Hujan Bulan Juni yang Bisa Menandai Perubahan Iklim
Bulan Juni biasanya Pulau Jawa dan sekitarnya telah memasuki musim kemarau. Namun, hujan bulan Juni kini menjadi fenomena sehari-hari seiring dengan terjadinya La Nina yang memasuki tahun ketiga.
Pada bulan Juni biasanya Pulau Jawa dan sekitarnya biasanya telah memasuki musim kemarau. Namun, hujan bulan Juni kini menjadi fenomena sehari-hari seiring dengan terjadinya La Nina yang memasuki tahun ketiga.
Menurut pranata mangsa atau pola musim tradisional orang Jawa, Juni adalah awal musim kemarau. Bulan Desember—gede-gedene sumber atau besar-besarnya sumber (air)—dalam pranata mangsa ini dianggap sebagai puncak musim hujan (Daldjoeni, dalam Penanggalan Pertanian Jawa Pranatamangsa, 1997).
Sistem penanggalan ini merupakan produk pengamatan orang Jawa terhadap pola musim yang sudah bergenerasi. Hujan bulan Juni selama ini dikenal sebagai hal yang tak lazim sehingga menginspirasi penyair Sapardi Djoko Damono menciptakan puisi ”Hujan Bulan Juni”.
Namun, dalam sepekan terakhir, hujan deras yang memicu banjir melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Banjir bandang melanda Kelurahan Pasanggrahanbaru, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, pada Minggu (5/6/2022). Sehari kemudian, giliran tiga kampung di Desa Ciwidey, Kabupaten Bandung, dan Desa Nagrak, Kabupaten Cianjur, Jabar, dilanda banjir bandang.
Memang sekarang ada sejumlah anomali cuaca, termasuk siklon Seroja beberapa waktu lalu, walaupun masih terlalu dini menyimpulkan bahwa pemanasan global telah mengubah rezim iklim. (Edvin Aldrian)
Luapan Sungai Cisadane juga memicu banjir di Kampung Cirumpak dan Kampung Beting di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Selasa (7/6/2022). Sementara itu, pada Kamis (8/6/2022), banjir juga menggenangi sejumlah ruas jalan di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
Padahal, menurut prakiraan musim kemarau tahun ini yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Maret 2022, Pulau Jawa umumnya bakal memasuki musim kemarau pada sekitar bulan April dan Mei 2022. Daerah yang diprediksi masuk kemarau pada Maret sebanyak 6 zona musim, April 2022 sebanyak 52 zona musim, Mei sebanyak 52 zona musim, Juni 2022 sebanyak 33 zona musim, dan Juli 2022 7 zona musim.
BMKG sebenarnya telah memperkirakan, sebanyak 74 zona musim di Jawa diperkirakan mengalami musim kemarau lebih lambat dari pada rata-rata tahunannya. Namun, situasi saat ini menunjukkan, musim kemarau sepertinya lebih mundur lagi.
”Masih terus hangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia yang mengikuti kecenderungan pemanasan global akan menyuplai uap air yang lebih banyak sehingga dapat memicu pertumbuhan awan dan hujan yang lebih intens. Hal ini dapat berimplikasi terhadap peningkatan risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia,” kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Urip Haryoko, Senin (30/5/2022).
Data BMKG menunjukkan, anomali suhu permukaan laut di perairan Indonesia rata-rata 0,25-0,5 derajat celsius lebih panas. Bahkan, di utara Pulau Kalimantan dan utara ”Kepala Burung”, Papua, anomalinya mencapai 0,75-1 derajat celsius. Hanya di perairan selatan Jawa Barat yang menunjukkan anomali lebih dingin -0,25 derajat celsius.
Peneliti iklim BMKG, Siswanto, mengatakan, memanasnya suhu permukaan laut di perairan Indonesia merupakan respons dari pendinginan yang terjadi di daerah tropis Samudra Pasifik yang biasanya terjadi saat terjadi La Nina. Peristiwa La Nina sendiri ditandai jika indeks ENSO (El Nino Southern Oscillation) setidaknya -0,5 derajat celsius dari rata-rata selama setidaknya tiga bulan berturut-turut.
Indeks ENSO ini diukur dari pendinginan suhu permukaan laut di zona tropis Samudra Pasifik atau Nino 3,4 dibandingkan perairan sekitarnya. Sebaliknya, semakin positif atau panas suhu permukaan laut di perairan ini, maka yang terjadi adalah El Nino.
Berbagai kajian menunjukkan, fenomena La Nina cenderung meningkatkan intensitas hujan di Indonesia dan sebaliknya, El Nino akan menurunkan intensitas hujan. Prakiraan iklim jangka panjang beberapa lembaga pengkajian iklim internasional mengindikasikan kemungkinan La Nina dapat terus berlangsung hingga akhir tahun. Ini bisa menjadikan tiga tahun berturut-turut dengan La Nina,” kata Siswanto.
Samudra Pasifik telah berada dalam fase La Nina selama dua musim panas dalam dua tahun belakangan ini. Pertama terjadi antara akhir September 2020 dan Maret 2021, yang diikuti oleh La Nina yang dimulai pada November 2021 dan masih berlangsung hingga kini.
Sebelumnya, sejumlah lembaga meteorologi dunia, termasuk BMKG memprediksi La Nina bakal berakhir di bulan April 2022 (Kompas, 8/2/2022). Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari,mengatakan, pada Januari-Februari, indeks ENSO mencapai -0,9 hingga -0,8 yang menunjukkan bahwa La Nina saat itu memang melemah. Namun, pada Maret-Mei ternyata kembali menguat menjadi -1,1 atau intensitas sedang. ”Hingga dasarian pada 2 Mei lalu, indeks ENSO -1,12,” kata Supari.
Dia menambahkan, episode berantai La Nina tahun ketiga relatif jarang terjadi. ”Dalam sejarah, dari 1950 pernah terjadi delapan kali kejadian La Nina berkepanjangan, dua di antaranya berlanjut menjadi berlanjut hingga tahun ketiga, yaitu 1973, 1974, dan 1975 dan 1998, 1999, 2000,” katanya.
Baca juga: La Nina Kembali Menguat
Fenomena La Nina ini tidak hanya berdampak pada meningkatnya curah hujan di Indonesia. Pesisir timur Australia juga mengalami hujan ekstrem dengan banjir besar yang melanda New South Wales dan Queensland pada Maret 2022 ketika La Nina mulai kembali menguat. Kini, Australia bersiap menghadapi kemungkinan hujan deras berikutnya dan cuaca lebih dingin untuk musim panas ketiga berturut-turut.
”Suhu permukaan laut yang lebih hangat dari rata-rata di sekitar sebagian besar Australia kemungkinan besar berkontribusi pada cuaca yang lebih basah selama beberapa bulan mendatang. Pola suhu permukaan laut yang diperkirakan di Pasifik tropis masih mendukung curah hujan musim dingin rata-rata hingga di atas rata-rata untuk Australia timur,” tulis Bureau of Meteorology Australia pada 7 Juni 2022.
Namun, dibandingkan dengan dua minggu sebelumnya, suhu permukaan laut Pasifik tropis mulai menghangat, terutama di bagian barat Pasifik tropis, yang menandai mulai melemahnya kembali La Nina. Sebagian besar model iklim menunjukkan ENSO akan kembali netral selama musim dingin belahan bumi selatan walaupun dua dari tujuh model mempertahankan kondisi La Nina masih bisa bertahan selama musim dingin selatan.
Perubahan rezim iklim
Ahli iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC)Edvin Aldrian mengatakan, La Nina hingga tiga tahun berturut-turut memang jarang terjadi. Namun, hal ini bersifat temporer. ”Ada saatnya ENSO kembali netral atau bahkan menjadi El Nino,” katanya.
Edvin mengatakan, La Nina merupakan periode pendinginan Bumi dan sebaliknya El Nino yang merupakan periode panas. Hal ini akan terus berulang karena digerakkan oleh perputaran Bumi ke arah timur.
”Memang sekarang ada sejumlah anomali cuaca, termasuk siklon Seroja beberapa waktu lalu, walaupun masih terlalu dini menyimpulkan bahwa pemanasan global telah mengubah rezim iklim,” katanya.
Namun, penelitian terbaru Bryam Orihuela-Pint, peneliti iklim dari University of New South Wales dan tim yang dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change pada 6 Juni 2022 menyebutkan, rezim iklim global mulai berubah dan salah satu konsekuensinya, La Nina bakal semakin sering terjadi.
Argumen yang dikemukakan Bryam dan tim, pemanasan global telah memperlambat aliran ”konveyor” arus laut yang dikenal sebagai AMOC (Atlantic Meridional Overturning Circulation). Sistem AMOC merupakan arus laut global yang mengalirkan air laut dari wilayah tropis yang hangat ke Atlantik Utara. Hal ini selama ini membantu menjaga iklim Eropa tetap sejuk, sementara memungkinkan daerah tropis kehilangan panas berlebih.
Data menunjukkan, aliran AMOC saat ini melemah. Pelambatan ini, menurut Bryam, sebagai salah satu konsekuensi dari mencairnya lapisan es kutub di Greenland dan Antartika. Ketika lapisan es ini mencair, mereka melepaskan sejumlah besar air tawar ke lautan, membuat air lebih apung dan mengurangi tenggelamnya air asin yang lebih padat di lintang tinggi.
Di sekitar Greenland saja, 5 triliun ton es telah mencair dalam 20 tahun terakhir dan terus meningkat. ”Runtuhnya sirkulasi balik Atlantik Utara dan Antartika akan mengubah anatomi lautan dunia,” sebut Bryam dan tim, yang juga menulis penjelasan kajiannya ini di The Conversation.
Baca juga: Kutub Utara dan Kutub Selatan Bumi Bergolak
Pemodelan yang dilakukan menunjukkan, jika laju pemanasan global terus terjadi, AMOC bisa semakin melambat, bahkan kolaps. Dampaknya, suhu panas akan menumpuk di perairan laut selatan khatulistiwa. Hal ini akan mendorong lebih banyak udara lembab yang hangat ke troposfer atas (sekitar 10 kilometer ke atmosfer), menyebabkan udara kering turun ke Pasifik timur.
”Udara yang turun kemudian memperkuat angin pasat yang mendorong air hangat menuju laut Indonesia. Ini membantu menempatkan Pasifik tropis menjadi seperti La Nina,” sebut Bryam.
Lautan adalah penentu iklim Bumi yang berperan penting memperlambat laju perubahan iklim dengan menyerap panas dan karbon dalam jumlah besar. Namun, ketika pemanasan global melebihi ambang batas kemampuan laut menyerapnya, maka rezim iklim global pun bakal berubah dan hujan bulan Juni bisa menjadi fenomena sehari-hari....