Kenali Gejala Cacar Monyet, Deteksi Dini Perlu Diperkuat
Masyarakat diimbau semakin waspada terhadap penularan cacar monyet. Penyakit ini dapat menular melalui kontak langsung dengan pasien melalui darah, cairan tubuh, ataupun lesi pada kulit atau mukosa.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan menegaskan belum ada kasus konfirmasi cacar monyet yang dilaporkan di Indonesia. Meski begitu, masyarakat diharapkan meningkatkan kewaspadaan melalui pencegahan dan deteksi dini pada penyakit yang penularannya sudah ditetapkan sebagai kedaruratan kesehatan global itu.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan penularan cacar monyet atau monkeypox sebagai situasi kedaruratan kesehatan global (PHEIC). Setidaknya per 27 Juli 2022 sudah ada 75 negara yang melaporkan kasus cacar monyet dengan total sebanyak 17.156 kasus.
”Sampai dengan hari ini, kita (Indonesia) belum ada kasus konfirmasi (cacar monyet). Hanya sempat ada sembilan kasus suspek, tetapi ternyata setelah diperiksa dengan WGS (whole genome sequencing) atau disekuensing hasilnya negatif bahwa tidak ditemukan cacar monyet,” kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril, di Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Meski begitu, ia menuturkan, langkah antisipasi dan pengawasan tetap diperkuat. Masyarakat pun diminta untuk tetap waspada akan risiko penularan. Penyakit cacar monyet merupakan zoonosis yang penularan awalnya berasal dari hewan. Saat ini, penularan cacar monyet bisa terjadi dari hewan ke manusia ataupun dari manusia ke manusia.
Sampai dengan hari ini, kita (Indonesia) belum ada kasus konfirmasi (cacar monyet). Hanya sempat ada sembilan kasus suspek, tetapi ternyata setelah diperiksa dengan WGS (whole genome sequencing) atau disekuensing hasilnya negatif bahwa tidak ditemukan cacar monyet. (Mohammad Syahril)
Transmisi virus yang terjadi dari hewan bisa ditularkan akibat kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh dari hewan, seperti monyet, tikus, dan tupai. Penularan juga bisa terjadi dari lesi kulit dan mukosa dari hewan yang terinfeksi. Daging hewan yang terinfeksi pun dapat menjadi sumber penularan.
Sementara penularan dari manusia ke manusia bisa terjadi akibat kontak langsung melalui darah, cairan tubuh, lesi (luka) kulit, dan luka mukosa. Penularan pun bisa terjadi dari saluran napas akibat kontak erat dalam waktu lama.
”Untuk saat ini belum diketahui secara pasti apakah penularan bisa terjadi melalui air mani atau cairan vagina,” kata Syahril.
Ia menambahkan, gejala yang muncul pada pasien cacar monyet yakni demam tinggi, sakit kepala hebat, pembengkakan kelenjar getah bening (limfadenopati) di leher, ketiak, ataupun selangkangan, nyeri otot (myalgia), dan lemas (astenia). Setelah demam terjadi biasanya akan muncul gejala lanjutan berupa ruam.
Berdasarkan laporan global, sebagian besar ruam muncul pada wajah. Ruam juga bisa muncul pada telapak tangan dan kaki, mukosa, alat kelamin, dan selaput lendir mata.
”Cacar monyet ini termasuk dalam self limiting disease atau penyakit yang bisa sembuh sendiri. Biasanya terjadi selama dua sampai empat minggu. Meski begitu perlu perhatian pada kelompok faktor risiko, yakni anak-anak, usia 40-50 tahun, dan penderita immunocompromised (gangguan kekebalan tubuh),” ujar Syahril.
Gejala khas penyakit cacar monyet yang biasanya tidak ditemui pada jenis cacar lainnya yakni adanya pembengkakan kelenjar getah bening. Namun, pada kasus yang dicurigai sebaiknya tetap dilakukan investigasi lebih lanjut dengan pemeriksaan sekuensing untuk memastikan ada atau tidaknya virus penyebab cacar monyet.
Staf Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Robert Sinto menuturkan, pemantauan perlu dilakukan selama 21 hari pada kontak erat dari pasien cacar monyet. Apabila selama masa pemantauan timbul gejala, seseorang tersebut perlu segera mendapatkan pelayanan medis.
Ia pun menegaskan bahwa cacar monyet bukan merupakan infeksi menular seksual. Penularan bisa terjadi akibat adanya kontak ataupun droplet dari cairan tubuh pasien. Risiko penularan juga perlu diperhatikan dari ibu ke bayi melalui ASI ataupun ibu hamil ke janin melalui plasenta.
Deteksi dini
Syahril menyampaikan, penyelidikan epidemiologi terus diperkuat pada kasus yang dicurigai sebagai upaya deteksi dini penularan cacar monyet di Indonesia. Analisis dan verifikasi kasus pun dilakukan dari laporan dinas kesehatan di setiap daerah.
Selain itu, laboratorium rujukan telah disiapkan untuk pemeriksaan kasus cacar monyet. Setidaknya ada dua laboratorium rujukan yang sudah ditugaskan, yaitu laboratorium Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB dan Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof Sri Oemiyati Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan.
”Pemantauan juga dilakukan di pintu masuk negara. Petugas akan melakukan pemantauan apakah ada pelaku perjalanan luar negeri yang mengalamigejala. Maskapai-maskapai (penerbangan) juga diharapkan bisa mengimbau agar penumpang bisa melakukan self assessment,” tutur Syahril.
Secara terpisah, Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Agus Dwi Susanto mengatakan, pemahaman yang baik mengenai cacar monyet dan kewaspadaan dini akan terjadinya kejadian luar biasa merupakan modal utama dalam upaya pencegahan. Masyarakat diharapkan dapat menghindari kontak dengan pasien yang terduga infeksi cacar monyet.
Selain itu, upaya surveilans dan deteksi dini pada kasus aktif juga perlu ditingkatkan. Pada kasus aktif harus segera dilakukan karantina agar penularan tidak semakin meluas.
”Tenaga kesehatan yang menemukan gejala cacar monyet pada pasien agar segera melakukan tindak lanjut dengan tes PCR untuk mendeteksi virus cacar monyet. Segera lapor ke dinas kesehatan setempat agar bisa segera dilakukan surveilans dan tindakan lebih lanjut,” tuturnya.