Ribuan mahasiswa Indonesia belajar di negara-negara Timur Tengah, yang sebagian dilanda konflik atau perang. Selain dapat ilmu, mereka sadar: Indonesia adalah negeri indah berdasar Pancasila yang menghargai kemajemukan.
Oleh
ILHAM KHOIRI
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Mural menjadi salah satu media bagi masyarakat untuk menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama. Hal itu salah satunya ditemui di Jalan Juanda, Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (22/2/2020). Mural itu menggambarkan karikatur sosok Gus Dur, berpadu dengan gambar umat yang berbeda agama.
”Dentuman ledakan terdengar sangat keras di Damaskus. Suasana mencekam. Kami, para mahasiswa, tidak boleh keluar,” kata Susilo Pribadi (32), saat ditemui di kawasan Syisyah, Mekkah, Arab Saudi, awal Agustus 2022.
Susilo ingat perang yang melanda Suriah tahun 2012. Saat itu, dia baru setahun belajar di Ma’had Ta’hily, lantas ambil kuliah Jurusan Syariah di Mujamma’ Syeikh Ahmad Kaftaru di Damaskus. Ibu kota itu dikepung kaum pemberontak yang sebelumnya menguasai beberapa provinsi, antara lain wilayah Aleppo.
”Saking gawatnya keamanan, kami para mahasiswa diungsikan ke Wisma Duta Besar RI di pinggiran Damaskus,” kata pemuda asal Bulungan, Kalimantan Utara, itu. Meski berada di wisma, ledakan terus terdengar. Banyak korban berjatuhan, termasuk rakyat biasa.
Setelah situasi terkendali, para mahasiswa kembali ke asrama. Namun, jalanan dijaga ketat oleh tentara. Pemeriksaan di mana-mana. Situasi baru tenang pada 2017 ketika Susilo mulai ambil program magister perbandingan mazhab di kampus yang sama.
Cerita serupa diungkapkan Ahya Jazuli (30), mahasiswa asal Cirebon, Jawa Barat. Tahun 2013, dia masuk kuliah Jurusan Quran Hadis di Universitas Zaituna di Tunis, Tunisia. Saat itu, dua tahun setelah peristiwa yang meledak sebagai pemicu ”Arab Spring”. Keamanan masih rapuh.
Ahya mengenang suasana kota Tunis yang tegang setelah kelompok garis keras menyerang Museum Bardo di dekat gedung parlemen tahun 2015. Puluhan orang, termasuk sejumlah turis asing, tewas. Polisi dan tentara menangkap para terduga penyerang, tetapi ancaman belum mereda. Tak lama, serangan muncul lagi di kawasan wisata Pantai Sousse.
Di tengah situasi itu, Ahya berusaha untuk berhati-hati. ”Baru mulai tahun 2016, suasana benar-benar stabil. Sistem keamanan dengan tim intelijen diperkuat,” katanya.
Susilo dan Ahya adalah dua di antara ribuan mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di Timur Tengah. Kebetulan keduanya, bersama 40-an mahasiswa di kawasan itu, direkrut menjadi petugas musiman untuk bergabung dalam Panitia Penyelenggara Ibadah Haji di Arab Saudi. Di sela-sela kerja, mereka menceritakan pengalaman studi sambil merasakan denyut kehidupan di negara-negara itu, termasuk saat konflik dan perang.
(Dari kiri ke kanan pada bagian atas) Mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak, mantan Pemimpin Libya Moammar Khadafi, dan mantan Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali; (dari kiri kanan pada bagian bawah) mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa. Mereke adalah para pemimpin yang terimbas angin gelombang protes Musim Semi Arab yang menyapu kawasan Timur Tengah dan Afrika utara pada 2011.
Moderasi
Kesadaran apa yang dipetik dari menyaksikan konflik di negara-negara Timur Tengah? Menurut Susilo, perang seperti di Suriah terpicu oleh kemunculan kelompok-kelompok ekstrem yang memaksakan kehendak dengan kekerasan. Saat bersamaan, pemerintah sedang lemah sehingga sulit mengendalikan pemberontakan. Situasi kian runyam saat anasir kepentingan asing terlibat.
”Selama di Suriah, saya bersyukur dengan kondisi Indonesia yang damai. Itu tercapai kalau semua kelompok, termasuk keagamaan, mau menghargai perbedaan, moderat. Kondisi itu harus dijaga,” katanya.
Bagi Ahya, konflik dan kekerasan seperti di Timur Tengah membuatnya semakin menghargai kehidupan Indonesia yang damai. Kedamaian itu perlu dipertahankan. Salah satunya dengan mengantisipasi geliat ekstremisme yang selama ini menjadi salah satu akar kekerasan. Hal ini tak hanya dilakukan oleh aparat keamanan atau pemerintah, tetapi juga perlu didukung semua kelompok masyarakat, termasuk agamawan.
Kesadaran semacam itu juga tumbuh dalam benak Hibatullah Zain (26), yang kuliah Program Magister Jurusan Sastra Arab di The International University of Africa di Khartoum, Sudan. Dia mengaku miris melihat kelompok-kelompok ekstrem di sebagian wilayah di Timur Tengah yang memerangi warga negara sendiri. Kekerasan hanya mereproduksi kekerasan yang terus berkepanjangan sehingga menghancurkan negara dan menyengsarakan warga.
Dia bersyukur, Indonesia berhasil mengembangkan sistem demokrasi di tengah masyarakat yang plural. Sesuatu yang sulit dicapai sebagian negara di Timur Tengah dengan masyarakat yang lebih homogen. Perspektif ini dia peroleh setelah belajar di negeri asing dan dapat melihat kenyataan dengan kacamata luas.
”Di mata sebagian orang Arab, orang-orang Indonesia dianggap toleran, menghargai perbedaan. Kata mereka, Indonesiy ahsanu al-nas, tayibin (orang-orang baik),” ujar Hibatullah yang asli Malang, Jawa Timur.
Konsul Haji pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi, Nasrullah Jasam mengungkapkan, keberadaan para mahasiswa Indonesia di Timur Tengah mencerminkan pengakuan internasional atas kemampuan mereka dalam belajar di kampus-kampus di banyak negara. Hal ini semacam lanjutan dari tradisi lama ketika para pemuda Nusantara pergi haji sambil belajar di Mekkah sejak abad ke-15. Di negeri asing, para mahasiswa tak hanya belajar, tetapi juga mengembangkan wawasan internasional.
”Semakin banyak bersentuhan dengan orang-orang dari banyak negara, termasuk ketika menjadi petugas haji, para mahasiswa itu berpotensi menjadi lebih terbuka pada bermacam-macam budaya,” katanya.
Dari jauh, para mahasiswa itu kian menyadari pentingnya menjaga Indonesia. Negeri ini adalah rumah besar bagi masyarakat yang majemuk dalam suku, agama, ras, golongan, dan kelompok.
Alun-alun Tahrir, Mesir, pada 2011. Alun-alun ini menjadi ruang terbuka yang digunakan para pengunjuk rasa untuk menyampaikan protes terhadap pemerintahan saat itu.