Dunia yang Memanas dan Normal Baru Gelombang Panas
Dengan tren pemanasan global, gelombang panas dan suhu ekstrem yang melanda sebagian belahan bumi ini akan menjadi normal baru.
Gelombang panas telah memanggang banyak bagian dunia dalam beberapa pekan terakhir, menewaskan ribuan orang. Suhu ekstrem yang terekam di London hingga Tokyo menunjukkan angka tertinggi dalam sejarah. Di tahun-tahun mendatang, rekor itu diperkirakan akan terus terlampaui karena bumi yang memanas.
Kantor Meteorologi Inggris pada 18 Juli 2022 pertama kalinya mencatat suhu hingga 40,3 derajat celsius di Coningsby, Inggris bagian tengah. Suhu ini memecahkan rekor suhu maksimum sebelumnya 38,7 derajat celsius pada 2019.
Setidaknya rekor suhu lokal dipecahkan di 46 stasiun di seluruh Inggris. Suhu minimum juga sangat tinggi, yaitu mencapai 25,8 derajat celsius di Kenley di Surrey, merupakan rekor tertinggi sejak 1990.
Dengan tren emisi karbon yang terus meningkat, umat manusia harus beradaptasi menghadapi menguatnya risiko gelombang panas dan suhu ekstrem.
Suhu ekstrem itu telah memicu kebakaran di dekat London dan memaksa pembangkit listrik beroperasi pada tingkat rendah untuk mencegah panas berlebih. ”Kita telah memecahkan rekor (suhu) tertinggi sepanjang masa di Inggris,” kata Sekretaris Jenderal Organisasi Meterologi Dunia (WMO) Petteri Taalas, dalam keterangan tertulis.
Tak hanya di Inggris, banyak negara Eropa mengalami gelombang panas yang meluas dan berlangsung lama, disertai dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Spanyol misalnya, mengalami gelombang panas lebih awal, yaitu sejak Juni 2022. Di beberapa tempat di negara ini, suhu melonjak hingga 46 derajat celsius dan memicu beberapa kebakaran hutan dan kekeringan.
Laporan kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Eropa akhir Juli 2022 menyebutkan, gelombang panas yang membakar Eropa menyebabkan lebih dari 1.700 kematian di Semenanjung Iberia saja.
Pengamatan NASA Earth Observatory menunjukkan betapa panasnya suhu udara di sebagian besar Amerika Utara, Eropa, Afrika, dan Asia sepanjang Juli 2022. Lebih dari 9.000 rekor suhu panas dipecahkan di seluruh dunia pada Juli, sekitar 6.000 di antaranya di Amerika Serikat.
Baca juga: Cuaca Musim Panas Semakin ”Brutal”
Selama sebulan, hampir seluruh AS mengalami suhu di atas rata-rata dan lebih dari 150 juta orang atau hampir setengah dari populasi di negara ini mendapatkan peringatan panas yang intens. Bahkan, pada 31 Juli 2022, suhu harian di AS mencapai lebih dari 48 derajat celsius di beberapa bagian negara, seperti Texas dan Central Valley California.
Suhu panas itu berlanjut hingga memasuki Agustus 2022. Di Boston, menurut catatan National Weather Service, suhu pada 4 Agustus 2022 mencapai 36,6 derajat celsius, melampaui rekor sebelumnya 35,5 derajat celsius pada 4 Agustus 1928. Mengantisipasi suhu yang semakin tinggi, kota ini mengumumkan darurat panas dan membuka pusat pendingin di seluruh kota.
Sebelumnya, pada bulan Juni, Tokyo terpanggang oleh suhu panas di atas 35 derajat celsius selama sembilan hari berturut-turut, gelombang panas paling parah sejak pencatatan dimulai pada 1870-an.
Semakin panas
Indonesia memang tidak mengalami gelombang panas karena sebagai daerah tropis suhu hariannya sudah panas. Umumnya gelombang panas terjadi di wilayah subtropis hingga wilayah lintang tinggi lain, yang secara rerata suhunya relatif lebih dingin dibandingkan wilayah tropis.
”Ketika suhu udara memanas tidak biasanya atau lebih dari 5 derajat celsius dari normal dan berlangsung lebih dari lima hari, itulah didefinisikan sebagai gelombang panas,” kata peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Siswanto, Senin (8/8/2022).
Indonesia sebenarnya juga merasakan tren peningkatan suhu yang semakin ekstrem. Berdasarkan data BMKG, kenaikan suhu permukaan di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah rata-rata di atas 0,3 derajat celsius per dekade, sedangkan lautan memanas 0,2 derajat celsius per dekade.
Baca juga: Kejadian Ekstrem akibat Perubahan Iklim Diprediksi Akan Semakin Meningkat
Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda, mencapai 0,5 derajat celsius per dekade. Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40–0,47 derajat celsius per dekade.
Berdasarkan trennya, penambahan kenaikan suhu per dekade secara nasional cenderung meningkat. Misalnya, pada periode 1991-2000, suhu rata-rata di Indonesia 26,6 derajat celsius. Pada periode 2001-2010 suhu rata-rata 26,8 derajat celsius dan periode 2011-2020 suhu rata-rata mencapai 27,1 derajat celsius.
Sebelumnya, laporan penelitian di jurnal Lancet Planetary Health pada September 2021 juga menyebutkan, suhu maksimum harian di Berau, Kalimantan Timur, meningkat rata-rata 1 derajat celsius dalam 16 tahun. Kenaikan suhu ini dikaitkan dengan meningkatkan risiko kematian dini di populasi hingga 8 persen dan penurunan produktivitas.
Normal baru
Bumi terus memanas seiring dengan pemanasan global. Namun, banyak ilmuwan iklim terkejut dengan rekor panas yang lebih cepat dari prediksi.
Profesor iklim dan ekonomi makro di European University Institute, Sony Kapoor, sebagaimana dilaporkan Reuters mengatakan, ”..bahkan saya tidak pernah berpikir kita akan melihat 40 derajat celsius di London pada tahun 2022.”
Baca juga: Tahun 2021 Terpanas Sepanjang Tujuh Tahun Terakhir
Taalas mengingatkan, ke depan, gelombang panas dan suhu ekstrem yang melanda sebagian belahan bumi ini akan menjadi normal baru. Mengacu pada Laporan Khusus tentang Ekstrem dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), Ia mengatakan, gelombang panas akan lebih sering, lebih lama, dan lebih intens di abad ke-21.
Setiap penambahan suhu global akan meningkatkan frekuensi dan intensitas gelombang panas dan panas yang ekstrem. Itu berarti kekeringan dan risiko kebakaran hutan dan lahan juga meningkat.
Jika suhu rata-rata global naik hingga 2,7 derajat celsius di atas suhu pra-industri dan ini diperkirakan akan terjadi 10-15 tahun ke depan, gelombang panas itu bisa terjadi empat kali lebih sering.
”Kita akan melihat ekstrem yang lebih kuat. Itu karena kita telah memompa begitu banyak karbon dioksida di atmosfer sehingga tren negatif akan berlanjut selama beberapa dekade. Kita belum bisa mengurangi emisi kita secara global,” kata Taalas.
Pernyataan Taalas ini dikuatkan oleh studi tim ilmuwan yang tergabung dalam World Weather Attribution yang menemukan gelombang panas yang membuat rekor suhu terpanas di Inggris pada Juli 2022 lebih mungkin disebabkan oleh penumpukan gas yang memerangkap panas dari pembakaran batubara, minyak, dan gas alam.
”Kita tidak akan mengalami suhu di atas 40 derajat celsius di Inggris tanpa perubahan iklim,” penulis senior studi ini, Friederike Otto, ilmuwan iklim di Imperial College of London.
Baca juga: Hujan Bulan Juni yang Bisa Menandai Perubahan Iklim
Masalahnya, dengan tren emisi karbon yang terus meningkat, umat manusia harus beradaptasi menghadapi menguatnya risiko gelombang panas dan suhu ekstrem. Itu berarti, risiko kesehatan, bahkan kematian karena panas juga bakal meningkat.
Padahal, menurut laporan WHO, kematian karena gelombang panas dan panas ekstrem di seluruh dunia telah meningkat hampir dua kali lipat selama 20 tahun terakhir, terutama di antara mereka yang berusia di atas 65 tahun.
Sistem kesehatan akan menghadapi tantangan berat seiring dengan peningkatan suhu global. ”Ketika gelombang panas disertai dengan polusi tingkat tinggi, hal itu memperburuk penyakit dan kondisi pernapasan, kardiovaskular, terutama di ruang perkotaan besar yang tidak beradaptasi untuk mengatasi suhu tinggi ini,” kata Maria Neira, Direktur Lingkungan dan Kesehatan di WHO.
Panas juga memperburuk ketidaksetaraan, menempatkan masyarakat yang paling rentan dalam risiko lebih besar, termasuk orang tua, anak-anak, dan pekerja luar ruangan dan mereka yang tidak mampu membeli pendingin ruangan.
Tak ada jalan lain, selain adaptasi terhadap risiko panas ekstrem dan gelombang panas, kita juga harus berupaya memitigasinya dengan mengurangi emisi. ”Saya berharap (gelombang panas) kali ini akan menjadi peringatan bagi pemerintah dan akan berdampak pada perilaku pemilih agar memilih (pemimpin yang peduli dengan krisis iklim),” kata Taalas.