Implementasi UU TPKS Hadapi Kultur Hukum yang Bias Jender
Implementasi dari UU TPKS kini terus ditunggu. Aparat penegak hukum diminta segera menerapkan UU TPKS ketika menangani kasus kekerasan seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan terobosan hukum. Hal ini karena mengakui bentuk-bentuk kekerasan seksual dialami korban yang selama ini belum diakui dalam aturan perundang-undangan. Namun, implementasi UU ini masih menghadapi tantangan berupa struktur dan kultur hukum di masyarakat yang masih bias jender.
Sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) harus dilakukan secara masif karena pemahaman masyarakat tentang kekerasan seksual masih rendah. Bahkan, aparat penegak hukum sampai saat ini belum menerapkan UU TPKS.
”Perlu strategi efektif untuk literasi dan sosialisasi tentang terobosan UU TPKS kepada masyarakat, Karena masih ada masyarakat yang menganggap kalau melaporkan kasus kepada kepolisian harus membayar,” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator Advokasi Nasional Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) Indonesia pada webinar Sosialisasi UU TPKS oleh Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) dan Swara Parangpuan Manado, Senin (15/8/2022), secara daring.
Wajah pendidikan kita gagal jika kita tidak mengimplementasikan UU TPKS.
Ratna mengatakan, struktur dan kultur hukum di masyarakat yang masih bias gender, menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual tidak diproses atau berakhir ”damai”. Selain itu, korban juga tidak dapat mengakses hak-haknya.
”Saya mendengar dari sosialisasi di Banjarmasin, lembaga konsultasi dan bantuan hukumnya mengeluh karena ternyata yang diberlakukan masih Kitab Undang-undang Hukum Pidana, padahal sudah ada telegram dari Kepala Polri. Kenapa, ya, UU TPKS belum digunakan?” ujar Ratna yang juga mewakili JPHPKKS.
Dengan kondisi ini, peningkatan kapasitas terhadap aparat penegak hukum sangat penting. Hal ini agar penafsiran terhadap UU TPKS terutama deliknya juga sama. Terutama pemahaman atas Pasal 4 Ayat (2) UU TPKS yang mengatur tentang tindak pidana di undang-undang lain yang disebutkan sebagai TPKS, aparat penegak hukum diharapkan tidak lagi menggunakan Kitab Hukum Acara Pidana (Kuhap).
Tantangan lain dalam implementasi UU TPKS soal kultur birokrasi yaitu ego sektoral. Kondisi ini membuat layanan yang diberikan tidak terpadu dan terintegrasi serta anggaran tersebar dan tidak fleksibel.
Ratna juga mengingatkan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan korban, dan pemantauan terhadap TPKS. Masyarakat berperan dalam membudayakan literasi tentang TPKS dan mensosialisasikan UU TPKS, menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif, termasuk memberikan pertologan darurat pada korban.
Dalam diskusi kemarin juga menghadirkan penyampai materi sosialisasi Delmus P Salim (Rektor IAIN Manado), Andros G Hiinur (Kepolisian Daerah Sulawesi Utara), Marsel Silom (Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak, Sulut), dan Ismail Husen (Swara Parangpuan).
Andros menyatakan kasus kekerasan seksual yang ditangani kepolisian bisa berasal dari masyarakat maupun polisi. Soal penanganan kasus kekerasan seksual di wilayah Sulut, Polda Sulut bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Sulut agar ada pendampingan.
”Dari awal penanganan, kami fokus pada pemulihan trauma korban lebih dulu, penegakan hukum bisa dijalankan bersama-sama. Tetapi, yang terutama penanganan pada korban dulu,” kata Andros.
Delmus Salim menyatakan sosialisasi dan implementasi UU TPKS di kalangan perguruan tinggi sangat penting. Kampus bisa menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual karena relasi kuasa. “Kita berharap dengan adanya UU TPKS korban kekerasan seksual menjadi minim,” ujarnya.
Karena itu, perlu upaya kuat dalam pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. ”Wajah pendidikan kita gagal, jika kita tidak mengimplementasikan UU TPKS,” ujar Delmus.
PKK berperan
Pekan lalu, Jumat (12/8/2022) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bersama Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) pusat menggelar Sosialisasi UU TPKS kepada kader PKK di seluruh daerah di Indonesia.
”Saya berharap agar isi dan substansi UU TPKS dapat dimengerti secara komprehensif oleh seluruh jajaran Tim Penggerak PKK, baik di pusat maupun di daerah sampai ke Dasa Wisma. Harapan saya, informasi yang didapatkan dalam kegiatan ini dapat disebarluaskan kembali kepada masyarakat luas oleh ibu-ibu,” ujar Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Ia meminta agar siapa pun yang menjadi korban untuk berani bicara dan mengungkap kasus kekerasan seksual yang dialami dengan menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak (Sapa) melalui call center 129 dan Whatsapp 08111 129 129.
Pada acara yang menghadirkan pembicara dari kepolisian dan kejaksaan itu, Ketua Umum TP PKK Tri Tito Karnavian berharap UU TPKS menjadi salah satu alat konkret penegakan hukum atas kekerasan seksual di Indonesia serta dapat mencegah semakin banyaknya korban.