Negara Kehilangan Rp 108,4 Triliun akibat Cukai Rokok Tidak Optimal
Negara berpotensi kehilangan Rp 108,4 triliun akibat pengaturan cukai rokok yang belum optimal. Padahal, uang ini bisa digunakan untuk pembangunan masyarakat setelah pandemi Covid-19.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan tarif cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau dinilai belum optimal. Selain merugikan dari segi kesehatan, negara juga diperkirakan kehilangan Rp 108,4 triliun karenanya.
Demikian studi Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) terhadap Indonesia pada 2022 yang dipaparkan secara daring, Rabu (3/8/2022). Studi ini menghitung pendapatan negara dan jumlah nyawa yang bisa diselamatkan jika tarif cukai rokok dinaikkan serta jika struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) disederhanakan. Perhitungan dilakukan dengan tiga skenario.
”Setidaknya Rp 108,4 triliun hilang akibat kebijakan cukai yang tidak optimal dan 457.700 masyarakat Indonesia meninggal karena masalah rokok. Jika layer cukai tembakau disederhanakan secara progresif, penerimaan negara dan dampaknya pada kondisi kesehatan masyarakat akan membaik seiring waktu,” kata Program Officer SEATCA Anton Javier.
Jika dimanfaatkan, uang yang hilang tersebut dapat digunakan untuk pembangunan masyarakat setelah pandemi Covid-19, misalnya untuk mengantisipasi potensi pandemi ke depan. Uang juga bisa dimanfaatkan untuk pendidikan mengingat sebagian siswa kehilangan hasil capaian pembelajaran (learning loss).
Anton merekomendasikan agar CHT dinaikkan hingga 25 persen dari baseline (basis perhitungan) yang ada. Sistem CHT di Indonesia juga agar disederhanakan.
Sistem CHT Indonesia tergolong rumit karena tarif cukai dan jumlah tingkatannya diperbarui setiap tahun. Sebelumnya, Indonesia punya 19 tingkatan struktur CHT. Kini, ada delapan tingkatan. Kendati jumlah tingkatannya lebih sedikit, pengklasifikasian dalam struktur CHT masih belum sederhana.
Di sisi lain, sistem cukai yang kompleks memungkinkan perokok untuk beralih ke produk yang lebih murah ketika harga rokok naik. Pemerintah pun kehilangan pendapatan. Padahal, selain untuk pendapatan negara, cukai juga untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat.
Laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan, perokok dewasa di Indonesia meningkat 8,8 juta orang selama sepuluh tahun terakhir. Pada 2011, angka perokok dewasa 60,3 juta orang dan meningkat jadi 69,1 juta orang pada 2021.
Penambahan jumlah perokok menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok belum optimal. Pada 2022, rata-rata kenaikan cukai rokok di Indonesia 12 persen, lebih tinggi dari periode 2016-2018 yang secara berturut-turut angkanya 11,9 persen, 10,54 persen, dan 10,04 persen. Cukai rokok tidak dinaikkan pada 2019, sementara pada 2020 dan 2021 kenaikan sebesar 23 persen dan 12,5 persen.
Jika dimanfaatkan, uang yang hilang tersebut dapat digunakan untuk pembangunan masyarakat setelah pandemi Covid-19.
”Filipina juga dulu menerapkan sistem CHT bertingkat, tetapi disederhanakan pada 2012. Jadi, ada cukai yang merata untuk (sigaret) kretek mesin dan tangan. Kebijakan ini menaikkan pendapatan (negara) dari cukai rokok per tahun dan menurunkan prevalensi perokok dari 30 persen menjadi 24 persen,” tutur Direktur Eksekutif SEATCA Ulysses Dorotheo.
Melalui pidato yang disampaikan Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Kemenkeu Iyan Rubianto, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, RPJMN 2020-2024 menargetkan penguatan kebijakan cukai dan simplifikasi tarif cukai. Perbaikan kebijakan cukai pun dilakukan, seperti mengganti bentuk cukai ad valorem hingga mengupayakan penyederhanaan tingkatan cukai.
”Kami juga mendukung kebijakan nonfiskal untuk peta jalan yang komprehensif, seperti pelarangan iklan dan peringatan kesehatan bergambar, agar kebijakan multisektor bisa berpengaruh pada kesehatan masyarakat,” katanya.
Lindungi generasi muda
Indonesia memerlukan kebijakan cukai hasil tembakau yang ketat untuk melindungi masyarakat, khususnya generasi muda, dari paparan rokok. Saat ini, ada 65 juta perokok di Indonesia, termasuk perokok anak. Jumlah rokok yang diproduksi dan dijual mencapai 300 miliar batang per tahun. Kondisi ini diperburuk dengan adanya rokok elektrik yang juga berdampak buruk buat kesehatan.
”Jika tidak dilindungi, generasi emas yang dicita-citakan pada 2045 mungkin tidak tercapai. Hingga kini anak-anak dibombardir iklan rokok, belanja rokok batangan pun mudah. Sementara itu, informasi dan promosi hidup sehat oleh pemerintah kurang, sementara industri sangat agresif mengiklankan produknya,” kata Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany.
Menurut ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, konsumsi rokok membawa masyarakat ke garis kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2022 menunjukkan, konsumsi rokok kretek filter di perkotaan dan perdesaan berkontribusi terhadap garis kemiskinan, masing-masing sebesar 12,21 persen dan 11,63 persen. Rokok menjadi komoditas terbesar kedua penyumbang kemiskinan setelah beras.
”Pada 2019, ada 52,8 persen masyarakat Indonesia dalam kondisi insecure, yaitu miskin, nyaris miskin, dan rentan miskin. Bila konsumsi rokok dibiarkan meningkat, dikhawatirkan masyarakat masuk garis kemiskinan,” katanya.