Wacana Memanfaatkan Kebudayaan untuk Hidup Berkelanjutan Disambut Positif
Kebudayaan dinilai dapat memberikan referensi solusi atas berbagai isu masa kini, misalnya perubahan iklim. Kebudayaan pun ditawarkan sebagai solusi hidup berkelanjutan ke depan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengajukan ide untuk memanfaatkan kebudayaan demi membangun kehidupan yang berkelanjutan secara global di forum G20. Hal ini dibahas pada pertemuan negara-negara anggota G20 pada April 2022. Wacana ini mendapat dukungan positif.
Sejak dulu nenek moyang orang Indonesia mewariskan berbagai pengetahuan lokal ke generasi berikutnya untuk hidup. Pengetahuan itu beragam, seperti cara berburu dan meramu hasil hutan. Nenek moyang juga mengajarkan agar mengambil hasil bumi dan memanfaatkan itu seperlunya.
Berbagai pengetahuan, petuah, dan laku hidup lantas diwariskan melalui kebudayaan, baik dengan tarian, nyanyian, seni ukir, maupun cerita rakyat. Kebudayaan itu masih dijalankan sebagian masyarakat hingga sekarang.
Memanfaatkan kebudayaan bukan berarti manusia mesti kembali hidup seperti masa lampau. Kebudayaan dapat diadaptasi untuk masa sekarang, kemudian dipadukan dengan sains dan teknologi.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat berperan besar menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini telah teruji waktu karena dipraktikkan sejak dulu.
”Banyak tradisi masyarakat, terutama Indonesia, yang kesadarannya atas kelestarian lingkungan tinggi. Filosofinya lebih kurang adalah mengambil (dari alam) secukupnya. Dengan begitu, kita bisa menjaga kelestarian alam, tetapi orang tidak kurang makan,” kata Hilmar pada pertemuan daring berjudul Kebudayaan untuk Bumi Lestari, Kamis (11/8/2022).
Tradisi serupa juga dimiliki masyarakat negara-negara lain. Hilmar menambahkan, kebudayaan bisa menjadi referensi untuk mengatasi berbagai masalah masa kini, seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan.
Tradisi sasi yang dimiliki masyarakat di Timur Indonesia, misalnya, bisa diadaptasi untuk menjaga kawasan perairan dari praktik perikanan eksploitatif. Sasi merupakan kebijakan buka-tutup kawasan perairan yang telah disepakati masyarakat adat. Warga hanya bisa mengambil hasil laut di kawasan sasi pada periode tertentu. Orang yang melanggar akan dikenakan sanksi adat.
Hilmar menambahkan, memanfaatkan kebudayaan bukan berarti manusia mesti kembali hidup seperti masa lampau. Kebudayaan dapat diadaptasi untuk masa sekarang, kemudian dipadukan dengan sains dan teknologi.
Presiden Joko Widodo pada perayaan Pekan Kebudayaan Nasional 2021 mengatakan, penelitian kearifan masa lalu secara ilmiah menjadi penting. Presiden menegaskan bahwa Indonesia punya peluang besar menumbuhkan ilmu pengetahuan dari kekayaan budaya.
”Kita harus secara arif menghargai kebudayaan dan peradaban kita,” kata Presiden. ”Selain pengembangan dan pemanfaatan (kebudayaan), pelestarian menjadi kunci untuk kemajuan Indonesia,” tambah Presiden.
Praktik menjaga lingkungan dengan kebudayaan tersebar di mana-man sehingga perlu dikonsolidasi dalam suatu sistem yang padu. Hal ini memantik praktik tersebut menjadi gerakan besar. Dampak yang dihasilkan pun diharapkan besar pula.
Untuk itu, Indonesia melalui forum pertemuan kebudayaan G20 pun mengusulkan pembentukan dana pemulihan global di bidang seni dan budaya (Global Arts and Culture Recovery Fund). Gagasan ini didukung sejumlah negara. Namun, teknis pelaksanaannya masih dibahas.
”Semua setuju mesti ada perubahan cara hidup (untuk merawat bumi). Sekarang, tantangannya adalah kami masih berdiskusi, bagaimana mekanismenya (dana global), serta bagaimana dana ini bisa digunakan untuk membiayai praktik kebudayaan agar berjalan efektif,” kata Hilmar.
Jika disepakati, dana global ini akan didukung oleh negara-negara anggota G20, negara undangan, dan UNESCO. Dana akan digunakan untuk negara-negara berkembang yang terdampak pandemi Covid-19.