Negara berperan penting mengontrol produksi rokok agar prevalensi perokok tidak bertambah. Negara juga perlu mengembangkan kapasitas pekerja industri pengolahan tembakau agar bisa diserap oleh sektor manufaktur lain.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 12 persen pada 2022. Keputusan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk mengendalikan konsumsi produk hasil tembakau, terutama berkaitan dengan derajat kesehatan masyarakat.
Kenaikan ini lebih tinggi dari kenaikan cukai hasil tembakau dalam periode 2016-2018 yang berturut-turut sebesar 11,19 persen; 10,54 persen; dan 10,04 persen. Pada 2019, tarif cukai rokok tidak dinaikkan. Namun, kenaikan tarif cukai rokok mencapai 23 persen pada 2020, kemudian 12,5 persen pada 2021.
Bagi perekonomian nasional, industri pengolahan tembakau mencatatkan kontribusi besar dalam penerimaan negara. Pada periode 2011-2020 negara menerima hasil cukai industri tembakau rata-rata mencapai Rp 125 triliun per tahun. Untuk tahun ini saja, hingga Agustus 2021, cukai hasil tembakau mencapai Rp 111,1 triliun.
Nominal itu tidak terpaut jauh dengan laba bersih semua perusahaan BUMN Indonesia pada tahun 2019, alias sebelum pandemi, yang mencapai Rp 124 triliun.
Hal ini menandakan jika industri pengolahan tembakau memiliki posisi strategis bagi perekonomian nasional. Di sisi lain, patut selalu diingat bahwa penetapan cukai rokok dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi rokok yang berdampak kesehatan.
Kondisi tersebut menggambarkan betapa industri produk tembakau memiliki dua sisi wajah yang bertolak belakang. Ada tarik-menarik antara sisi kontribusi ekonomi dan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Peranan negara sangat penting. Setidaknya untuk mengontrol produksi rokok agar prevalensi perokok tidak bertambah.
Dalam situasi ini, peranan negara sangat penting. Setidaknya untuk mengontrol produksi rokok agar prevalensi perokok tidak bertambah. Di sisi lain juga menjaga agar sumber daya manusia yang diserap oleh industri pengolahan tembakau tidak kehilangan pencarian.
Selain menyangkut isu kesehatan, kompleksitas persoalan pengolahan tembakau juga berkait dengan kesejahteraan petani, putaran roda industri, serapan tenaga kerja, serta penegakan hukum.
Dengan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan, petani tentu akan mengurangi volume tanam tembakau. Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia memperkirakan, serapan tembakau pada tahun ini mencapai sekitar 180.000 ton, turun sekitar 30.000 ton dibandingkan dengan tahun lalu.
Kementerian Keuangan memproyeksikan kenaikan tarif CHT pada tahun depan berkontribusi pada penurunan produksi rokok sebesar 3 persen, yakni dari 320,1 miliar batang menjadi 310,4 miliar batang. Oleh karena itu, dapat dipastikan serapan tembakau petani pada industri tahun depan akan merosot.
Banyak pihak juga berharap agar kebijakan kenaikan cukai tetap dapat melindungi para pekerja di industri hasil tembakau yang padat karya dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam kondisi pascapandemi, sektor padat karya telah berkontribusi besar pada perekonomian negara. Bagaimanapun di saat industri tertekan, para pekerja terancam PHK.
Data Kementerian Perindustrian tahun 2019 menunjukkan, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, terdiri dari 4,28 pekerja di sektor manufaktur dan distribusi dan sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan.
Konsekuensi berkurangnya serapan tenaga kerja di industri tembakau tidak bisa dihindari jika memang pemerintah berniat memangkas prevalensi perokok di Indonesia.
Konsekuensi berkurangnya serapan tenaga kerja di industri tembakau tidak bisa dihindari jika memang pemerintah berniat memangkas prevalensi perokok di Indonesia.
Jalan keluar satu-satunya untuk mengurai kelindan ini adalah pemerintah perlu fokus memperkuat pengembangan sumber daya manusia di sektor industri rokok. Tenaga kerja di sektor ini perlu diupayakan agar memiliki keahlian yang dapat membuat mereka terserap di area manufaktur lain.
Ini perlu dilakukan sembari pemerintah tetap serius memperluas lapangan pekerjaan untuk menjaga tingkat permintaan industri padat karya terhadap tenaga kerja.
Pemerintah juga perlu menggiatkan upaya mengatasi peredaran rokok ilegal. Peredaran ini terjadi akibat disparitas harga antara rokok yang dilekati pita cukai dan rokok polos yang tidak dilekati pita cukai pada kemasannya.
Peredaran rokok ilegal yang meningkat akan mereduksi tujuan pemerintah untuk menekan konsumsi. Pemberantasan rokok ilegal harus dilakukan dengan lebih terukur dan melibatkan banyak pemangku kepentingan.
Survei rokok ilegal oleh Indodata yang diikuti 2.500 responden pada Agustus 2021 menyatakan, 28,12 persen perokok di Indonesia pernah atau sedang mengonsumsi rokok ilegal. Ini berarti, sekitar 127,53 miliar batang rokok yang beredar di masyarakat merupakan produk ilegal yang tidak membayar cukai dan tidak mendapat jaminan keamanan dalam pembuatannya.
Berdasarkan jumlah konsumsi rokok ilegal per hari dari total konsumsi rokok, angkanya mencapai 29.284 batang atau 26,3 persen.
Dari sisi penerimaan negara, peredaran rokok ilegal juga bisa jadi bumerang yang malah akan merongrong pemasukan pemerintah. Supaya kenaikan tarif cukai yang tinggi tidak malah mendorong peredaran rokok ilegal, perlu dilakukan pengawasan yang lebih ketat.