Penelitian dan Manufaktur Kesehatan di Negara Berkembang Diperkuat
Pertemuan kelompok kerja kesehatan ketiga untuk negara G20 akan diselenggarakan pada 22-24 Agustus 2022 di Bali. Pertemuan itu akan membahas pengembangan kapasitas penelitian dan manufaktur kesehatan global.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan akses kesehatan yang terjadi di tingkat global, terutama di negara berkembang, membuat dunia tidak siap menghadapi pandemi. Untuk itu, manufaktur dan penelitian terkait pengembangan alat kesehatan perlu diperluas. Kerja sama di tingkat global, terutama di antara negara anggota G20, pun terus didorong.
Juru bicara Kementerian Kesehatan untuk Presidensi G20 Indonesia 2022, Siti Nadia Tarmizi, di Jakarta, Kamis (18/8/2022), mengatakan, urgensi diversifikasi geografis pusat riset dan manufaktur untuk pengembangan vaksin, obat-obatan, dan alat diagnostik semakin menguat setelah pandemi Covid-19 terjadi. Ini khususnya pada akses di negara-negara berkembang.
”Perluasan manufaktur dan pusat penelitian untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons dalam penanganan pandemi ke depan ini menjadi salah satu isu prioritas dalam pertemuan kelompok kerja kesehatan (HWG). Ini pula yang akan menjadi topik pembahasan dalam HWG ketiga nanti,” katanya.
Pertemuan HWG ketiga yang menjadi rangkaian pertemuan Presidensi G20 Indonesia akan diselenggarakan pada 22-24 Agustus 2022 di Bali. Direncanakan, sebanyak 19 negara anggota G20 akan hadir. Selain itu, terdapat lima negara di luar negara anggota G20 yang diundang beserta lima negara perwakilan kawasan, seperti Fiji, Kongo, dan Kamboja. Sebanyak 14 organisasi internasional pun dijadwalkan akan terlibat dalam pertemuan tersebut.
Nadia menuturkan, sejumlah topik penguatan pusat riset dan manufaktur di tingkat global akan dibahas. Topik tersebut, antara lain, pembangunan jaringan antara penelitian dan manufaktur di negara G20 terkait kedaruratan kesehatan global dan pandemi di masa depan; penguatan kemitraan antara pemerintah dan swasta; serta memperkuat ekosistem riset dan manufaktur untuk memastikan keadilan akses pada vaksin, obat, dan alat diagnostik.
Perluasan manufaktur dan pusat penelitian untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon dalam penanganan pandemi ke depan ini menjadi salah satu isu prioritas dalam pertemuan kelompok kerja kesehatan.
Ia menyampaikan, melalui pertemuan tersebut diharapkan tim dari anggota negara G20 dapat terbentuk untuk mengembangkan dan memperkuat kapasitas penelitian dan manufaktur di setiap negara, terutama di negara dengan penghasilan menengah.
”Kita juga harap pertemuan HWG ketiga ini bisa menghasilkan output dengan berbagi mekanisme dalam menyelaraskan peraturan-peraturan yang memudahkan proses pengembangan kapasitas global dan mempercepat akses pada VTD (vaksin, terapi/obat), dan alat diagnostik),” tuturnya.
Nadia menambahkan, pertemuan HWG ketiga ditargetkan dapat menghasilkan kesepakatan kolaborasi uji klinis multipusat di antara pusat penelitian dan manufaktur di negara-negara G20 dengan perbedaan fokus pengembangan. Dengan begitu, diversifikasi produksi vaksin, terapi, dan alat diagnostik dapat terbangun, khususnya di negara berpenghasilan rendah-menengah.
Inisiatif
Sejumlah inisiatif, kata Nadia, telah dilakukan oleh Indonesia dalam meningkatan kapasitas penelitian dan manufaktur kesehatan. Vaksin Covid-19 telah dikembangkan di Indonesia. Selain itu, berbagai riset ataupun institusi penelitian di Indonesia juga telah melakukan transfer teknologi untuk memperkuat ketersediaan dan akses alat kesehatan.
Kebijakan pun telah diterbitkan untuk mendukung kemandirian farmasi dan alat kesehatan. Pengembangan obat-obatan, termasuk bahan baku obat didorong untuk bisa dilakukan di dalam negeri.
”Sebagai negara yang masih masuk sebagai low middle income country, Indonesia cukup memiliki pengalaman untuk pengembangan riset dan manufaktur kesehatan. Kita harap ekosistem ini bisa terbangun lebih luas sehingga hub riset kesehatan bisa lebih banyak, terutama di negara berpenghasilan rendah,” tutur Nadia.
Ia menyampaikan, pertemuan HWG ketiga ini akan melengkapi pembahasan sebelumnya di HWG pertama HWG kedua. HWG pertama membahas penyelarasan standar protokol kesehatan sementara HWG kedua membahas penguatan sistem ketahanan kesehatan global lewat dana perantara keuangan (FIF).
Sejauh ini, standar protokol kesehatan telah ditetapkan dan uji coba sudah berlangsung. Lewat standar ini, harmonisasi interkonektivitas lintas batas di tingkat global bisa terwujud. Perjalanan internasional pun diharapkan bisa lebih mudah.
Pembahasan dana perantara keuangan pun sudah semakin matang. Dana dalam mekanisme ini merupakan alokasi tambahan dari berbagai inisiatif yang ada. FIF dibentuk untuk mendukung inisiatif global memperkuat pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi di masa depan.
”Komitmen pendanaan yang sudah ada kini sebesar 1,3 miliar dollar AS yang merupakan komitmen dari beberapa negara, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Eropa, Jerman, Singapura, dan Inggris. Kita harap selama 5 tahun kita bisa capai komitmen sebesar 12,5 miliar dollar AS,” ujar Nadia.
Penanganan Covid-19
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, menyampaikan, masyarakat diminta untuk tetap mewaspadai penularan Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hingga saat ini belum mencabut status pandemi Covid-19. Meski sejumlah negara telah melonggarkan aturan, Indonesia tetap memutuskan untuk menguatkan protokol kesehatan.
”Hal (pelonggaran) ini sesuai dengan kondisi dan kemampuan setiap negara. Indonesia memang sangat hati-hati sehingga pelonggaran dilakukan secara bertahap. Kebijakan pun sifatnya situasional yang diperuntukkan bagi kemaslahatan masyarakat,” ucapnya.
Secara terpisah, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama menuturkan, kasus baru Covid-19 di tingkat global telah dilaporkan menurun. Di wilayah regional WHO Asia Tenggara pun tercatat kasus baru Covid-19 menurun sebesar 11 persen.
Namun, kasus baru dan kasus kematian di Indonesia masih dilaporkan fluktuatif. Oleh sebab itu, upaya pengendalian masih penting untuk dilakukan, termasuk meningkatkan cakupan vaksinasi.
”Kita tentu berharap agar bisa mensejajarkan diri dengan kecenderungan penurunan kasus global yang saat ini membaik. Diharapkan pula persentase cakupan vaksinasi bisa meningkat,” katanya.
Berdasarkan laman Our World in Data pada 16 Agustus 2022, sebanyak 62,2 persen penduduk Indonesia sudah mendapat vaksinasi lengkap. Sayangnya, angka ini masih lebih rendah dari negara tetangga lain, seperti Kamboja (87 persen), Vietnam (83,2 persen), Laos (70,3 persen), Malaysia (81,8 persen), dan Thailand (74,4 persen).