Tingkat Kematian akibat Cacar Monyet Tinggi pada Kelompok Rentan
Cacar monyet merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri. Meski begitu, penularan cacar monyet tetap berbahaya pada kelompok rentan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit cacar monyet termasuk penyakit infeksi yang pada dasarnya dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, risiko perburukan hingga kematian tetap tinggi pada kelompok rentan, seperti anak-anak, warga lanjut usia, dan orang dengan gangguan imunitas. Karena itu, penanganan yang tepat perlu dilakukan sejak dini.
Ketua Satuan Tugas Cacar Monyet Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Hanny Nilasari, di Jakarta, Jumat (5/8/2022), mengatakan, pemahaman masyarakat dan tenaga kesehatan mengenai penularan cacar monyet perlu ditingkatkan agar penanganan kasus bisa cepat dilakukan. Penelusuran kontak dan temuan kasus yang cepat disertai dengan tata laksana yang cepat bisa menekan risiko perburukan dan kematian akibat cacar monyet.
”Dalam jurnal terkait epidemiologi, diagnosis, dan kontrol monkeypox (cacar monyet) pada 2017 menyebutkan, case fatality rate (angka kasus kematian) 0-16 persen. Jika komplikasi yang terjadi semakin buruk, angka kematian menjadi lebih tinggi,” kata Hanny yang juga Staf Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM).
Komplikasi yang bisa ditemukan pada pasien cacar monyet meliputi antara lain infeksi pada saluran pernapasan, infeksi pada mata, dan infeksi pada otak. Pada kondisi lebih buruk, komplikasi bisa sampai menyebabkan sepsis yang sangat berisiko menimbulkan kematian.
Case fatality rate (angka kasus kematian) cacar monyet 0-16 persen. Jika komplikasi yang terjadi semakin buruk, angka kematian menjadi lebih tinggi. (Hanny Nilasari)
Menurut Hanny, kewaspadaan akan penularan cacar monyet harus dimiliki oleh semua warga pada semua kelompok usia. Cacar monyet dapat menular ke semua usia. Manifestasi dari gejala penyakit ini bisa lebih berat pada kelompok rentan, seperti anak, warga lansia, orang dengan imunokompromais atau gangguan imunitas, serta orang dengan komorbid atau penyakit penyerta.
”Pada kelompok rentan bisa jadi manifestasi gejala akan lebih berat jika dibandingkan dengan orang dewasa yang memiliki kondisi imunitas yang baik,” katanya.
Adapun gejala yang bisa timbul pada pasien cacar monyet, yakni demam, sakit kepala hebat, limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot, dan kelelahan yang terus-menerus. Limfadenopati dapat muncul di leher, ketiak, ataupun selangkangan/lipatan paha.
Selain itu, gejala lanjutan yang muncul yaitu berupa ruam atau lesi pada kulit. Ruam atau lesi ini biasanya dimulai dari wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya secara bertahap.
Dari 95 persen kasus, ditemukan gejala ruam pada area wajah dan 75 persen kasus ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki. Ruam ini bisa berkembang dari bintik merah, lepuh kecil berisi cairan bening, lepuh kecil berisi nanah, dan kemudian akan mengeras berupa koreng (krusta) yang akhirnya rontok.
Hanny menyampaikan, masyarakat diharapkan bisa segera melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan terdekat apabila muncul gejala-gejala tersebut. Gejala yang khas pada kasus cacar monyet, yaitu demam tinggi, muncul manifestasi berupa ruam atau lesi di kulit, dan adanya limfadenopati.
”Segera lakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan. Jangan melakukan diagnosis sendiri sehingga harus fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan yang menentukan diagnosis,” tuturnya.
Pemeriksaan
Hanny menuturkan, sejumlah pemeriksaan perlu dilakukan untuk mengonfirmasi kasus cacar monyet. Setidaknya ada dua pemeriksaan yang harus dilakukan, yaitu pemeriksaan tes usap orofaring dan tes usap pada cairan lesi. Pemeriksaan melalui tes usap lesi memiliki tingkat keakuratan lebih tinggi dibandingkan tes usap orofaring.
Pemeriksaan dilakukan berbasis polymerase chain reaction (PCR) di laboratorium rujukan yang sudah ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan. Pada kasus suspek, penanganan dilakukan sesuai dengan tata laksana cacar monyet.
”Pasien dirawat di ruang isolasi dengan tata laksana yang suportif. Artinya ditangani sesuai dengan gejala yang muncul. Jika ada infeksi, akan diberikan antibiotik. Perlu diperhatikan pula asupan cairan agar tidak dehidrasi. Selain itu, pastikan status gizi bisa dipertahankan agar kesembuhan bisa lebih cepat,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, hasil pemeriksaan dari satu kasus suspek cacar monyet yang dilaporkan di Pati, Jawa Tengah, hingga kini belum keluar. Pemeriksaan masih dilakukan di laboratorium milik Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan.
Vaksinasi
Maxi mengatakan, upaya mitigasi penularan cacar monyet telah dilakukan untuk memastikan logistik obat dan vaksin terkait cacar monyet bisa terjamin. Pemerintah telah memesan obat antiretroviral dan vaksin yang dapat digunakan untuk pasien cacar monyet. ”Kami sudah minta ke WHO untuk disiapkan,” katanya.
Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga mantan Direktur Penyakit Menular WHO Wilayah Asia Tenggara (SEARO) Tjandra Yoga Aditama menyampaikan, WHO telah merekomendasikan pemberian vaksin cacar monyet. Namun, pemberian ini hanya untuk kelompok dengan risiko tinggi, seperti tenaga kesehatan, pekerja laboratorium, dan pelaku seksual dengan banyak pasangan (multiple sexual partners). Belum ada rekomendasi untuk diberikan secara massal.
Vaksin cacar MVA-BN kini sudah mendapat persetujuan penggunaan di Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa. Selain itu, dua jenis vaksin lainnya, yaitu LC16 dan ACAM2000, dipertimbangkan untuk dapat diberikan sebagai pencegahan cacar monyet.
”Tetapi secara umum memang masih perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efikasi dan berapa dosis yang harus diberikan. Jadi bagaimanapun, menghindari kontak langsung dengan pasien tetap merupakan cara pencegahan terbaik,” katanya.
Hanny menuturkan, vaksin cacar yang pernah didapatkan pada masa lalu dapat memberikan proteksi dari infeksi cacar monyet. Namun, vaksin cacar ini sudah tidak lagi diberikan sejak tahun 1980 setelah kasus cacar dapat dieradikasi.
Adapun vaksin cacar yang saat ini ada untuk penanganan cacar monyet bisa menjadi pertimbangan agar bisa dimanfaatkan di Indonesia. Vaksin ini bisa diindikasikan untuk tenaga kesehatan yang melakukan kontak erat dengan pasien cacar monyet. Manfaat bisa didapatkan setelah empat hari terpapar virus monkeypox.
”IDI akan dorong agar pemerintah bisa segera menyediakan vaksinasi sebagai upaya pencegahan sekunder, terutama jika sudah ada kasus terkonfirmasi cacar monyet di Indonesia,” tutur Hanny.