sektor publik dan swasta dalam penanganan pandemi. Kami juga bersedia untuk berbagi, baik dalam terapi, vaksin, maupun alat diagnostik ke seluruh dunia. Untuk itu, kami sangat butuh kontrak sosial yang lebih baik,” katanya.